Opini
Iran Menelanjangi PBB: Barat Tersandung di Meja Diplomasi
Oleh: Billy Joe
Panggung Netral yang Ternyata Penuh Kepentingan
Ahlulbait Indonesia — Di balik gedung kaca PBB di New York, lampu-lampu konferensi masih menyala terang ketika mekanisme “snapback” sanksi Iran dipicu oleh trio Eropa, Prancis, Jerman, dan Inggris menjelang tenggat Oktober. Di ruang yang seharusnya menjadi panggung hukum internasional, keputusan itu terasa seperti sandiwara lama: kesepakatan multilateral dibengkokkan menjadi alat sepihak. Ironi paling telanjang justru lahir bukan dari pidato berapi-api, melainkan dari cara Iran menanggapi dengan dingin, nyaris tanpa drama. Tanpa perlu teriak, Teheran seolah menepuk pundak dunia sambil berkata, lihat sendiri siapa yang bermain curang.
Langkah Eropa memicu sanksi otomatis, padahal Amerika Serikat sejak 2018 sudah keluar dari kesepakatan nuklir JCPOA. Logika hukumnya sederhana: bila satu pihak keluar, hak untuk menuntut pun gugur. Namun kenyataan di Dewan Keamanan menunjukkan hal sebaliknya, aturan bisa dihidupkan kembali semata karena kekuatan politik mendukungnya. Iran memanfaatkan momen itu dengan menegaskan bahwa keputusan tersebut batal dan tidak memiliki kekuatan hukum. Tanpa perlu membanting meja, pesan Teheran jelas: PBB bukan lagi rumah keadilan, melainkan arena lobi kekuatan.
Eropa yang selama ini mengklaim diri sebagai penengah justru tampil seperti eksekutor kepentingan Amerika. Keputusan memicu “snapback” tepat sebelum tenggat kedaluwarsa memperlihatkan bahwa klaim netralitas tinggal slogan. Iran menanggapi dengan langkah simbolis, menarik duta besarnya dari Paris, Berlin, dan London yang justru menyoroti kegagalan diplomasi Eropa. Dalam kacamata Global South, pesan yang sampai bukan sekadar tentang nuklir, melainkan tentang standar ganda: negara-negara yang menyimpan persenjataan nuklir menuding Iran tanpa bukti kuat.
Baca juga : Sayyid Hassan Nasrallah: Dari Pinggiran Beirut hingga Syahadah di Jalan Quds
Kebisuan yang Iran pilih menjadi senjata paling tajam. Ketika Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi menyebut mekanisme snapback sebagai “preseden berbahaya”, ia tak hanya mengkritik prosedur, melainkan menelanjangi ilusi bahwa hukum internasional berdiri di atas kepentingan. Jika perjanjian yang disahkan Dewan Keamanan bisa dibatalkan begitu saja, apa artinya perjanjian lain? Pertanyaan itu menggantung di udara, dan setiap negara yang pernah merasa dikecewakan tatanan global pun diam-diam mengangguk.
Ketika Iran Membalik Cermin Dunia
Dampaknya lebih luas daripada sekadar Iran. Negara-negara BRICS, anggota Gerakan Non-Blok, hingga pemerintahan di Afrika dan Asia yang kerap menjadi “objek” sanksi, menemukan cermin di kasus ini. PBB terlihat sebagai panggung yang bisa diatur siapa pun yang memiliki kekuatan veto atau, seperti sekarang, mekanisme yang bahkan mem-bypass veto. Iran, dengan retorika yang minim namun langkah simbolik yang tajam, berhasil mengubah dirinya dari terdakwa menjadi saksi yang membeberkan kebobrokan sistem.
Yang paling mencolok, Barat tampak tidak belajar dari sejarah. Mekanisme tekanan yang sama pernah digunakan di Irak dan Libya, dengan hasil kehancuran jangka panjang yang tak pernah diakui. Kini, dengan mengabaikan konsensus hukum, Barat membuka kembali luka lama: bahwa “tatanan berbasis aturan” ternyata aturan siapa yang sedang berkuasa. Sementara itu, Teheran menampilkan ketenangan yang ironis, sebuah cara berkata bahwa kredibilitas musuhnya runtuh oleh tangan mereka sendiri.
Dalam drama ini, Iran tidak tampil sebagai pahlawan sempurna. Kritik terhadap catatan hak asasi atau peran regionalnya tetap valid. Namun dalam bab khusus tentang diplomasi nuklir, Teheran berhasil memantulkan cermin ke arah PBB dan Barat, menampilkan bayangan yang selama ini disembunyikan. Bukan dengan rudal atau pidato penuh api, melainkan dengan kesabaran yang membuat kebohongan lawan runtuh sendiri.
Ketika debu perdebatan di Dewan Keamanan mereda, yang tertinggal bukan hanya ketegangan nuklir, tetapi juga pertanyaan eksistensial: jika lembaga yang dibangun untuk menjaga perdamaian bisa dijadikan alat satu blok kekuatan, kepada siapa dunia harus percaya? Iran, entah disukai atau tidak, telah menunjukkan jawaban yang tak nyaman: aturan internasional hanya sekuat komitmen moral para penjaganya. Dan hari itu, di aula megah PBB, komitmen itu terbukti rapuh. [BJ]
Baca juga : Analisis Pidato Imam Ali Khamenei: Persatuan, Ilmu Pengetahuan, Martabat, dan Cermin Bagi Indonesia
