Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Ini Era Perlawanan: Ingatan Jadi Pilar, Etos Jadi Tenaga, Narasi Jadi Medan Tempur

Ini Era Perlawanan: Ingatan Jadi Pilar, Etos Jadi Tenaga, Narasi Jadi Medan Tempur

Oleh: Muhlisin Turkan

Ahlulbait Indonesia — Di era pasca-kebenaran (post-truth), ketika algoritma lebih dipercaya ketimbang kitab, dan clickbait menggantikan literasi, maka media bukan sekadar instrumen komunikasi. Media adalah medan tempur itu sendiri. Di sinilah narasi perlawanan menemukan urgensinya, bukan hanya sebagai konten semata, melainkan sebagai perisai dan peluru dalam satu waktu.

Ketika dentuman senjata mengguncang Gaza, Teheran, Beirut, dan Sanaa sementara di Tanah Air larut dalam hiruk-pikuk isu remeh dan tak penting yang membakar emosi publik, sejatinya tengah berlangsung perang narasi, diam-diam namun dahsyat. Bukan perang yang digerakkan oleh tank atau drone, melainkan oleh meme, arogansi, sorotan kamera, dan suntingan suara.

Perang ini berlangsung di medan yang tak kasat mata, berupa algoritma, ruang redaksi, dan linimasa. Dan bukan tanpa korban. Jurnalis senior Israel, Raviv Drucker, dalam investigasinya membongkar praktik sensor sistematis oleh militer dan rezim Zionis dalam peliputan konflik dengan Iran. Bukti-bukti video menunjukkan bagaimana media arus utama di Israel berupaya keras membalikkan realitas, mengatur narasi, dan menampilkan framing bias terhadap kubu perlawanan. Di saat yang sama, akun-akun media sosial pro-Zionis beroperasi secara massif, menyebarkan pesan dengan intensitas yang bahkan melampaui pemberitaan resmi. Ini bukan sekadar dominasi opini, ini adalah operasi informasi skala penuh. (Rujuk: SHOCKING REVEAL: Israel Hid Iran Missile Damage? Raviv Drucker’s Explosive Claim: Classic Clips Vault, 27 Juni 2025) dan (Israeli journalist says reports of damage caused by Iran restricted from public: Middle East Eye, 27 Juni 2025)

Agresi militer rezim Zionis terhadap Republik Islam Iran selama dua belas hari (13–24 Juni 2025) adalah bukti nyata bahwa pertempuran ini bukan semata soal wilayah, melainkan soal wacana. Serangan itu bukan hanya ekspansi kekuatan militer, melainkan reaksi panik terhadap kemenangan ideologis yang tak bisa mereka bendung. Rudal bisa dicegat, tapi ide tidak. Semangat perlawanan tidak memiliki lintasan balistik, menyusup lewat nalar dan hati, merambat di tiap linimasa, dan tumbuh di luar jangkauan satelit maupun senjata tercangih manapun.

Narasi Perlawanan Lebih dari Sekadar Cerita

Jelas, narasi perlawanan tidak lahir dari ruang redaksi steril. Narasi ini tumbuh dari darah para syuhada, dari jeritan ibu-ibu di pengungsian, dari doa para pelajar miskin yang menulis di bawah lilin. Mengakar di jantung umat yang tertindas, dari Selatan Lebanon hingga pegunungan Yaman, dari kelas-kelas pesantren kecil di pinggir-pinggir kampung dan kota nan kumuh, hingga studio podcast anak-anak muda di berbagai kota dan berbagai wilayah.

Kekuatan narasi bukan hanya pada gempita suara, tetapi pada konsistensi (Istiqomah), Perlawanan (Muqawamah) dan makna.

