Opini
Kawah ‘Martabat’ di Ben Gurion: Panah Yaman dan Pelajaran Harga Diri bagi Dunia Islam

Oleh: Muhlisin Turkan
Ahlulbait Indonesia — Saat rudal dari negeri yang kelaparan mengajarkan arti kehormatan kepada dunia Islam yang terhipnotis dagang dan diam.
Di tengah Timur Tengah yang dibekukan oleh ketakutan dan kelumpuhan moral, sebuah negara kecil yang terkepung dan diblokade justru meledakkan arah sejarah. Serangan rudal hipersonik Yaman ke Bandara Ben Gurion pada Minggu pagi (4/5) bukan sekadar operasi militer. Ia adalah deklarasi zaman baru; zaman ketika pedang rakyat menggantikan pena kompromi, dan kehormatan menggusur diplomasi para penjilat.
Rudal tersebut menempuh jarak hampir 2.150 km sebelum menghantam wilayah hanya 350 meter dari terminal penumpang, meninggalkan kawah ‘martabat’ selebar 25 meter, menurut laporan media lokal. Bandara utama entitas Zionis itu lumpuh selama berjam-jam, bukan oleh kekuatan dunia, bukan oleh konferensi atau sanksi PBB, tetapi oleh proyektil yang ditempa dari reruntuhan dan keberanian di Sanaa dan ditembakkan oleh tangan-tangan yang telah lama bersahabat dengan kelaparan, namun menolak tunduk pada kehinaan.
Rudal itu bukan sekadar menghantam landasan pacu; ia menampar wajah dunia Arab yang lebih sibuk menjual Palestina ketimbang membelanya.
Ini bukan sekadar peluncuran senjata. Ini adalah pengiriman pesan dalam bahasa yang paling dimengerti oleh entitas penjajah: bahasa balistik. Di tengah genosida di Gaza, saat doa disensor dan simpati dikriminalisasi, Yaman bersuara lewat kobaran api. Operasi kembar yang melibatkan drone Yaffa di Ashkelon menandai kecanggihan koordinasi, sekaligus mengumumkan bahwa peta perang telah digambar ulang. Dari laut ke udara, dari pelabuhan ke bandara, Yaman tak lagi menunggu. Yaman menyerang.
Baca juga : Api yang Membakar Sejarah: Kebakaran Hutan di Wilayah Pendudukan
Ini bukan tindakan putus asa. Ini adalah kebijakan. Sebuah doktrin baru. Visi strategis yang menyatakan bahwa pembantaian Gaza takkan lagi dijawab dengan kutukan diplomatik, melainkan dengan peluncur dan peledak. Saat para ibu di Gaza menggendong potongan tubuh anak-anak mereka, dan dunia justru menggelar forum bisnis di atas puing-puing Rafah, Yaman berdiri tegak mengangkat kepala umat yang dipaksa tunduk.
Rudal Yaman bukan hanya proyektil, ia adalah pembongkar sistem. Ia menelanjangi celah-celah pertahanan yang selama ini dipuja sebagai mahkota teknologi Israel dan Amerika, dari Iron Dome, Arrow, bahkan satelit Washington, tak satupun mampu menebak, apalagi mencegat. Ini bukan sekadar kekalahan militer. Ini adalah kegagalan ideologis dari proyek kolonial yang dibungkus kilau silikon dan propaganda.
Ketika lebih dari tiga juta warga Zionis berlarian ke tempat perlindungan, ini bukan hanya sirene darurat yang meraung—raung, sebuah alarm sejarah pun berbunyi. Untuk pertama kalinya sejak entitas itu berdiri, rakyatnya sadar bahwa langit pun kini bukan lagi milik mereka. Ini bukan teror fiksi buatan Hollywood. Bukan juga mimpi buruk dari selatan Lebanon. Ini nyata dan datang dari Yaman.
Respons militer Yaman tidak menyisakan ruang untuk ambigu. Ini adalah jawaban terhadap genosida. Dan peringatan telanjang bagi siapa pun yang memilih menjadi bagian dari kejahatan itu, baik melalui senjata, diam, maupun normalisasi. Maskapai internasional yang tetap mendarat di Tel Aviv kini tahu bahwa risiko mereka bukan lagi sekadar ekonomi. Tapi eksistensial.
Para analis menyebut ini sebagai pergeseran doktrin dari pencegahan maritim ke penargetan pusat saraf musuh. Tapi lebih dari itu, ini adalah pergeseran moral. Dari retorika ke rudal. Dari seminar ke serangan. Dari wacana ke darah.
Gerakan Perlawanan Palestina menyambutnya dengan pujian. Dunia Arab yang belum larut dalam proyek Abrahamic kini merasakan denyut baru di nadinya yang hampir mati. Inilah operasi yang mengubah Yaman, dari “negara termiskin di Semenanjung,” menjadi poros penentu dalam arsitektur Perlawanan global. Dan ia tak meminta izin siapa pun.
Yaman bukan lagi catatan kaki dalam buku sejarah Arab modern. Ia adalah paragraf utama dalam babak baru, babak kehancuran mitos superioritas Zionis, dan kebangkitan logika Perlawanan sebagai satu-satunya solusi bermartabat.
Di saat banyak rezim Arab berlomba menjadi asisten penjajahan, Yaman memilih menjadi ancaman eksistensial terhadapnya. Dan ancaman itu kini telah menjadi kenyataan yang tak bisa lagi disangkal oleh Tel Aviv, Washington, atau siapa pun yang mengira langit Arab akan selamanya bisu. []
Baca juga : Suara Palestina di Tanah Suci yang Diabaikan