Opini
Ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta: Mendidik Jiwa dan Menyembuhkan Luka Sosial
Oleh: Redaksi Media ABI
Ahlulbait Indonesia – Ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta bukan hanya peristiwa tragis di tengah kota, melainkan gema dari luka sosial yang lama kita abaikan. Di balik dentuman itu, ada jeritan sunyi generasi muda yang tumbuh dalam ruang pendidikan yang kehilangan kasih dan arah. Sekolah yang seharusnya menjadi taman ketenagan jiwa, kini kerap berubah menjadi ruang persaingan, tekanan, dan kesepian yang tak terdengar.
Peristiwa tragis itu terjadi pada Jumat, 7 November 2025, saat pelaksanaan Shalat Jumat di sekolah. Dua ledakan mengguncang lingkungan SMA Negeri 72, melukai lebih dari lima puluh siswa dan guru. Dugaan awal mengarah pada keterlibatan seorang siswa, dengan latar belakang pengalaman perundungan (bullying).
Meski penyelidikan masih berlangsung, satu hal pasti, bahwa kekerasan di sekolah tidak muncul tiba-tiba. Kekerasan ini lahir dari luka-luka kecil yang dibiarkan membusuk tanpa penyembuhan, dari ketidakpekaan sosial yang menjadikan penderitaan remaja terasa sepi dan tak penting.
Sekolah yang Kehilangan Jiwa Hangatnya
Sekolah seharusnya menjadi Madrasah Insaniyyah, tempat akal diasah dan hati disirami dengan empati. Namun realitasnya banyak sekolah berubah menjadi arena tekanan sosial, perlombaan gengsi, dan candaan yang merendahkan. Ejekan yang dianggap sepele bisa meninggalkan luka batin sangat dalam. Anak didik yang terus direndahkan akan kehilangan rasa percaya diri, terasing, dan terseret dalam pusaran amarah atau keputusasaan.
Islam menolak kekerasan dalam bentuk apa pun. Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Seorang mukmin bukanlah orang yang suka mencaci, mengutuk, atau berkata keji.” Pendidikan yang berlandaskan kasih adalah benteng pertama agar jiwa manusia tidak terjerumus dalam kebencian.
Amirul Mukminin Ali as menasihati: “Wahai manusia, pikullah sendiri pendidikan diri kalian dan berpalinglah dari dikte kecenderungan alami.” Pendidikan diri adalah pondasi dari setiap bentuk pembinaan. Tanpa pengendalian batin, anak akan tumbuh pintar secara teknis tetapi rapuh menghadapi tekanan moral dan sosial.
Pendidikan sebagai Strategi Peradaban
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ahlulbait Indonesia (DPP ABI), Ustadz Zahir Yahya, pada 3 September 2025 menegaskan bahwa pendidikan tidak cukup dipandang sebagai kewajiban moral, melainkan strategi peradaban.
“Yang dipertaruhkan bukan sebatas individu, melainkan kesinambungan generasi dan cita-cita besar komunitas,” ujarnya dalam kunjungan resmi ke Mutiara Ilmu Camp (MIC) di Bangil.
Menurut Ustadz Zahir Yahya, pendidikan adalah sektor paling sensitif yang menentukan arah masa depan bangsa. Tanpa kesungguhan menanamkan nilai sejak dini, generasi penerus akan mudah tercerabut dari akar kebenaran dan kehilangan kompas moralnya.
“Kalau fase emas ini gagal dilewati dengan benar, kerusakan yang timbul hampir mustahil dipulihkan,” tegasnya.
Pernyataan itu menegaskan bahwa pendidikan adalah upaya panjang menanamkan nilai yang menjaga jati diri dan kesinambungan moral bangsa. Bila fase pembentukan karakter di usia remaja gagal diarahkan dengan benar, kerusakan yang muncul sulit dipulihkan.
