Opini
Iran Tak Tunduk: Ketika Rudal Menjawab Normalisasi Palsu
Oleh: Billy Joe
Ahlulbait Indonesia — Pada suatu siang yang panas di Tel Aviv, billboard raksasa terpampang megah di tengah kota. Bergambar wajah para pemimpin Arab dan slogan besar bertuliskan: “Abraham Alliance – It’s Time for a New Middle East.” Sekilas tampak seperti janji masa depan yang damai. Tapi di balik kilatan layar digital itu, terlukis sebuah ironi getir: persekutuan antara para penguasa Arab dan penjajah Israel, disatukan dalam nama suci, demi tujuan kotor.
Inilah wajah baru kolonialisme. Bukan lagi dengan senjata dan tank, tetapi dengan konferensi diplomatik, investasi, dan retorika stabilitas. Mereka menamainya Abraham Accords, seolah menyatukan tiga agama samawi dalam proyek perdamaian. Padahal yang terjadi adalah: satu kekuatan zionis memaksakan dominasinya atas bangsa dan umat lainnya, dengan restu Amerika Serikat dan persetujuan diam-diam dari sebagian besar dunia Arab.
Abraham Accords: Perdamaian yang Tak Bernyawa
Ketika Donald Trump memprakarsai Abraham Accords pada 2020, ia mempersembahkan perjanjian itu sebagai “momen historis.” Bukan untuk membebaskan rakyat tertindas, tapi untuk mengikat tangan para penguasa Arab dalam lingkar pengakuan terhadap penjajah.
Dijanjikan investasi. Diberikan akses militer. Dipamerkan diplomasi. Tapi Palestina? Tidak diajak bicara. Karena memang bukan itu tujuannya. Palestina hanya batu sandungan yang harus disingkirkan. Dan di saat dunia Arab mulai berdamai dengan zionis, hanya satu negara yang berdiri menentang dengan suara lantang, tanpa gentar, tanpa kompromi: Iran.
Mengapa Iran?
Karena Iran tidak dibesarkan dengan mental tunduk. Karena Revolusi Islam Iran, pada 1979 bukan hanya menggulingkan Shah, tapi menggulingkan mental inferioritas terhadap kekuatan Barat. Iran tidak mau tunduk kepada diktat Washington. Tidak mau mencium tangan Tel Aviv. Tidak mau menukar darah rakyat Palestina dengan janji kontrak pembangunan.
Dan karena itu pula, Iran menjadi musuh bersama. Bukan karena Iran menyerang, tetapi karena Iran mengganggu tatanan baru yang sedang dibentuk—tatanan di mana keadilan harus dikorbankan demi normalisasi.
Zionisme Membungkus Kolonialisme dengan Simbol Agama
Trump dan para pendukungnya tidak menciptakan perdamaian. Mereka menciptakan skenario penjajahan yang dibungkus rapi dengan simbol-simbol keagamaan. Nama Abraham dipakai, seolah semua agama duduk bersama di meja damai. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah sebuah proyek zionis yang menggunakan simbol agama Yahudi untuk menutupi penjajahan dan menekan hak-hak umat lain, terutama Islam dan Kristen Palestina.
Stabilitas yang dijanjikan adalah stabilitas palsu. Perdamaian yang dibangun di atas penderitaan rakyat Palestina bukanlah perdamaian, tapi koeksistensi semu yang dipaksakan dengan senjata dan dolar.
Iran: Duri dalam Tenggorokan Penjajah
Iran tidak memilih jalan mudah. Ia memilih jalan yang membuatnya dikenai sanksi ekonomi bertahun-tahun, dicap sebagai teroris, dan menjadi target propaganda global. Tapi justru karena itulah Iran tetap memiliki kehormatan.
Iran mendukung perlawanan di Gaza, mendanai Hizbullah di Lebanon, mendukung milisi anti-ISIS di Irak, dan berdiri di belakang rakyat Yaman yang dibombardir Saudi. Inilah alasan sesungguhnya mengapa Iran dimusuhi: karena Iran membela mereka yang ditindas dan menolak bergabung dalam perjamuan para penjajah.
Baca juga : Ini Era Perlawanan: Ingatan Jadi Pilar, Etos Jadi Tenaga, Narasi Jadi Medan Tempur
Dan Sejarah Membuktikan…
Pada 13 Juni 2025, Israel memulai serangan besar-besaran ke Iran. Targetnya bukan hanya fasilitas militer dan nuklir, tetapi juga simbol kedaulatan nasional Iran: ilmuwan, pangkalan strategis, dan jaringan komunikasi militer. Operasi itu disebut Operation Rising Lion—dan dunia menahan napas.
Apa yang terjadi kemudian membuat banyak pihak takjub. Iran tidak runtuh. Iran melawan.
