Opini
Makna Esoteris Haji dalam Perspektif Imam Ali Zainal Abidin as

Oleh: Euis Daryati, Lc., M.A. (Pimpinan Nasional Muslimah ABI Bidang Perempuan, Anak, dan Keluarga)
Haji bukan hanya bentuk ibadah ritual keagamaan belaka, namun ia pun memiliki muatan politis yang harus dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh pelaksananya. Konsep bara’ah min al-musyrikin (berlepas tangan dari kaum musyrik) yang ditekankan dalam Al-Quran merupakan bukti akan ungkapan di atas. Oleh karena itu, imam Khomeini ra menyatakan bahwa haji adalah peribadatan yang bernuansa politik. Sebagaimana dalam hukum Islam, haji tanpa bara’ah dihukumi buntung dan tidak sempurna, maka benar jika dinyatakan bahwa ia adalah ritus peribadatan bernuansa politik.
Secara tekstual, begitu banyak hadis yang menjelaskan tentang keutamaan haji. Di sisi lain, terdapat banyak juga hadis yang berkenaan dengan ancaman bagi pribadi yang telah mampu melaksanakannya namun ia tidak melakukannya, dan meremehkan pelaksanaan ibadah haji.
Dalam banyak hadis disebutkan, al-Quran memiliki makna zahir dan batin. Sehingga dari situ dapat dipastikan bahwa semua ayat-ayat yang tercantum di dalamnya pun terkandung muatan zahir dan batin pula. Perintah ibadah haji juga tertera dalam Al-Quran, oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa sebagaimana haji memiliki tata cara zahir yang jelas seperti yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW, haji pun memiliki pemaknaan batin yang sangat berpengaruh pada kesempurnaan batin manusia. Alhasil, ibadah haji bukan hanya sekedar melibatkan jasad zahir dan lahiriah manusia belaka, namun ia juga melibatkan batin manusia. Sehingga dari situ kesempurnaan zahir dan batin manusia seusai melaksanakan ibadah haji akan terwujud dengan sempurna. Ini jika ditinjau dari sisi ritual keagamaannya.
Untuk menyingkap lebih jauh tentang makna esoteris (batin) haji, berikut akan dinukil ungkapan irfani Imam Ali Zainal Abidin ad dari kitab Mustadrak al-Wasa’il karya Muhaddits an-Nuri tentang rahasia haji yang dinarasikan secara dialogis. Dalam narasi itu, dituturkan bahwa Imam as ketika berwasiat kepada salah seorang sahabat beliau bernama As-Syibli yang baru saja usai melaksanakan ibadah haji.
Imam Ali Zainal Abidin as, “Wahai As-Syibli, apakah engkau telah menunaikan ibadah haji?”
As-Syibli, “Ya, kami telah menunaikan ibadah haji, wahai putra Rasulullah!?”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah engkau telah beranjak di Miqat? Sudahkah engkau lepaskan pakaian berjahit lalu mengenakan pakaian Ihram? Dan apakah engkau telah mandi?”
As-Syibli, “ Ya, wahai putra Rasulullah.”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah niatmu ketika beranjak di Miqat adalah untuk melepaskan pakaian dosa, lalu menggantinya dengan pakaian takwa?”
As-Syibli, “Tidak, wahai putra Rasulullah.”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah ketika engkau melepaskan pakaian berjahit, niatmu adalah untuk melepaskan baju riya (ingin pujian manusia), bermuka dua dan segala perbuatan yang menjadi penyebab keraguan?”
As-Syibli, “Tidak, wahai putra Rasulullah.”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah ketika engkau melaksanakan mandi dan membersihkan badanmu, niatmu adalah untuk bertaubat dari segala salah dan dosa, lalu mensucikan dan membersihkan dirimu dengan cahaya taubat?”
As-Syibli, “Tidak, wahai putra Rasulullah.”
Baca juga : Gerbang Makrifat dan Wilayah Ilahiah
Imam Ali Zainal Abidin as, “Kalau seperti itu, berarti engkau tidak melaksanakan miqat, tidak melepaskan pakaian berjahit dan tidak mandi. Sekarang katakanlah, apakah engkau telah membersihkan dirimu, memakai baju ihram dan berniat untuk melakukan haji?”