Dalam konteks ini, ledakan di SMA Negeri 72 bukan semata tragedi keamanan, melainkan alarm kegagalan kolektif dalam membangun kesadaran jiwa di dunia pendidikan. Sekolah yang terlalu sibuk mencetak angka dan prestasi, namun lalai menumbuhkan empati, sejatinya telah kehilangan ruh pendidikannya sendiri.
Ekosistem Moral: Rumah, Sekolah, dan Masyarakat
Pendidikan karakter tidak bisa berdiri sendiri di ruang kelas. Ini membutuhkan sinergi antara rumah, sekolah, dan lingkungan sosial. Ketiganya adalah mata rantai yang membentuk keutuhan jiwa anak.
Imam Ali as berkata: “Kasih sayang antara para ayah menciptakan hubungan antara anak-anak.”
Pesan ini menegaskan bahwa teladan orang dewasa menjadi cermin bagi anak-anak. Mereka belajar dari cara kita memperlakukan sesama, menyikapi perbedaan, dan menyelesaikan konflik. Karena itu, membangun budaya saling menghormati di keluarga dan masyarakat sama pentingnya dengan pembelajaran di sekolah.
Lingkungan yang bersih dari kezaliman, fitnah, dan kekerasan verbal akan melahirkan generasi yang berani berbuat baik tanpa takut diejek. Di situlah makna sebenarnya dari memilih “tempat tinggal” yang baik seperti disarankan Imam Ali, yakni memilih lingkungan moral yang menumbuhkan keteladanan.
Langkah Konkret Menumbuhkan Empati
Tragedi ini seharusnya menjadi momentum membenahi ekosistem kasih di dunia pendidikan.
Langkah kecil bisa berdampak besar:
1. Dengarkan anak-anak dengan hati terbuka. Banyak luka berhenti tumbuh hanya karena seseorang mau mendengar tanpa menghakimi.
2. Bentuk budaya peduli di sekolah. Setiap ejekan, pengucilan, atau candaan kasar harus dipandang sebagai tanda bahaya, bukan hal biasa.
3. Latih empati bagi guru dan orang tua. Mengajar berarti membimbing perasaan, bukan sekadar mentransfer pengetahuan.
Inilah Jihad Sosial yang seringkali dilupakan, memelihara jiwa muda agar tak hancur dalam kesepian dan perundungan.
Etika Publik dan Perlindungan Anak
Karena pelaku dan korban sama-sama anak, publik harus berhati-hati dalam pemberitaan. Identitas mereka tidak layak disebarluaskan. Prinsip “kepentingan terbaik bagi anak” harus menjadi pedoman moral semua pihak. Menghukum tanpa memahami hanya akan memperpanjang luka, sementara empati membuka peluang pemulihan. Keadilan sejati adalah yang melindungi, bukan mempermalukan.
Dari Luka Menuju Kesadaran
Pada akhirnya, ledakan di SMA Negeri 72 adalah cermin bagi seluruh bangsa. Kita terlalu sibuk mencetak anak-anak berprestasi, tetapi lalai menuntun mereka menjadi manusia yang tenteram dan berjiwa sehat. Sekolah yang baik bukan hanya yang melahirkan juara olimpiade, tetapi juga menumbuhkan generasi yang tahu cara bagaimana menghargai dan menyembuhkan sesama.
Seperti pesan Imam Ali as, mendidik jiwa adalah tanggung jawab yang tak boleh dialihkan. Pendidikan sejati adalah ibadah panjang yang menuntun akal, melembutkan hati, dan menjaga fitrah agar tetap bercahaya.
Jelas, tragedi ini tak boleh berhenti menjadi berita, dan harus menjadi kesadaran kolektif bahwa masyarakat yang membiarkan satu anaknya terluka sedang melukai masa depannya sendiri. Setiap anak yang kita dengarkan hari ini suaranya, adalah satu tragedi yang takkan pernah terjadi esok hari. []
Baca juga : Siti Fatimah dan Stereotipe ‘Solihah’
