Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Logika Perlawanan: Menghentikan Genosida, Menegakkan Keadilan

Logika Perlawanan: Menghentikan Genosida, Menegakkan Keadilan

Oleh: Anis Muhamad

Genosida Dulu dan Sekarang

Di tengah kegelapan zaman yang dipenuhi gemuruh konflik dan derita, dunia berdiri di persimpangan sejarah. Pada 11 Juli 2025, ketika kita memperingati 30 tahun genosida Srebrenica—tragedi kelam yang merenggut puluhan ribu nyawa di Bosnia—kita kembali disadarkan pada luka yang belum sembuh: genosida di Palestina yang terus berlangsung, dengan skala dan kekejaman yang mengguncang nurani. Dua momen ini, meski terpisah tiga dekade, adalah cermin dari kegagalan kemanusiaan dan hegemoni yang merampas keadilan dari kaum mustadh’afin. Namun, di tengah derita, bara perlawanan terus menyala, menyeru umat manusia untuk bangkit melawan tirani dan menegakkan fajar keadilan.

Pada 1992–1995, dunia menyaksikan genosida di Srebrenica, Bosnia, ketika lebih dari 8.000 pria dan anak laki-laki Muslim dibantai oleh pasukan Serbia di bawah kepemimpinan Ratko Mladić. Wilayah yang ditetapkan sebagai “zona aman” oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ternyata menjadi kuburan massal, dengan pasukan penjaga perdamaian PBB yang lemah tak mampu menghentikan pembantaian. Pada 1999, PBB secara resmi meminta maaf atas kegagalannya melindungi rakyat Srebrenica, mengakui kelalaian dalam menjalankan mandat perdamaian. Namun, permintaan maaf itu tak mengembalikan nyawa yang hilang, juga tak mencegah sejarah mengulang dirinya.

Lemahnya Peran PBB

Hari ini, di Palestina, kita menyaksikan tragedi serupa dengan skala yang jauh lebih besar. Sejak Oktober 2023, genosida yang dilakukan oleh rezim Zionis Israel telah merenggut puluhan ribu nyawa, menghancurkan rumah, masjid, dan rumah sakit, serta mengusir jutaan rakyat Palestina dari tanah air mereka. PBB, dengan segala resolusinya, kembali terdiam. Ratusan resolusi yang menyerukan keadilan bagi Palestina telah dihancurkan oleh hak veto Amerika Serikat, sekutu setia Israel. Pasal 99 Piagam PBB, yang memberikan wewenang kepada Sekretaris Jenderal untuk mengambil tindakan darurat terhadap ancaman perdamaian, telah diusulkan oleh Antonio Guterres, namun hingga kini terhenti di meja negosiasi yang mandul. Kegagalan PBB di Srebrenica dan Palestina bukanlah kebetulan, melainkan bukti dari struktur hegemonik yang melumpuhkan lembaga yang seharusnya menjadi penjaga kemanusiaan.

Sejak berakhirnya Perang Dunia II, PBB dibentuk dengan harapan menjaga perdamaian dunia. Namun, hak veto yang diberikan kepada lima anggota tetap Dewan Keamanan—Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, dan Tiongkok—telah menjadikan PBB sebagai alat kepentingan segelintir negara. Alih-alih menciptakan keseimbangan, hak veto ini telah melahirkan hegemoni unipolar, dengan Amerika Serikat sebagai aktor dominan. Teori unipolar, yang mengklaim bahwa dominasi satu negara akan meminimalkan konflik, telah terbantahkan. Seperti yang pernah diungkapkan Lord Acton, “Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut cenderung korup secara absolut.” Hegemoni Amerika, yang didukung oleh lobi Zionis yang mengendalikan kebijakan politik dan ekonomi, telah menciptakan dunia yang timpang, di mana keadilan menjadi korban ambisi kekuasaan.

Lobi Zionis, dengan kekuatan finansial dan intrik politiknya, telah menyandera kebijakan Amerika. Kasus seperti skandal Epstein, yang diduga terkait dengan operasi intelijen Israel (Mossad), menjadi bukti bagaimana elit politik dimanipulasi melalui skandal dan tekanan. Akibatnya, kebijakan Amerika sering kali bertentangan dengan kepentingan rakyatnya sendiri, demi melindungi kepentingan rezim Zionis yang terus melakukan ekspansionisme di Palestina, Lebanon, Suriah, dan Yordania. Hegemoni ini bukan hanya momok politik, tetapi hantu yang menghantui nurani kemanusiaan, menciptakan dunia di mana genosida disiarkan secara terbuka, namun dunia tetap bisu.

Baca juga : Bukan Genosida yang Mengusik Tidur Donald Trump, Tapi Laporan Francesca Albanese

Iran Melawan Hegemoni dan Genosida

Di tengah kelamnya hegemoni dan kegagalan dunia internasional, Republik Islam Iran berdiri sebagai mercusuar perlawanan. Sejak Revolusi Islam 1979, Iran telah menunjukkan konsistensi dalam membela kaum mustadh’afin—mereka yang tertindas dan dilupakan dunia. Pada 1990-an, ketika Bosnia menghadapi genosida, Iran menjadi salah satu negara pertama yang memberikan bantuan kemanusiaan dan militer kepada Muslim Bosnia, melawan agresi Serbia meski dunia Barat ragu untuk bertindak. Iran tidak hanya mengirimkan bantuan, tetapi juga menyuarakan kebenaran di panggung internasional, menentang hegemoni yang membiarkan Srebrenica berdarah.