Rudal-rudal balistik dan drone buatan Iran membombardir jantung Israel. Tel Aviv lumpuh. Bandara Ben Gurion ditutup. Fasilitas militer Negev terbakar. Bahkan, sistem pertahanan Iron Dome pun kewalahan.
Selama 12 hari, dunia menyaksikan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya: perang terbuka antara Israel dan Iran—tanpa perantara. Amerika Serikat akhirnya turun tangan, bukan untuk menenangkan, tetapi untuk ikut menyerang. Tiga fasilitas nuklir Iran dihantam rudal-rudal bunker buster milik AS. Tapi… Iran tetap tidak menyerah.
Iran Berdiri Sendiri, Tapi Tak Tergoyahkan
Selama 12 hari perang yang mengguncang kawasan, dunia menanti apakah sekutu-sekutu Iran di Lebanon, Yaman, dan Irak akan ikut turun tangan. Namun tidak. Perang ini bukan perang koalisi. Ini adalah panggung tunggal bagi Iran.
Dan sendirian, Iran menjawab semuanya. Rudal balistik diluncurkan dari Teheran, Isfahan, dan Tabriz menuju Tel Aviv, Haifa, dan pangkalan militer di Negev. Drone long-range menembus pertahanan Iron Dome dan menghantam pusat-pusat logistik Israel. Perang ini membalikkan asumsi lama: bahwa Iran hanya kuat lewat proksi. Kini, Iran menunjukkan bahwa ia sendiri pun bisa menjadi badai.
Ketika Israel mulai goyah dan dunia menyaksikan kehancuran simbolis kekuatan zionis, Amerika Serikat terpaksa turun tangan. Tiga fasilitas nuklir Iran dihantam rudal. Tapi balasan Iran tetap meluncur. Dan pada hari ke-12, gencatan senjata dipaksa masuk oleh Washington—bukan demi perdamaian, tapi untuk menyelamatkan reputasi yang runtuh.
Karena jika dibiarkan lebih lama, bukan hanya Israel yang akan terbakar. Tapi seluruh skema normalisasi itulah yang akan hangus lebih dulu.
Ironi: Koalisi Normalisasi Tak Berkutik
Negara-negara Arab yang dulu menjadi penjuru Abraham Accords—UEA, Bahrain, bahkan secara diam-diam Saudi—tak mampu berbuat banyak. Beberapa media bahkan melaporkan bahwa mereka membantu Israel dengan menahan serangan udara Iran dari wilayah mereka. Tapi tetap saja, Israel tak bisa bertahan tanpa bantuan langsung Amerika.
Proyek Abraham Accords yang katanya akan membawa stabilitas justru mengundang perang. Dan perang itu membuktikan satu hal:
“Iran bukan hantu, bukan ancaman yang bisa dihapus dengan propaganda. Iran adalah kenyataan. Kekuatan. Dan harapan.”
Dampak Perang 12 Hari: Abraham Accords Retak
Setelah gencatan senjata, dunia Arab mulai bertanya: apakah normalisasi ini benar-benar menjamin keamanan? Apakah menyingkirkan Palestina dari meja perundingan adalah pilihan yang bijak? Apakah Iran bisa diredam?
Sementara itu, rakyat Palestina justru semakin dekat secara emosional dan politik dengan Iran dan poros perlawanan. Mereka tidak melihat harapan dari meja perundingan, tetapi dari kemampuan Iran untuk membalas Israel dan menunjukkan bahwa penjajahan bisa dilawan.
Iran Tak Tunduk, dan Dunia Melihat Itu
Bagi penguasa di Riyadh, Abu Dhabi, Rabat, dan Manama, mungkin perang 12 hari itu adalah peringatan. Tapi bagi rakyat Palestina dan umat yang peduli terhadap keadilan, perang itu adalah titik balik: bahwa jalan damai yang ditawarkan oleh penjajah hanyalah upaya penjinakan. Bahwa normalisasi bukan solusi, tapi pengkhianatan.
Dan Iran telah menunjukkan bahwa harga dari martabat memang mahal, tapi lebih mulia daripada tunduk pada penjajahan.
Penutup: Satu-Satunya yang Masih Berdiri
Sejarah akan mencatat bahwa ketika dunia Arab membungkuk, ketika dunia Islam diam, ketika kekuatan Barat memaksakan tatanan baru di Timur Tengah, hanya satu bangsa yang tetap berkata “tidak.”
Iran…..
Yang tak tunduk pada uang.
Yang tak menyerah pada bom.
Yang tak melepas tangannya dari Palestina.
Dan selama masih ada bangsa yang seperti itu, penjajahan tak akan pernah bisa disebut “perdamaian.”[]
Baca juga : Membungkam Asyura, Membungkam Palestina
