Opini
Kemandirian Ekonomi: Jalan Berliku Menuju Harga Diri Komunitas Ahlulbait Indonesia
Oleh: Ali Reza Baraghbah (Ketua Departemen Pemberdayaan Ekonomi)
Ahlulbait Indonesia – Di tengah arus zaman yang semakin kompleks, mengemuka kembali sebuah kesadaran penting, kemandirian komunitas tidak dapat hanya bertumpu pada kekuatan spiritual, tetapi juga harus ditopang oleh fondasi ekonomi yang kokoh. Komunitas Ahlulbait Indonesia, dengan sebaran kader dan potensi yang luas, masih menghadapi tantangan klasik: terlalu lama berada dalam posisi sebagai konsumen, bukan produsen.
Persoalan ini tidak hanya menyangkut aspek produksi dan konsumsi, melainkan juga berkaitan erat dengan martabat kolektif. Selama roda ekonomi dikendalikan pihak lain, posisi tawar komunitas akan senantiasa berada dalam kondisi rapuh. Pertanyaan mendasar pun tak terhindarkan, mampu kah komunitas ini berdiri tegak di atas fondasi ekonomi mandiri, atau justru terus bergantung pada sistem yang kerap tidak berpihak?
Potensi yang dimiliki komunitas ini sesungguhnya nyata. Keahlian, jaringan usaha, serta sumber daya manusia tersebar di berbagai sektor. Namun, tanpa arah yang jelas, potensi tersebut hanya akan menjadi energi yang terbuang. Oleh karena itu, upaya pemetaan ekonomi komunitas yang tengah digagas harus dipandang bukan sebagai agenda administratif belaka, melainkan sebagai langkah strategis dalam merancang masa depan bersama.
Terdapat setidaknya tiga pilar utama yang perlu menjadi landasan:
Pertama, identifikasi kekuatan internal. Siapa yang memiliki keterampilan? Usaha apa yang telah berjalan? Sumber daya apa yang dapat dioptimalkan? Tanpa basis data yang terstruktur dan rapi, setiap langkah hanya akan terjebak dalam lingkar spekulasi.
Kedua, membangun sinergi. Data bukan sekadar deretan angka, melainkan jembatan yang menghubungkan produsen dengan konsumen, investor dengan pengusaha, serta tenaga ahli dengan kebutuhan nyata di lapangan. Dari sinilah lahir ekosistem yang sehat, di mana kolaborasi menggantikan persaingan sempit, dan keuntungan kolektif lebih diutamakan dibandingkan kepentingan pribadi. Pada titik inilah pentingnya membangun mindset kerjasama atau kolaborasi sesama komunitas, agar energi yang tersebar dapat menyatu dan melahirkan kekuatan nyata.
Baca juga : ABI Sudah Tembus Gaza, Mari Kita Ikuti Jejaknya
Ketiga, menyusun perencanaan jangka panjang. Dari data yang dikelola dengan baik, lahir kebijakan pemberdayaan yang terukur, mulai dari pelatihan keterampilan, penguatan akses permodalan, hingga strategi pemasaran berbasis teknologi digital. Dokumen perencanaan bukanlah sekadar arsip administratif, melainkan peta jalan menuju kemandirian sejati.
Namun, semua itu menuntut kesadaran kolektif. Tanpa gerakan bersama, potensi hanya akan terkubur, dan komunitas akan terus berada di posisi sebagai penonton dalam panggung ekonomi. Padahal, ajaran Ahlul Bait menegaskan pentingnya kemandirian, kebermanfaatan, serta kontribusi nyata bagi masyarakat luas.
Kini, pilihan ada di tangan kita, tetap terjebak dalam bayang-bayang konsumtif, atau bangkit sebagai kekuatan ekonomi yang diperhitungkan. Jalan menuju kemandirian ekonomi memang terjal dan berliku, dipenuhi tantangan, gesekan, bahkan kemungkinan kegagalan pada tahap awal. Namun, setiap langkah kecil yang diambil akan menjadi pondasi kokoh bagi kejayaan di masa depan.
Dengan keberanian untuk bergerak, sinergi yang solid, serta pengelolaan potensi yang sistematis, Komunitas Ahlulbait Indonesia memiliki peluang besar untuk membuktikan diri sebagai komunitas yang tidak hanya tangguh secara spiritual, tetapi juga mandiri dan berdaya secara ekonomi.
Kemandirian ekonomi tidak boleh dipandang hanya sebagai urusan bertahan hidup. Ini adalah manifestasi harga diri, sekaligus cermin sejauh mana komunitas mampu berdiri di atas kaki sendiri. Membentuk mindset kolaborasi, mengelola potensi bersama, dan bergerak serentak adalah syarat mutlak agar kekuatan spiritual tidak tercerabut dari daya ekonomi.
Sejarah membuktikan, peradaban besar lahir bukan hanya dari doa dan semangat saja, tetapi juga dari keberanian untuk menguasai panggung ekonomi. Kini, pilihan ada di tangan kita, tetap menjadi konsumen yang bergantung pada belas kasih sistem, atau berdiri sebagai produsen yang memberi manfaat nyata.
Jika komunitas ini berani melangkah bersama, menyingkirkan ego, dan mengikat diri dengan semangat kolektif, maka kemandirian ekonomi bukan lagi mimpi, melainkan kenyataan yang membangun martabat. Dan dari martabat itulah lahir kontribusi yang lebih luas bagi bangsa, kemanusiaan, dan generasi mendatang. []
Baca juga : Amarah Rakyat, Musibah, dan Peringatan Bagi Bangsa