As-Syibli. “Ya, wahai putra Rasulullah.”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah ketika engkau membersihkan badanmu dan menghilangkan daki dan kotoran dari badanmu, niatmu adalah melalui taubat, engkau pun turut hilangkan segala kotoran (batin) dari dirimu?”
As-Syibli, “Tidak, wahai putra Rasululullah.”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah sewaktu engkau berniat untuk pergi ke haji dan mengadakan perjanjian dengan Allah, niatmu adalah untuk membatalkan semua perjanjian dengan selain-Nya, lalu melepaskan diri dari segala ikatan dengan selain-Nya?”
As-Syibli, “Tidak, wahai putra Rasulullah.”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Kalau seperti itu, berarti engkau belum membersihkan diri, berihram dan belum berjanji untuk berhaji. Sebenarnya apakah engkau telah masuk miqat? Apakah engkau telah melaksanakan salat dua rakaat dan telah mengucapkan talbiyah?”
As-Syibli, “Ya, wahai putra Rasulullah.”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah ketika engkau masuk ke miqat, niatmu adalah untuk menziarahi-Nya?”
As-Syibli, “Tidak, wahai putra Rasulullah”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah ketika engkau melaksanakan salat ihram, niatmu adalah melalui salat tadi untuk mendekatkan diri kepada-Nya?
As-Syibli, “Tidak, wahai putra Rasulullah”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah ketika engkau mengucapkan talbiyah, niatmu adalah hanya dalam ketaatan-Nya, engkau menggunakan lisan-mu dan tidak menggunakannya dalam kemaksiatan?”
As-Syibli, “Tidak, wahai putra Rasulullah.”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Kalau begitu engkau belum masuk miqat, belum melaksanakan salat ihram dan belum mengucapkan talbiyah. Apakah engkau telah masuk Haram (pelataran suci)? Apakah engkau telah melihat Ka’bah dan melaksanakan salat?”
As-Syibli, “Ya, wahai putra Rasulullah”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah ketika engkau masuk Haram, niatmu adalah untuk mengharamkan dirimu dari ghibah kepada setiap pribadi muslim?”
As-Syibli, “Tidak, wahai putra Rasulullah”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah ketika engkau sampai di Makkah, engkau mengingat bahwa engkau sedang menghadap-Nya?”
As-Syibli, “Tidak, wahai putra Rasulullah”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Kalau begitu engkau belum pergi ke Haram, belum melihat Ka’bah dan belum melaksanakan salat. Apakah engkau telah memutari Ka’bah? Apakah engkau telah mengusap semua sudut (rukun) Ka’bah? Apakah engkau telah melaksanakan sa’i dari Shafa menuju Marwah?”
As-Syibli, “Ya, wahai putra Rasulullah”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah ketika engkau melaksanakan sa’i, niatmu untuk berlari menuju Tuhan dan hidup di bawah naungan dan lindungan keamanan-Nya, dan Dia yang mengetahui rahasia menyaksikan hal ini?”
As-syibli, “Tidak, wahai putra Rasulullah.”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Kalau begitu engkau belum melaksanakan thawaf, belum menyentuh semua sudut Ka’bah dan belum melaksanakan sa’i. Apakah engkau telah menyentuh dan bersalaman dengan Hajar Aswad? Apakah engkau telah berdiri di Maqam Ibrahim dan melaksanakan salat dua rakaat di tempat tersebut?”
As-Syibli, “Ya, wahai putra Rasulullah”
Tiba-tiba Imam Ali Zainal Abidin as berteriak sampai-sampai kita merasa takut dengan teriakannya yang seakan dapat memisahkan ruh dari badan hingga mati. Lalu beliau berkata, “Barangsiapa yang bersalaman (menyentuh) dengan Hajar Aswad berarti ia telah bersalaman dengan Allah SWT. Wahai manusia lemah, sadarlah, jangan-jangan engkau telah menghancurkan kehormatan perihal yang besar ini. Melakukan dosa dengan tangan yang telah engkau berikan kepada Allah SWT, dan melalui penentanganmu terhadap-Nya engkau telah menyia-nyiakan pahala dan balasan-Nya”.
