Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Membaca Pesantren dengan Keadilan: Pesantren dan Bias Jurnalisme Kita

Membaca Pesantren dengan Keadilan: Pesantren dan Bias Jurnalisme Kita
Tayangan Xpose Uncensored Trans 7 yang dinilai kontroversial. (foto: madaninews)

Oleh: Redaksi Media ABI

Menjelang Hari Santri Nasional, dunia media ditantang untuk memperbaiki cara pandang terhadap pesantren dan berhenti mereproduksi stigma sosial

Ahlulbait Indonesia, 16 Oktober 2025 — Pesantren adalah wajah asli pendidikan Islam di Indonesia. Dari masa ke masa, pesantren telah berperan besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, membangun karakter, dan menjaga semangat kebangsaan. Namun di balik peran besarnya itu, perhatian negara dan media terhadap pesantren belum sepenuhnya seimbang.

Kesenjangan perhatian ini kembali tampak dalam salah satu tayangan televisi swasta yang menyorot kehidupan pesantren secara sepihak. Alih-alih membuka ruang pemahaman lebih luas dan mendalam, sebagian pemberitaan justru membentuk persepsi negatif bahwa pesantren adalah lembaga tertinggal yang terjebak masa lalu. Pandangan semacam ini bukan hanya keliru, tetapi juga menyempitkan cara pandang terhadap salah satu pilar pendidikan bangsa di Republik ini.

Contoh paling baru muncul dalam program Xpose Uncensored Trans7 yang tayang pada Senin, 13 Oktober 2025. Berdasarkan tayangan yang beredar, program ini menampilkan potongan video dan gambar hubungan santri dan kiai dengan narasi yang menggiring opini negatif. Salah satu segmennya berjudul “Kiai yang kaya raya, tapi umat yang kasih amplop.” Dalam tayangan itu, terlihat seorang santri menyalami kiai sambil menyerahkan amplop, lalu pengisi suara yang nampaknya adalah wanita, menyebut bahwa netizen mencurigai hal itu sebagai sumber kekayaan sang kiai.

Narasi tersebut bahkan membandingkan dengan mobil mewah yang disebut-sebut milik sang kiai, disertai komentar: “Mobil mewah. Sarungnya saja mahal, rata-rata Rp 400.000–Rp 12.000.000.” Sejauh yang tampak di tayangan, belum terlihat adanya rujukan narasumber atau ruang klarifikasi dari pihak yang dinarasikan. Contoh ini memperlihatkan bagaimana satu framing dapat memindahkan fokus dari fakta ke insinuasi, padahal esensi jurnalisme adalah memverifikasi, bukan membangun praduga, apalagi menghukumi.

Liputan semacam ini menunjukkan perlunya pemahaman yang lebih jernih tentang pesantren. Pesantren bukan anomali di tengah sistem pendidikan nasional, melainkan bagian integral dari sejarah intelektual bangsa. Mengukurnya dengan standar rasionalitas dan efisiensi ala pendidikan modern berarti mengabaikan akar filosofisnya yang berangkat dari tradisi spiritual yang menempatkan adab dan kebijaksanaan sebagai inti pembentukan karakter santri.

Sistem pesantren bekerja dengan logika yang khas. Hubungan antara kiai dan santri bukan hubungan administratif belaka, melainkan ikatan ruhani yang membentuk moral, karakter, dan disiplin spiritual. Dari sinilah diharapkan akan lahir manusia berilmu yang berakhlak, sebuah harmoni antara pengetahuan dan keutamaan batin.

Baca juga : Menata Nalar Perdamaian: Meluruskan Kedudukan dan Mengoreksi Generalisasi atas Opini Ija Suntana di Kompas

Dengan skala sebesar ini, kesalahpahaman dalam peliputan pesantren menjadi ironi tersendiri. Data Kementerian Agama tahun ajaran 2024/2025 mencatat ada 42.433 pondok pesantren aktif di Indonesia, meningkat tajam dibanding satu dekade lalu. Provinsi dengan jumlah terbanyak adalah Jawa Barat (13.005 pesantren), disusul Jawa Timur (7.347) dan Banten (6.776). Skala sebesar ini menuntut media menaikkan standar verifikasi dan keberimbangan dalam setiap pemberitaan tentang dunia pesantren. (Kemenag: Sudah Saatnya Diwujudkan Direktorat Jenderal Pondok Pesantren. Selasa, 23 September 2025)

Kontribusi pesantren terhadap pembangunan nasional pun nyata. Mungkin belum ada angka statistik formal mengenai jumlah alumninya di jabatan publik, tetapi sejarah telah berbicara. Presiden ke-4 Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), lahir dari tradisi pesantren dan menjadi simbol demokrasi serta pluralisme. Begitu pula para pendiri bangsa seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, dan Pangeran Diponegoro, figur-figur santri yang mewariskan spirit moral dalam kepemimpinan bangsa.

Tentu, seperti lembaga pendidikan lain, pesantren juga menghadapi tantangan internal, mulai dari tata kelola, perlindungan santri, dinamika hubungan antar-santri maupun antara santri dan kiai, hingga kebutuhan beradaptasi dengan perkembangan zaman. Namun, di sinilah pentingnya jurnalisme yang cermat, yaitu mengungkap persoalan tanpa menstigma, memberi ruang klarifikasi, dan mendorong perbaikan tanpa menghapus kehormatan lembaga.

Keragaman karakter pesantren di Indonesia, mulai dari pesantren salaf yang menjaga kemurnian tradisi, pesantren modern yang mengintegrasikan kurikulum umum, hingga pesantren mahasiswa di perkotaan, menunjukkan keluasan cakrawala pendidikan Islam Nusantara. Perbedaan model ini menuntut metodologi peliputan yang peka konteks, observasi lapangan yang cermat, dan terminologi yang adil dalam penyajian.

Menjelang Hari Santri Nasional, 22 Oktober, polemik ini patut menjadi cermin reflektif bagi dunia media dan masyarakat luas. Sudah waktunya media berhenti memotret pesantren dari kacamata prasangka, dan mulai memahami kompleksitasnya sebagai ruang pembentukan karakter bangsa.

Dari pesantren telah lahir, dan akan terus lahir, generasi yang mampu memadukan kecerdasan modern dengan kebijaksanaan spiritual. Nilai-nilai klasik yang mereka warisi bukan beban masa lalu, melainkan sumber daya moral bagi masa depan bangsa. Karena itu, peran media bukan untuk menggurui pesantren, melainkan menghadirkan suaranya dengan adil dengan memberi ruang bagi kiai, santri, dan alumni untuk didengar, menautkan data yang akurat, serta memastikan hak jawab tersedia dalam proporsi yang setara.

Sudah saatnya media berhenti melihat pesantren dari kacamata prasangka, dan mulai memotretnya dengan kejujuran intelektual, sebagai sumber kebijaksanaan yang terus menyalakan cahaya peradaban bangsa. []

Baca juga : Hijab: Gaya Hidup Kesadaran, Bukan Seragam