Hari ini, di Palestina, Iran tetap menjadi benteng perlawanan. Melalui dukungan moral, politik, dan material kepada rakyat Palestina, Iran telah menunjukkan bahwa perjuangan melawan penjajahan adalah amanat ideologis yang tak boleh dikhianati. Berbeda dengan banyak negara yang terjebak dalam retorika kosong, Iran bergerak dengan kesungguhan, menolak tunduk pada tekanan hegemoni Amerika dan sekutunya. Konsistensi ini bukan sekadar politik, tetapi cerminan dari komitmen teologis untuk menegakkan keadilan, sebagaimana diajarkan oleh Ahlulbait: bahwa perlawanan terhadap kezaliman adalah ibadah, dan pembelaan terhadap yang tertindas adalah jalan menuju keselamatan.

Tanggal 11 Juli adalah hari kelam dalam sejarah kemanusiaan, ketika genosida Srebrenica 1995 merenggut lebih dari 8.000 nyawa Muslim Bosnia—pria, anak laki-laki, dan perempuan—di bawah pengawasan pasukan PBB yang tak berdaya. Tragedi ini, yang diakui PBB sebagai kegagalan melalui permintaan maaf pada 1999, adalah cermin dari kelemahan sistem internasional yang dikuasai hegemoni. Pada 23 Mei 2024, PBB menetapkan Resolusi 78/282, menjadikan 11 Juli sebagai Hari Internasional untuk Refleksi dan Peringatan Genosida Srebrenica. Namun, resolusi ini tak lebih dari pengakuan simbolis, ketika genosida serupa terus berlangsung di Palestina, dengan pola yang mirip: pembantaian sistematis, pengusiran massal, dan penghancuran identitas sebuah bangsa.

Srebrenica dan Palestina adalah dua luka yang menyatu dalam satu cerita: kegagalan dunia menegakkan keadilan di hadapan hegemoni. Namun, dari luka ini lahir panggilan untuk melawan. Kita tidak boleh terlena pada resolusi kertas atau negosiasi yang mandul. Pasal 99 Piagam PBB, yang menyerukan tindakan kolektif untuk mencegah genosida, harus diwujudkan melalui koalisi negara-negara berdaulat yang masih memiliki harga diri. Dunia menanti barisan kemanusiaan yang berani memasuki Gaza dengan bantuan besar-besaran, dikawal kekuatan militer, untuk menghentikan pembantaian. Jika langkah ini tidak diambil, maka semua negara di dunia harus memikul tanggung jawab atas genosida ini, sebagai bukti bahwa kedaulatan mereka telah dirampas oleh hegemoni Amerika dan Israel.

Di tengah kebisuan dunia, Toolkit International Coalition for the Responsibility to Protect (ICRtOP) muncul sebagai suara nurani kemanusiaan. Dibentuk oleh koalisi negara-negara Asia Pasifik dan direkomendasikan oleh PBB, Toolkit ini bukanlah hukum yang mengikat, melainkan amanat moral yang menyerukan setiap negara untuk melindungi rakyatnya dari pembersihan etnis dan genosida, serta membantu negara lain dalam menghadapi kejahatan kemanusiaan. Dokumen ini menegaskan bahwa tanggung jawab melindungi (Respons Responsibility to Protect) adalah panggilan kolektif untuk bertindak cepat dan tegas, menghentikan pembantaian sebelum jiwa-jiwa tak berdosa terkubur dalam luka sejarah (ICRtOP Toolkit: https://r2pasiapacific.org/files/325/ICRtoP_toolkit_bahasa_indonesia.pdf). Namun, ketika genosida di Palestina terus berlangsung dalam tahap yang kian krusial, PBB dan mekanisme seperti ICRtoP masih terbelenggu oleh kepentingan hegemoni. Dunia harus mendorong agar Toolkit ini bukan sekadar kata-kata, tetapi menjadi nyala tindakan yang menyelamatkan umat manusia dari derita.

Hegemoni unipolar adalah hantu yang hanya akan sirna jika dunia berani melawan. Inisiatif seperti BRICS adalah langkah awal menuju tatanan dunia yang lebih adil, di mana negara-negara berdaulat memiliki suara setara tanpa terkekang oleh hak veto atau tekanan ekonomi. PBB, jika tidak direstrukturisasi, harus digantikan oleh lembaga internasional baru yang menjunjung keadilan tanpa diskriminasi. Perjuangan ini bukan sekadar politik, tetapi amanat suci untuk mengembalikan martabat umat manusia.

Dari Srebrenica hingga Palestina, bara perlawanan terus menyala. Ia memanggil setiap jiwa yang masih memiliki nurani untuk berdiri di sisi kebenaran, melawan tirani, dan menegakkan keadilan. Free Palestine bukan sekadar seruan, tetapi deklarasi bahwa perjuangan melawan genosida adalah perjuangan untuk kemanusiaan itu sendiri. Marilah kita menapaki jalan ini dengan kesungguhan, menjadikan setiap langkah sebagai ibadah, dan setiap perlawanan sebagai amanat menuju fajar keadilan yang telah dijanjikan.[]

Baca juga : Ini Era Perlawanan: Ingatan Jadi Pilar, Etos Jadi Tenaga, Narasi Jadi Medan Tempur

Continue Reading