Lantas beliau berkata lagi, “Apakah niatmu ketika mendirikan salat di Maqam Ibrahim adalah supaya engkau seperti Ibrahim, dan melalui salat itu berarti engkau telah memoles hidung setan dengan tanah?”
As-Syibli, “Tidak, wahai putra Rasulullah”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Kalau seperti itu berarti engkau belum bersalaman dengan Hajar Aswad, belum berdiri di Maqam Ibrahim dan belum melaksanakan salat. Apakah engkau telah pergi ke sumur Zam-zam dan meminum airnya?”
As-Syibli, “Ya, wahai putra Rasulullah”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah niatmu ketika itu untuk mentaati-Nya, dan tidak akan menentang-Nya?”
As-Syibli, “Tidak, wahai putra Rasulullah”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Kalau begitu engkau belum pergi ke sumur Zam-zam, dan belum meminum airnya. Apakah engkau telah ber-sa’i antara Shafa dan Marwah?”
As-Syibli, “Ya, wahai putra Rasulullah”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah niatmu ketika ber-sa’i antara Shafa dan Marwah, adalah untuk memendarkan perasaan pada dirimu antara rasa takut dan pengharapan”
As-Syibli, “Tidak, wahai putra Rasulullah”
Baca juga : Haji: Refleksi Memuliakan Perempuan
Imam Ali Zainal Abidin as, “Kalau seperti itu berarti engkau belum ber-sa’i antara Shafa dan Marwah. Lalu apakah engkau telah pergi ke Mina”
As-Syibli, “Ya, wahai putra Rasulullah”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah niatmu ketika keluar dari Makkah, lalu pergi menuju Mina, adalah supaya orang-orang aman dari tangan, lisan dan hatimu?”
As-Syibli, “Tidak, wahai putra Rasulullah.”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Kalau begitu engkau belum keluar dari Makkah, dan belum pergi ke Mina. Apakah engkau telah wuquf di Arafah, dan mendaki ke atas Jabal Rahmah? Apakah engkau telah mendatangi Wadi Numrah? Apakah engkau memohon kepada Allah di Mil dan Hamarat?”
As-Syibli, “Ya, wahai putra Rasulullah”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah ketika wukuf di Arafah engkau mengetahui bahwa semua pengetahuan dan makrifah berasal dari-Nya, dan berada di sisi-Nya? Apakah engkau mengetahui bahwa keberadaan ada pada tangan-Nya, dan Dia mengetahui semua yang terdapat pada dirimu, baik yang nampak maupun yang tersembunyi?”
As-Syibli, “Tidak, wahai putra Rasulullah”.
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah niatmu ketika menaiki Jabal Rahmah karena Allah akan memberikan rahmat kepada setiap mukmin lelaki dan perempuan, Dia mencintai setiap muslim lelaki dan perempuan, serta melindungi mereka?”
As-Syibli, “Tidak, wahai putra Rasulullah.”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah niatmu ketika di masjid Namrah supaya dirimu mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta tidak memerintah dan melarang kepada orang lain”
As-Syibli, “Tidak, wahai putra Rasulullah.”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah ketika berhenti di antara dua “tanda” (‘alam) dan masjid Namrah, engkau ingat bahwa semua itu merupakan saksi atas segala ketaatanmu dan senantiasa menjagamu bersama para penjaga Tuhan”
As-Syibli, “Tidak, wahai putra Rasulullah.”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Kalau begitu engkau belum wukuf di Arafah, belum menaiki Jabal Rahmah, belum mengenal masjid Namrah, belum tinggal di Namrah dan belum berdoa. Apakah engkau telah melewati antara dua tanda (alam), dan sebelum melewatinya engkau melaksanakan salat dua rakaat? Apakah engkau telah pergi ke Muzdalifah dan telah mengambil kerikil? Apakah engkau telah pergi ke Masy’aril-Haram?”
As-Syibli, “Ya, wahai putra Rasulullah.”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah ketika engkau melaksanakan salat (pada malam ke sepuluh) niatmu adalah, bahwa salat ini merupakan salat syukur, karena Dia telah menghilangkan kesulitan darimu dan mendatangkan kemudahan?”
As-Syibli, “Tidak, wahai putra Rasulullah.”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah ketika melewati dua ‘alam dimana engkau berusaha supaya tidak melenceng ke arah kanan dan kiri, niatmu adalah melalui hati, lisan dan badanmu supaya dirimu tidak melenceng dari kebenaran?”
