Opini
Kuburan Kebenaran dan Kemanusiaan Itu Bernama Gaza
Diamnya dunia menjadikan Gaza bukan hanya ladang kematian, tetapi juga pemakaman bagi kemanusiaan
Oleh: Muhlisin Turkan
Ahlulbait Indonesia – Di abad yang mengagungkan keterbukaan informasi, Gaza justru memperlihatkan ironi paling kelam, menjelma menjadi ladang pembantaian jurnalis terbesar dalam sejarah modern. Fakta ini bukan catatan muram, melainkan dakwaan telanjang terhadap rezim Zionis Israel yang secara sistematis membungkam saksi mata kejahatannya.
Menurut laporan Al Mayadeen (3/10/2025), Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) mencatat lebih dari 222 jurnalis Palestina terbunuh dalam dua tahun terakhir. Angka ini mencengangkan, melampaui jumlah korban di Perang Dunia II, Vietnam, Korea, Suriah, Afghanistan, bahkan Irak. Gaza kini tak hanya terkepung, juga dikenang sebagai “kuburan terbesar wartawan dalam sejarah.”
Anthony Bellanger, petinggi IFJ, menegaskan: tragedi ini bukan kecelakaan, melainkan strategi militer yang terencana, menghapus saksi, menutup akses dunia, dan mengendalikan narasi demi melanggengkan kolonialisme. Netanyahu tidak hanya menargetkan tanah dan manusia, tetapi juga kebenaran itu sendiri.
Baca juga : Baliho Bicara Lebih Lantang dari Diplomasi
Jurnalis Palestina, Benteng Terakhir Kebenaran
Dengan larangan total bagi wartawan asing, hanya jurnalis Palestina yang tersisa untuk menulis sejarah. Mereka bekerja tanpa perlindungan, di tengah reruntuhan rumah sendiri, sambil mengevakuasi keluarga yang turut menjadi sasaran serangan. Nama-nama seperti Anas al-Sharif tidak lagi hanya korban; mereka adalah penulis sejarah yang membayar dengan nyawa.
Namun dunia internasional, alih-alih bertindak, justru terjebak dalam simbolisme kosong. Pengakuan kenegaraan Palestina di PBB datang hanya gimmick, sementara aliran senjata ke Tel Aviv tidak pernah terputus. Impunitas pun meluas: tak ada mekanisme hukum internasional yang benar-benar mampu menjerat para pembunuh jurnalis.
Diam Adalah Komplisit
Inilah ujian terakhir bagi kemanusiaan. Bila pembunuhan wartawan di Gaza diterima dengan diam dan ketidakpedulian, maka dunia secara tidak langsung telah melegitimasi praktik ini sebagai “alat perang sah.” Sejarah akan mencatat, bahwa diamnya dunia sama berbahayanya dengan peluru yang ditembakkan.
Para jurnalis yang gugur di Gaza tidak pernah memilih mati. Mereka hanya memilih untuk melaporkan. Dalam pilihan sederhana itu, mereka menantang kekuasaan paling brutal sekalipun.
Bellanger menutup dengan kalimat yang seharusnya mengguncang nurani kita: “Israel membunuh wartawan. Membunuh wartawan berarti membunuh kebenaran. Dan dunia tanpa kebenaran adalah dunia di mana algojo berkuasa.”
Kini pertanyaannya: apakah kita rela hidup di dunia seperti itu? []
Baca juga : Iran Menelanjangi PBB: Barat Tersandung di Meja Diplomasi
