Opini
HUT ke-80 RI: Antara Kemerdekaan Formal dan Kemerdekaan Hakiki (1)
Oleh: Redaksi Media ABI
Ahlulbait Indonesia – Republik Indonesia memasuki usia ke-80 tahun dengan beban sekaligus harapan yang tak ringan. Di titik ini, bangsa seharusnya telah mencapai kedewasaan dalam menjalankan cita-cita kemerdekaan yang sesungguhnya, yaitu bersatu dalam keberagaman, berdaulat dalam keputusan, dan sejahtera dalam realitas. Tema “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju” bukanlah hanya ornamen seremonial, melainkan manifestasi dari amanah konstitusi yang menuntut perwujudan nyata.
Namun, di balik gemuruh perayaan dan narasi kemajuan, tersimpan paradoks yang menyakitkan. Fragmentasi sosial, kesenjangan ekonomi yang struktural, dan konflik kepentingan politik masih menjadi bayang-bayang kelam yang menghambat perjalanan bangsa menuju cita-cita sejatinya.
Kematangan sebuah bangsa tidak diukur semata dari capaian statistik pembangunan, melainkan dari kemampuannya menjaga persatuan autentik dan menjamin keadilan sosial yang substantif bagi seluruh warganya. Semangat yang menegaskan nilai-nilai keadilan, solidaritas, dan pengorbanan, mestinya menjadi inspirasi bagi para pemimpin di Republik Indonesia untuk bangkit dari paradoks ini, mewujudkan kemerdekaan yang hakiki bagi seluruh rakyat tanpa pengecualian.
Politik Fragmentatif: Ancaman terhadap Persatuan Nasional
Persatuan nasional kini mengalami erosi serius akibat pragmatisme politik elit yang tanpa segan mengorbankan kepentingan rakyat demi ambisi kekuasaan. Ruang publik yang mestinya menjadi arena deliberasi kebijakan yang bermartabat, justru dipenuhi oleh permainan kekuatan dan manipulasi opini yang destruktif.
Media mainstream, yang seharusnya berperan sebagai penjaga keseimbangan informasi, malah terjebak dalam pola yang kontraproduktif. Mereka sibuk mengumbar persoalan-persoalan trivial yang sengaja dibiarkan mengambang oleh pemerintah, sambil mengajak rakyat terhanyut dalam perseteruan individual dan partisan yang tidak substansial.
Dampaknya, emosi rakyat diaduk tanpa henti, seolah mereka menjadi pion dalam permainan politik yang jauh dari kepentingan fundamental mereka. Padahal, rakyat seharusnya merdeka dalam menentukan pilihan hidupnya, bebas mencari nafkah dan membangun masa depan keluarga, bukan terjebak dalam konflik kepentingan yang tidak mereka ciptakan dan tidak menguntungkan mereka.
Ironisnya, rakyat yang semestinya menjadi pemegang kedaulatan tertinggi, justru terpenjara dalam pusaran konflik yang bukan hasil kreasi mereka. Ini bukan semata persoalan moralitas politisi, melainkan krisis legitimasi yang menggerus fondasi demokrasi secara sistemik.
Sudah saatnya menghentikan politik fragmentatif yang merusak sendi-sendi kebangsaan. Biarkan rakyat menjalankan kehidupannya dengan produktif dan bermartabat, tanpa harus menjadi korban kepentingan politik yang sempit dan destruktif.
Kesejahteraan yang Teralienasi: Ketimpangan sebagai Musuh Bersama
Janji kesejahteraan bagi rakyat Indonesia tampaknya masih menjadi mimpi yang sulit diraih jutaan warga. Inflasi yang menggerus daya beli, kesenjangan ekonomi yang melebar, serta minimnya lapangan kerja berkualitas menjadi indikator kegagalan sistemik yang mengakar.
Program-program pembangunan tidak boleh lagi terjebak dalam fetisisme statistik yang sekadar memperindah laporan tanpa menyentuh realitas empiris rakyat. Kesejahteraan autentik harus diukur dari kemampuan negara menjawab aspirasi rakyat kecil yang berjuang di garis depan kehidupan.