Dan contoh itu kita bisa temukan dalam pernyataan historis Imam Musa al-Sadr, “Jika Israel dan Setan saling berperang, kami akan berpihak pada Setan.” (Imam Musa al-Sadr: https://hawzahnews.com/xdNrw)

Kutipan ini sering kali disalahpahami sebagai ekstremisme moral. Namun sejatinya, ini adalah bentuk penggambaran hirarki kejahatan. Imam al-Sadr menetapkan bahwa Zionisme adalah simbol kebatilan dan kegelapan absolut. Bahkan jika Israel melawan lawan yang juga salah, posisi moral tetap berpihak kepada keadilan relatif, bukan pada entitas kejahatan mutlak.

Dari Masjid ke Media, Sebuah Transposisi Medan Dakwah

Imam Musa al-Sadr memandang Masjid dan Husainiyah bukan sekadar tempat pelarian spiritual, melainkan pusat produksi kesadaran kolektif. Dalam semangat yang sama, medan dakwah hari ini tak lagi terbatas pada tembok-tembok fisik atau mimbar tradisional. Studio podcast, kanal YouTube, lini masa media sosial, ruang Zoom, hingga konten Instagram, semuanya adalah perluasan alami dari mimbar-mimbar Masjid dan majelis-majelis Husainiyah. Dakwah tidak kehilangan ruhnya, hanya berganti medium.

Namun mari jujur, kita belum cukup hadir di medan ini.

Di tengah geliat dunia digital yang terus meluas, kehadiran umat dalam membangun narasi tandingan masih tertinggal. Hingga 2024, tercatat 5,35 miliar orang (66,2% populasi dunia) telah terkoneksi dengan internet. Dari jumlah itu, 5,04 miliar aktif di media sosial, dengan rata-rata penggunaan mencapai 2 jam 23 menit per hari. Ini bukan sekadar angka, melainkan medan potensial yang belum benar-benar kita rebut.

Secara regional, Asia Tenggara dan Timur Tengah menampilkan dinamika yang strategis. Filipina dan Indonesia mencatat waktu penggunaan media sosial tertinggi di dunia, masing-masing 3,8 dan 3,7 jam per hari. Di Indonesia saja, terdapat 212,9 juta pengguna aktif, setara 77,5% populasi. Sementara di Timur Tengah, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi mencatat penetrasi internet di atas 95%, dan Mesir menjadi pasar terbesar dengan 72,9 juta pengguna media sosial. Ini artinya, baik dari sisi kuantitas maupun intensitas, audiens digital ada dan masih menunggu.

Baca juga : Iran Tak Tunduk: Ketika Rudal Menjawab Normalisasi Palsu

Platform pun memainkan peran krusial dalam pembentukan opini dan resistensi. Facebook tetap menjadi tulang punggung narasi masyarakat sipil di Timur Tengah, sementara TikTok dan Telegram mengalami lonjakan penggunaan dalam kampanye politik di Asia Tenggara. Di sisi lain, X (sebelumnya Twitter) terus menjadi alat aktivisme lintas batas, terutama dalam konflik seperti Palestina.

Namun di balik potensi itu, disparitas tetap nyata. Hanya 36% populasi Afrika yang terhubung ke internet, dibandingkan 90% di Eropa Barat. Bahkan ketika terhubung, kendala sensor membatasi ruang digital, seperti di Myanmar dan Yaman, di mana platform-platform dibatasi atau diblokir.

Yang menarik, bentuk narasi juga berubah. Video pendek dalam format Reels, Shorts, atau TikTok menjadi kendaraan utama aktivisme digital. Bahkan konten berbasis AI, seperti deepfake, mulai digunakan baik untuk propaganda maupun kontra-narasi. Perang memperebutkan persepsi kini tak lagi di medan fisik semata, tapi dalam bentuk potongan video berdurasi 15 detik yang viral sebelum sempat diverifikasi. (Rujuk Digital 2024: 5 billion social media users: We Are Social)

Komunitas ABI: Dari Basis Religius Menuju Poros Narasi Strategis

Komunitas Ahlulbait Indonesia (ABI), dengan kedalaman intelektual, kekayaan spiritual, dan khazanah kultural yang dimilikinya, telah lama menjadi salah satu pilar penting dalam ekosistem keagamaan di Indonesia. Namun di tengah perubahan peta komunikasi global dan ketika narasi dapat membentuk persepsi lebih cepat daripada realitas itu sendiri, maka posisi ABI saat ini memiliki peluang untuk berkembang lebih jauh. Dari basis religius menjadi poros narasi strategis yang aktif dan berpengaruh.