As-Syibli, “Tidak, wahai putra Rasulullah.”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah ketika engkau mengambil batu dari Muzdalifah, niatmu adalah menjauhkan segala penentangan dan kebodohan dari dirimu. Lalu, mendatangkan setiap ilmu dan amal perbuatan bagi dirimu?”
As-Syibli, “Tidak, wahai putra Rasulullah.”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah ketika engkau pergi ke Masy’aril-Haram, niatmu adalah untuk menanamkan pada dirimu rasa sebagaimana orang yang bertakwa dan pribadi yang takut kepada Allah?”
As-Syibli, “Tidak wahai putra Rasulullah.”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Kalau begitu engkau belum melewati diantara dua alam, belum mendirikan salat, belum pergi ke Muzdalifah untuk mengumpulkan batu kerikil dan belum pergi ke Masy’aril Haram. Apakah engkau telah pergi ke Mina? Apakah engkau telah melempar jumrah? Apakah engkau telah mencukur rambutmu? Apakah engkau telah berkorban? Apakah engkau telah salat di masjid Khaif, lalu kembali ke Makkah dan melakukan tawaf?”
As-Syibli, “Ya, wahai putra Rasulullah.”
As-sajjad (as) : Apakah ketika engkau telah sampai di Mina dan telah melempar jumrah, niatmu adalah engkau telah sampai ke tujuanmu dan Allah telah memenuhi semua hajatmu?
As-Syibli, “Tidak wahai putra Rasulullah.”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah ketika engkau melempar jumrah, niatmu adalah untuk melempari Setan dan mengusirnya dari dirimu?”
As-Syibli, “Tidak, wahai putra Rasulullah.”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah ketika engkau mencukur rambutmu, niatmu adalah untuk membersihkan dirimu dari segala kotoran dan keburukan, serta melepaskan semua hak-hak orang lain yang ada pada dirimu, seperti ketika engkau baru terlahir dari ibumu dan engkau lepaskan dirimu dari dosa-dosa?”
As-Syibli, “Tidak, wahai putra Rasulullah.”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah ketika engkau salat di masjid Khaif, niatmu adalah engkau tidak takut dari sesuatupun kecuali takut dari Allah dan dosa-dosamu, serta tidak akan mengharapkan rahmat kecuali dari-Nya?”
As-Syibli, “Tidak, wahai putra Rasulullah.”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah ketika engkau menyembelih binatang korbanmu, niatmu adalah dengan wara’ (keterjagaan) dan ketakwaan engkau sembelih tenggorokan kerakusan dan ketamakan dirimu, dan untuk menghidupkan sunah Ibrahim yang telah mengorbankan anak dan belahan jiwanya?”
As-Syibli, “Tidak, wahai putra Rasulullah.”
Imam Ali Zainal Abidin as, “Apakah ketika engkau kembali ke Makkah dan telah melaksanakan tawaf, niatmu adalah dengan rahmat dan ketaatan kepada-Nya engkau telah kembali serta berpegang erat pada kecintaan-Nya. Dan engkau telah melaksanakan perintah-Nya serta telah dekat kepada-Nya?”
As-Syibli, “Tidak, wahai putra Rasulullah.”
Imam Ali Zainal Abidin as, Kalau seperti itu engkau belum sampai ke Mina, belum melempar jumrah, belum mencukur rambutmu, belum mendirikan salat di masjid Khaif, belum berkorban, belum melaksanakan thawaf dan belum dekat dengan-Nya. Kembalilah engkau, karena engkau belum menunaikan haji.”
Dengan rasa penuh penyesalan, As-Syibli menangisi semua kekurangan yang terdapat pada ibadah hajinya, lantas ia pun berjanji akan berusaha untuk mempelajari dan menghayati seluruh rahasia haji, sehingga ia dapat melakukan haji selanjutnya dengan penuh makrifat dan dapat melaksanakan ibadah haji yang sebenarnya, dengan memperhatikan makna batin badah haji.[]
Baca juga : 36 Tahun Wafat Imam Khomeini: Ruhullah Tak Mati, Ia Berubah Menjadi Perlawanan Global