Opini
Ketika Meja Perundingan di Gaza Tak Cukup, ABI Memilih Bertindak
Oleh: Billy
Ahlulbait Indonesia, 30 Oktober 2025 — Dunia tampaknya sudah terlalu sering mengucapkan kata “perdamaian” hingga maknanya memudar. Ia terdengar indah di podium, ditulis tebal di resolusi PBB, dan menjadi jargon di setiap konferensi internasional. Namun di Gaza, kata itu kehilangan bobotnya. Yang tersisa hanyalah reruntuhan, kelaparan, dan anak-anak yang tumbuh di tengah trauma.
Sementara para pemimpin dunia masih berdebat tentang masa depan Gaza, sekelompok orang di Indonesia memilih jalan berbeda: mereka tidak sibuk berbicara, mereka sibuk memasak.
Pada 28 Oktober 2025, dapur umum Ahlulbait Indonesia (ABI) kembali menyalurkan makanan gratis untuk warga Gaza di Dair Al-Balah. Aksi ini bukan yang pertama, dan bukan pula yang terakhir. Sejak awal agresi zionis, ABI berulang kali mengirimkan bantuan kemanusiaan, memastikan rakyat Gaza tetap bertahan hidup di tengah blokade dan serangan yang tiada henti.
Tindakan itu tampak sederhana, tetapi di balik kesederhanaannya tersimpan makna yang lebih dalam daripada pidato-pidato panjang di ruang diplomasi.
Makna dari Tindakan ABI
Pertama, aksi ABI menegaskan bahwa kemanusiaan tidak menunggu kesepakatan politik. Dunia sering menunggu “momen tepat” untuk bertindak, menunggu gencatan, menunggu izin, menunggu stabilitas. ABI tidak menunggu. Mereka bergerak ketika rakyat Gaza lapar. Dalam logika kemanusiaan, membantu adalah kewajiban, bukan pilihan.
Kedua, ABI menempatkan Gaza bukan sebagai isu, tetapi sebagai sesama manusia yang membutuhkan pertolongan. Ketika para pemimpin dunia menyiapkan konferensi donor yang belum tentu terlaksana, ABI menyiapkan dapur dan memasak. Inilah kemanusiaan yang praktis, bukan retoris.
Baca juga : IKO dan Refleksi DPW ABI DKI Jakarta: Membangun Ormas Berdaya, Akuntabel, dan Bermartabat
Ketiga, solidaritas rakyat yang ditunjukkan ABI menembus batas politik dan geografi. Di tengah blokade ketat, di mana bantuan internasional sering tertahan oleh birokrasi, dapur ABI tetap menyala. Tim lapangan di Gaza kini mengenakan seragam berlogo ABI, simbol bahwa hubungan antara rakyat Indonesia dan Palestina bukan sekadar antara donor dan penerima, melainkan antara saudara yang saling menjaga.
Keempat, aksi ABI merupakan kritik moral terhadap kemunafikan dunia internasional. Dunia sibuk berbicara tentang “perdamaian berkelanjutan,” sementara anak-anak Gaza masih mencari sisa roti di reruntuhan. Para pemimpin besar mengumumkan “fase baru perdamaian,” namun bom terus berjatuhan di Khan Younis dan Dair Al-Balah. Dalam kesederhanaannya, ABI menelanjangi paradoks itu. Dengan membagikan makanan, mereka menyampaikan pesan lebih lantang daripada seribu pidato: perdamaian sejati dimulai dari tindakan yang menghidupkan.
Pertanda dari Tindakan ABI
Tindakan ABI menjadi pertanda kebangkitan moral di tengah keletihan global. Ketika dunia mulai kebal terhadap berita kematian di Gaza, ABI mengingatkan bahwa empati belum mati. Ketika masyarakat internasional sibuk menghitung korban, ABI menghitung berapa banyak yang bisa mereka bantu hari itu.
Lebih jauh, tindakan ini menunjukkan bahwa kepedulian rakyat bisa menjadi kekuatan politik moral baru. Di tengah kegagalan negara-negara besar menjalankan tanggung jawab kemanusiaan, organisasi seperti ABI hadir mengisi kekosongan itu. Dengan gerakan sederhana, mereka membangun bentuk “diplomasi moral” yang jauh lebih efektif daripada konferensi para menteri luar negeri.
Ketika para pemimpin dunia saling menyalahkan atas penderitaan Gaza, ABI mengingatkan siapa yang seharusnya bertanggung jawab: kita semua. Mereka tak punya senjata, tak punya kekuasaan, tapi memiliki sesuatu yang jauh lebih berharga—keberanian untuk bertindak ketika banyak orang memilih diam.
Sepiring nasi hangat di Dair Al-Balah memang tidak akan mengubah peta politik Timur Tengah. Namun ia mengubah sesuatu yang lebih mendasar: mengembalikan makna kemanusiaan yang telah lama hilang dari meja perundingan.
Selama dunia masih sibuk berjanji, ABI akan terus bekerja. Karena bagi mereka, perdamaian bukan hasil tanda tangan, melainkan hasil tangan-tangan yang mau menolong.
Dan selama Gaza masih berdarah, tindakan sederhana itu akan terus menjadi pengingat bagi dunia: bahwa di tengah kelaparan dan keheningan, kemanusiaan sejati tidak pernah berhenti bergerak. []
Baca juga : Musa Kadzim Musawa: Membangun Indonesia dari Integritas dan Pikiran yang Jernih
