Opini
Karbala Tak Pernah Usai: Kini Bernama Gaza

Oleh: Billy Joe
Ahlulbait Indonesia – Di tengah terik padang pasir Karbala, lebih dari 1.300 tahun yang lalu, air mengalir deras di Sungai Eufrat. Tapi cucu Nabi Muhammad, Imam Husain bin Ali, tak diberi setetes pun. Bersama keluarga dan sahabatnya, ia dikepung, diputus dari air dan makanan selama tiga hari. Di antara yang menangis saat itu adalah anak-anak kecil yang kehausan dan bayi yang tak berdosa. Hingga akhirnya, mereka semua dibantai. Tak hanya tubuh-tubuh mereka yang dirobek pedang, tapi juga nurani umat yang pada saat itu memilih bungkam dan diam.
Hari ini, cerita itu tak berakhir di tanah Karbala. Ia menjelma dalam bentuk baru, dalam wajah-wajah anak-anak kurus di Gaza yang harus berjalan berkilometer di bawah peluru dan drone hanya untuk mendapatkan segenggam tepung, sebotol minyak, atau sebungkus lentil. Dan seperti Eufrat, jalur distribusi bantuan kini berubah menjadi garis merah yang memisahkan hidup dan mati.
Gaza adalah Karbala kita hari ini. Dan dunia? Sekali lagi menjadi penonton yang membisu.
Gaza, Tanah yang Dilupakan Nurani
Selama lebih dari 10 minggu, Zionis Israel memblokade total wilayah Gaza. Tak ada makanan, tak ada air bersih, tak ada listrik, tak ada bahan bakar. Dunia hanya mencatatnya sebagai “blokade”, tapi bagi rakyat Gaza, ini adalah kematian perlahan yang dilakukan dengan cara paling sadis dan biadab. Anak-anak mati karena dehidrasi. Ibu-ibu pingsan karena menyusui dalam kondisi lapar. Warga harus meminum air asin atau mencampur tepung dengan rumput demi mengisi perut.
Dan ketika bantuan akhirnya “diizinkan masuk”, mereka dipaksa menempuh jalur distribusi yang dikawal militer Israel, lewat zona-zona militer yang berbahaya. Seperti yang dilaporkan Associated Press, warga Gaza harus merangkak, bersembunyi dari tembakan sniper, dan siap ditembak hanya karena bergerak “di luar jalur”. Bukan hanya tentara yang menjadi ancaman, tapi juga sesama korban—yang karena kelaparan dan putus asa, saling mencuri, saling menjarah.
Seorang ayah pulang dengan luka di wajah, gas merica di mata, dan tangan kosong untuk 13 anaknya. Seorang ibu harus menyaksikan anaknya yang masih remaja dipukuli dan dirampas bantuan makanannya oleh kelompok pria dewasa. Yang berhasil mendapatkan makanan, harus berlari, bersembunyi, dan menembus zona bahaya lagi untuk keluar dari titik distribusi. Semua itu, hanya untuk bisa hidup satu hari lagi.
Lalu kita bertanya: ini bantuan, atau penghinaan?
Karbala dalam Nafas Gaza
Pola kezaliman ini bukan hal baru. Ia bukan sekadar kejahatan perang, tapi bagian dari jejak panjang penindasan yang selalu berulang. Seperti di Karbala, warga Gaza hari ini diblokade dari akses kehidupan. Seperti di Karbala, air dan makanan digunakan sebagai alat penjajahan, sebagai simbol kekuasaan yang bengis. Seperti di Karbala, peluru diarahkan bukan hanya pada laki-laki dewasa, tapi juga anak-anak, perempuan, bahkan bayi dalam pelukan.
Dan seperti di Karbala, umat Islam—dunia Arab, dunia Barat, bahkan sebagian kita—lebih memilih menonton daripada bertindak.
Waktu itu, penduduk Kufah tahu siapa Imam Husain. Mereka tahu siapa Yazid. Tapi ketika Imam Husain datang menanti bantuan, mayoritas mereka tak muncul. Ada yang takut, ada yang sibuk, ada yang berkata, “Aku doakan saja dari rumah.” Hari ini, kisah itu hidup kembali. Umat tahu siapa penjajahnya, siapa yang dizalimi. Tapi mereka lebih memilih diam, sibuk berswafoto, atau sekadar menyisipkan doa dalam story Instagram.
Di Karbala, air dicabut dari keluarga Nabi. Di Gaza, air dicabut dari keluarga manusia. Bedanya hanya pada skala.
Baca juga : “Ngaji Akidah” Tapi Gagal Baca Realita
Dunia yang Mati Rasa
PBB mencatat bahwa Gaza kini berada di ambang kelaparan total. Tapi dunia tidak terguncang. Tidak ada embargo terhadap Israel, tidak ada sanksi internasional yang serius, bahkan negara-negara Arab masih melanjutkan normalisasi. Sementara itu, Zionis Israel memonopoli bantuan kemanusiaan melalui Gaza Humanitarian Foundation (GHF)—lembaga yang bukan netral, tapi beroperasi di bawah kendali militer.
Ini bukan distribusi bantuan, tapi sistem kontrol. Ini bukan pemulihan, tapi pendalaman penderitaan. Rakyat Gaza dipaksa memilih antara lapar dan peluru, antara hidup sebagai pengungsi atau mati sebagai manusia bermartabat.
Dan dunia? Kembali berdiri di tepi sungai, melihat dari kejauhan, lalu berpaling.
Seorang juru bicara PBB bahkan berkata, “Saya tidak tahu bagaimana ini bisa menjadi lebih buruk, tapi nyatanya, selalu bisa.” Kalimat itu bukan analisis, itu ratapan—ratapan dunia yang tahu tapi tak berdaya, atau memilih tak mau berdaya.
Imam Husain, Gaza, dan Jalan Perlawanan
Tapi sejarah tidak mencatat Karbala sebagai kekalahan. Justru karena Imam Husain tahu ia akan dibantai, dan tetap memilih jalan itu, maka namanya diabadikan bukan hanya dalam sejarah Islam, tapi dalam hati nurani seluruh umat manusia.
Hari ini, rakyat Gaza adalah pewaris semangat Imam Husain.
Mereka bukan sekadar korban. Mereka adalah perlawanan. Mereka berjalan ke pusat bantuan seperti Imam Husain berjalan ke Karbala: tahu bahwa kematian menanti, tapi tetap melangkah, karena hidup tanpa harga diri bukanlah hidup yang pantas dijalani.
Mereka yang menggendong anaknya di bawah drone adalah Zainab masa kini. Mereka yang mempertaruhkan nyawa untuk setetes air adalah Abbas zaman ini. Mereka yang tetap berdiri meski dunia menonton—adalah Husain yang tak pernah mati.
Diam Adalah Pengkhianatan
Di masa Imam Husain, banyak yang berkata, “Kalau aku ada di Karbala, aku pasti akan berdiri di sampingnya.” Hari ini, sejarah memberi kita kesempatan yang sama: Gaza adalah Karbala, dan kita sedang hidup di zamannya.
Maka pertanyaannya: Di pihak siapa kita berdiri?
Diam hari ini bukan netral. Diam adalah keberpihakan. Diam adalah kekalahan moral. Dan lebih parahnya, diam adalah pengkhianatan terhadap seluruh nilai yang pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw dan keluarga Sucinya.
Penutup: Dari Karbala ke Gaza, Perlawanan Tak Pernah Mati
Karbala tak pernah usai. Ia hidup dalam tubuh anak-anak Gaza yang kurus dan haus. Ia berdenyut dalam langkah para ayah yang berlari membawa bantuan sambil diteriaki tembakan. Ia berdiri kokoh dalam jiwa ibu-ibu yang tetap menyusui meski perut mereka kosong.
Dan selagi kita masih bisa bicara, masih bisa menulis, masih bisa melawan, maka berdiam adalah dosa.
Gaza mungkin dikurung. Tapi seperti Imam Husain, mereka tak bisa dikalahkan. Karena dalam setiap tragedi yang membunuh tubuh, selalu lahir jiwa-jiwa pemberani yang lebih kuat dari senjata.
Karbala tak pernah usai. Kini bernama Gaza. Dan Imam Husain masih menunggu siapa yang akan berdiri bersamanya. []
Baca juga : Air Mata untuk Menemukan Diri di Hadapan al-Husain