Transformasi ruang publik yang kini berlangsung secara masif telah memindahkan episentrum pengaruh dari ruang-ruang fisik ke platform digital. Media sosial, podcast, kanal video, hingga forum virtual, baik di lingkup DPP, DPW, DPD, maupun di seluruh unsur Lembaga Otonom, telah menjadi wadah baru dalam menyampaikan nilai, pemikiran, dan visi kebudayaan. Dalam hal seperti ini, keberhasilan suatu gagasan tidak hanya ditentukan oleh kebenarannya semata, tetapi oleh kemampuannya menjangkau nalar dan rasa khalayak melalui struktur yang tertata dan narasi yang mengena.

Oleh karena itu, penguasaan atas medium komunikasi kontemporer menjadi bagian penting dari kesiapan kultural komunitas. Keterampilan dalam produksi audio-visual, penyusunan narasi digital, pemahaman atas algoritma dan strategi distribusi konten bukanlah sekadar perangkat teknis, melainkan bagian dari kecakapan strategis yang meneguhkan posisi ABI sebagai penjaga nilai dan penyampai pesan yang otoritatif.

Lebih dari itu, narasi keadilan, perlawanan terhadap kezaliman, serta pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal, perlu dijaga secara kontekstual dalam ruang-ruang pembelajaran seperti majelis taklim, madrasah diniyah, halaqah kader, dan forum keluarga. Nilai-nilai tersebut bukan untuk menggantikan tradisi keilmuan yang telah mapan dan sudah ada, melainkan memperkaya cakrawala berpikir agar lebih responsif terhadap dinamika zaman.

Di tengah arus informasi yang kian bercampur antara fakta, ilusi, dan manipulasi, menjaga kejernihan wacana menjadi sebuah keharusan. Dalam konteks ini, langkah strategis seperti pembentukan unit verifikasi internal sebagai penjaga integritas informasi dan penangkal disinformasi yang dapat menjadi kontribusi ABI yang bernilai tinggi. Sebuah bentuk Jihad Tabyin yang bersandar pada ketelitian ilmu dan kemuliaan niat.

Bahaya Netralitas dan Kejahatan Diam

Di tengah derasnya arus ketidakadilan dan manipulasi informasi, diam bukan lagi sikap netral. Diam adalah bentuk kolaborasi pasif, sebuah kesepakatan sunyi dengan ketidakbenaran. Dalam konteks ini, narasi yang salah bukan sekadar kekeliruan naratif, melainkan pengkhianatan terhadap mereka yang telah menuliskan kebenaran dengan tinta perjuangan dan darah pengorbanan.

Kita hidup di tengah zaman emas narasi perlawanan. Namun, sebagaimana emas tak akan memancar tanpa sentuhan penghalus, kebenaran pun memerlukan tangan-tangan terampil untuk menyuarakannya. Diperlukan jurnalis dan netizen yang berani menyisir fakta, sineas yang jujur pada nuraninya, editor yang mampu membaca arah zaman, serta generasi yang berdamai dengan identitas dan ideologinya sendiri.

Dalam dunia di mana narasi lebih cepat dari peluru dan lebih luas dari medan perang, setiap jari yang menari di atas keyboard adalah senjata. Setiap suntingan video menjadi garis pertahanan. Setiap unggahan, status, atau story dapat menjadi ayat yang membela, atau sebaliknya, menyakiti kebenaran itu sendiri. []

Baca juga : Membungkam Asyura, Membungkam Palestina

Continue Reading