Baca juga : Bantuan ABI Tembus Gaza, kok Bisa?
Kontroversial namun relevan adalah disparitas data kemiskinan antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia. Menurut laporan detikFinance (2 Mei 2025), Bank Dunia menyebutkan penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan mencapai 171,8 juta jiwa atau 60,3% pada tahun 2024. Sementara BPS mencatat angka yang jauh berbeda: 24,06 juta jiwa atau 8,57% per September 2024.
Perbedaan mencolok ini bukan sekadar masalah metodologi, melainkan cerminan ketidakpastian dan krisis epistemologis dalam pengukuran kesejahteraan. Ketimpangan yang nyata membutuhkan respons yang equally nyata: kebijakan yang tidak hanya bertumpu pada angka, tetapi mampu mengubah kondisi faktual rakyat yang berjuang setiap hari.
Pendidikan: Krisis Akses dan Ancaman Masa Depan Bangsa
Pendidikan, sebagai pilar fundamental kemajuan bangsa, kini terancam bermetamorfosis menjadi komoditas eksklusif kalangan elite. Eskalasi biaya pendidikan dan persistensi praktik pungutan liar telah mengubur hak dasar anak bangsa untuk mengakses pendidikan yang layak dan berkualitas.
Paradoks yang menyakitkan: pendidikan negeri yang seharusnya gratis atau terjangkau, justru dibebani pungutan berlabel “sumbangan sukarela” yang de facto wajib, iuran komite sekolah, biaya infrastruktur, dan berbagai transaksi liar yang membebani orang tua, khususnya keluarga berpenghasilan rendah.
Yang lebih mengkhawatirkan, meski kasus-kasus pungli ini sering menjadi viral dan mendapat perhatian media, belum ada tindakan tegas dan konsisten dari pemerintah daerah. Tidak sedikit kepala sekolah yang terkesan imun terhadap sanksi, dan upaya pemberantasan pungli terlihat setengah hati.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan fundamental tentang komitmen pemerintah dalam menegakkan keadilan dan melindungi hak pendidikan. Jika dibiarkan, masa depan generasi akan semakin suram, dan visi Indonesia maju yang inklusif akan tetap menjadi utopia.
Diplomasi yang Ambivalen: Ujian Konsistensi Sikap Palestina
Di tengah kompleksitas domestik, langkah Indonesia menandatangani “New York Declaration on the Peaceful Settlement of the Question of Palestine” (29 Juli 2025) menimbulkan pertanyaan kritis. Dokumen yang mengakomodasi tiga poin, kecaman atas serangan 7 Oktober 2023, dukungan solusi dua negara, dan desakan pelucutan senjata Hamas, terasa sebagai kompromi yang mengaburkan prinsip historis Indonesia, yakni dukungan konsisten terhadap kemerdekaan Palestina.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu secara eksplisit menyatakan intensi aneksasi militer atas Gaza: “Kami bermaksud demikian… Kami ingin memiliki perimeter keamanan,” seperti dikutip Reuters dari Fox News Channel (8 Agustus 2025).
Pertanyaan mendasar: di mana konsistensi diplomasi Indonesia? Apakah solidaritas yang selama ini dibangun akan terkikis oleh realpolitik yang ambigu?
Indonesia Emas 2045: Visi yang Menuntut Aksi Transformatif
Visi Indonesia Emas 2045 bukanlah retorika kosong, melainkan blueprint yang menuntut keberanian untuk memutus rantai sistemik ketidakadilan. Visi ini meniscayakan penegakan hukum tanpa diskriminasi, kebijakan yang berpihak pada rakyat, dan transparansi dalam setiap aspek penyelenggaraan negara.
Kemajuan hanya mungkin terwujud jika pembangunan tidak dikuasai segelintir pemilik partai dan elit, melainkan digerakkan oleh semangat keadilan sosial yang autentik dan menyeluruh.[]
Bersambung….
Baca juga : Kemerdekaan Tanpa Keadilan Sosial adalah Ilusi
