Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Israel dan Diplomasi Algoritma: Mengelola Narasi di Era AI dan Generasi Z

Israel dan Diplomasi Algoritma: Mengelola Narasi di Era AI dan Generasi Z

Oleh: Muhlisin Turkan (Ketua Departemen Humas, Media, dan Penerangan DPP ABI)

Ahlulbait Indonesia, 19 Desember 2025 — Pada 30 September 2025, situs The Cradle memuat analisis berjudul “Israel invests millions to ‘game’ ChatGPT into replicating pro-Israel content for Gen Z audiences”. Pesannya sederhana, meski implikasinya jauh dari remeh: diplomasi negara modern tak lagi hanya berlangsung di mimbar, tetapi juga di hadapan algoritma, feed, dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI).

Menurut laporan tersebut, Pemerintah Israel mengontrak firma Amerika Serikat, Clock Tower X LLC, dalam kesepakatan senilai sekitar US$6 juta, yang terdaftar resmi di bawah Foreign Agents Registration Act (FARA). Ini bukan kontrak langsung dengan ChatGPT, OpenAI, atau entitas AI tertentu. Yang dibeli adalah pengaruh naratif di ekosistem digital, ruang tempat mesin dan manusia menyerap, menimbang, dan mengulang konten yang sama.

Sekitar 80 persen konten diarahkan khusus ke Generasi Z, disebarkan melalui TikTok, Instagram, YouTube, dan podcast, dengan target 50 juta tayangan per bulan. Di atas kertas, hal ini tampak seperti rencana pemasaran yang rapi. Dalam praktiknya, ia lebih menyerupai irigasi opini, dirancang stabil agar tak terasa memaksa, dan cukup merata untuk mengurangi visibilitas medan lain tanpa konfrontasi langsung.

Baca juga : Sayyidah Fatimah Zahra as: Standar Moral dan Arah Peradaban Masyarakat

Proyek ini tidak berhenti pada media sosial. Clock Tower X juga ditugaskan membangun situs dan materi digital yang dioptimalkan agar mudah ditangkap mesin pencari dan muncul dalam framing percakapan AI. Bukan mengubah AI secara langsung, melainkan menata ruang publik digital sedemikian rupa sehingga model-model bahasa, dengan logika statistiknya sendiri, belajar membedakan mana yang dianggap dominan, wajar, dan layak diulang, bukan karena framing tersebut paling diuji secara kritis, melainkan karena paling konsisten hadir dalam data yang tersedia.

Keterlibatan Brad Parscale, arsitek kampanye digital Donald Trump, memberi konteks tambahan yang tak bisa diabaikan. Ini adalah figur yang rekam jejaknya menunjukkan bagaimana volume, mikro-targeting, dan agresivitas algoritmik dapat menggeser persepsi politik tanpa perlu memenangkan debat substantif. Kehadirannya menandakan bahwa ini bukan eksperimen komunikasi yang naif, melainkan operasi profesional yang memahami cara kerja psikologi massa digital.

Sebuah tim yang tak hanya mengelola TikTok dan Google, tetapi juga bekerja dengan asumsi bahwa mesin seperti ChatGPT dapat “belajar” menyukai narasi tertentu, bukan lewat kualitas argumen, melainkan melalui repetisi, visibilitas, dan kepadatan data. Mekanisme inilah yang membuat frekuensi perlahan menyamar sebagai kewajaran.

Pada akhirnya, ini bukan hanya kisah tentang bagaimana Israel “mengendalikan AI”. Ini juga kisah tentang diplomasi digital di era algoritma, ketika kebenaran bersaing bukan dalam ruang debat terbuka, melainkan dalam statistik tayangan dan hasil pencarian, ukuran yang tampak netral, namun menentukan apa yang dianggap nyata.

Pertanyaannya bukan lagi apakah strategi ini sah secara administratif, melainkan apa artinya bagi ruang publik ketika persepsi kolektif, terutama generasi yang tumbuh bersama AI, dibentuk melalui optimisasi mesin, bukan pertukaran argumen, lalu dikembalikan kepada mereka sebagai ‘konsensus netral’.

AI tidak diprogram untuk percaya. AI diprogram untuk mengamati. Dan di dunia digital modern, yang paling sering muncul akan selalu tampak paling masuk akal, ketika medan informasi telah diairi cukup lama hingga kepalsuan pun terasa alami. []

Baca juga : Menyimak Pidato Ayatullah Khamenei: Pelajaran Krusial bagi Indonesia di Tengah Gejolak Global