Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Kemerdekaan Tanpa Keadilan Sosial adalah Ilusi

Kemerdekaan Tanpa Keadilan Sosial adalah Ilusi

Oleh: Mohsen Hasan A (Pemerhati Sosial, Politik, Budaya & Isu Global)

Ahlulbait Indonesia — Setiap tanggal 17 Agustus, bangsa Indonesia merayakan kemerdekaannya dengan gegap gempita: bendera merah-putih dikibarkan di setiap sudut negeri, pidato kenegaraan berkumandang di ruang-ruang formal, dan lagu perjuangan dilantunkan dengan khidmat. Namun di balik euforia itu, sebuah peringatan dari Tan Malaka menggugah nurani kita: “Kemerdekaan tanpa keadilan sosial adalah ilusi.”

“Kemerdekaan, kata yang manis di bibir…
Namun apa artinya merdeka,
bila perut rakyat masih lapar,
bila tanahnya dirampas,
bila suaranya dibungkam oleh senjata?”

Bait itu bukan sekadar puisi, melainkan kritik sejarah yang hidup, yang menggugat wajah kemerdekaan Indonesia hari ini. Sebuah refleksi filosofis yang menyentuh inti makna kebebasan. Tan Malaka, dengan visi revolusioner yang jauh melampaui zamannya, menegaskan bahwa kemerdekaan politik tanpa keadilan ekonomi dan sosial hanyalah fatamorgana yang menyesatkan.

Kemerdekaan yang Belum Tuntas

Dalam karyanya “Naar de Republiek Indonesia”, Tan Malaka menegaskan bahwa pembebasan nasional sejati harus disertai transformasi sosial-ekonomi yang mendasar. Kemerdekaan, baginya, tidak pernah selesai selama ketidakadilan tetap mengakar dalam struktur masyarakat.

Lebih dari tujuh dekade setelah proklamasi, pertanyaan itu tetap relevan: apakah kemerdekaan kita telah nyata bagi seluruh rakyat? Fakta di lapangan menunjukkan jurang ketimpangan kian lebar. Akses terhadap tanah, sumber daya alam, pendidikan bermutu, dan layanan kesehatan masih didominasi kalangan terbatas. Sementara itu, mayoritas rakyat berjuang keras hanya untuk memenuhi kebutuhan paling dasar, bahkan suara-suara kritis seringkali dibungkam dengan dalih stabilitas.

Pancasila: Antara Cita dan Realitas

Para pendiri bangsa dengan arif menempatkan “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” sebagai sila kelima Pancasila, puncak dari nilai kebangsaan kita. Namun dalam praktik, cita-cita luhur itu sering berjarak dari kenyataan.

Dalam puisinya, Tan Malaka menyindir keras:

“…tapi roti yang dibagi rata,
air yang mengalir untuk semua,
hak yang dijaga tanpa pilih kasih.”

Baca juga : Bantuan ABI Tembus Gaza, kok Bisa?

Visi sosialisme kerakyatan Tan Malaka menegaskan bahwa negara tidak boleh hanya menjaga status quo. Visi sosial harus hadir sebagai instrumen pembebasan, memastikan akses yang setara bagi seluruh warga terhadap kesempatan hidup yang bermartabat. Negara hanya layak disebut merdeka jika mampu menjamin keadilan yang konkret, bukan sekadar simbolik.

Dari Seremonial Menuju Substansi

Tan Malaka menolak kemerdekaan yang berhenti pada ritual tahunan. Baginya, kemerdekaan harus hadir dalam kehidupan sehari-hari: dalam harga pangan yang terjangkau, kepastian kepemilikan tanah bagi petani, kebebasan berpendapat yang autentik, dan akses yang adil terhadap peluang kemajuan.

“Kemerdekaan tanpa keadilan,
adalah bayang-bayang yang menipu mata.”

Tan Malaka menggugat semua pihak: pemimpin yang abai pada janji, intelektual yang nyaman di menara gading, hingga masyarakat yang terlalu lama diajarkan bersabar dalam ketidakadilan. Kemerdekaan tanpa substansi, tegasnya, hanyalah “bayangan yang menipu mata.”

Menyalakan Api, Bukan Memuja Peninggalan

Ironisnya, meski Tan Malaka kini diakui sebagai Pahlawan Nasional, gagasan-gagasan revolusionernya masih sering diperlakukan sebagai peninggalan sejarah, bukan inspirasi hidup. Padahal di tengah dominasi oligarki ekonomi, komodifikasi tanah, dan penyempitan ruang demokrasi, pemikirannya justru semakin relevan.

Tugas generasi kini bukan hanya mengenang, melainkan melanjutkan perjuangan dalam konteks zaman. Merdeka berarti menyalakan kembali api perlawanan terhadap ketidakadilan, bukan untuk memuja simbol perjuangan masa lalu.

Refleksi Menuju Kemerdekaan Sejati

Kemerdekaan sejati tidak cukup diwakili oleh bendera yang berkibar megah atau upacara yang meriah. Kemerdekaan sejati harus terwujud dalam tegaknya keadilan sosial di seluruh sendi kehidupan. Selama kemiskinan masih membelenggu, suara kritis masih dipasung, dan akses terhadap kekuasaan hanya dikuasai elite, maka kemerdekaan yang kita rayakan tiap tahun masih sebatas ilusi.

Merdeka berarti partisipasi kolektif seluruh bangsa untuk membangun tatanan yang adil. Juga menuntut keberanian mengkritisi ketidakadilan, komitmen memperjuangkan hak rakyat, dan integritas menolak setiap bentuk penindasan.

Pertanyaan yang wajib kita renungkan bersama: sudahkah kita benar-benar merdeka, atau masih terjebak dalam bayang-bayang ilusi yang disulap oleh ritual dan retorika belaka? []

Baca juga : Dari Proklamasi ke Realitas: Tafsir Profetik Ketum ABI atas 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia