Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Membungkam Cahaya Gaza: Genosida Epistemik dan Serangan terhadap Jurnalisme Kebenaran

Membungkam Cahaya Gaza: Genosida Epistemik dan Serangan terhadap Jurnalisme Kebenaran
Sumber: IMS

Oleh: Muhlisin Turkan

Ahlulbait Indonesia – Gaza bukan sekadar medan genosida, Gaza kini medan perang atas kebenaran. Dan malam 18 Mei 2025 menjadi babak baru dari serangan frontal Israel terhadap seluruh fondasi Jihad informasi.

Lima jurnalis Palestina, Abdul Rahman Al-Abaadela, Khaled Abu Seif, Azeez Al-Hajjar, Ahmed Al-Zaytani, dan Nour Qandil, syahid dalam bombardir udara Israel. Mereka gugur bersama anggota keluarga saat bom Zionis menghantam tenda pengungsian dan rumah-rumah sipil di Khan Younis, Deir al-Balah, dan Kota Gaza. Serangan tersebut menewaskan sedikitnya 110 warga sipil, angka kematian tertinggi dalam beberapa pekan terakhir.

Menurut Kantor Media Pemerintah Gaza, jumlah jurnalis yang terbunuh sejak awal agresi pada Oktober 2023 kini mencapai 222 orang. Ini bukan sekadar statistik kekerasan, melainkan bukti konkret dari perang sistematis terhadap suara-suara yang mengungkap kedustaan penjajahan: sebuah Jihad Tabyin, perlawanan epistemik yang melawan peluru dengan kata-kata, melawan drone dengan narasi, dan melawan propaganda dengan cahaya kebenaran.

Pembunuhan yang Dirancang, Bukan Salah Sasaran

Organisasi kebebasan pers dunia seperti CPJ, RSF, dan IFJ telah menyampaikan kesimpulan tegas: pembunuhan jurnalis di Gaza bukanlah kekeliruan, melainkan strategi yang disengaja. Para jurnalis kerap menjadi target meski mengenakan rompi bertanda “PERS”, berada di dalam kendaraan bertanda khusus, atau bahkan saat berlindung bersama keluarga. Kantor-kantor berita dihancurkan, sinyal dan komunikasi dilumpuhkan. Gaza berubah dari medan liputan menjadi ruang sunyi, tempat kebenaran dibunuh sebelum sempat disiarkan.

Israel berdalih bahwa para jurnalis tersebut “berafiliasi dengan militan”, namun tuduhan itu sejauh ini tak pernah dibuktikan. Justru, agresi ini mengungkap ketakutan rezim Zionis terhadap media independen. Sebab di balik kamera dan pena para jurnalis Palestina, terbentang medan jihad yang tak dapat ditundukkan oleh senjata dan embargo.

Sherif Mansour dari CPJ menyatakan: “Tentara Israel telah membunuh lebih banyak jurnalis dalam 10 minggu dibanding entitas mana pun dalam setahun… Setiap jurnalis yang gugur membuat perang ini semakin sulit untuk didokumentasikan dan dipahami.”

Reaksi Dunia: Mengecam tanpa Perlindungan

PBB dan berbagai organisasi HAM internasional menyebut angka kematian jurnalis di Gaza sebagai “tak tertandingi dalam sejarah modern”. RSF dan IFJ bahkan telah melayangkan gugatan ke Mahkamah Pidana Internasional, yang sebelumnya mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap pejabat senior Israel atas dugaan kejahatan perang.

Baca juga : Kedaulatan Energi: Pelajaran dari Ketegasan Iran untuk Indonesia

Lebih dari 30 media global menyerukan investigasi independen dan perlindungan nyata bagi jurnalis di Gaza. Namun seruan itu tinggal seruan. Israel terus melarang wartawan asing memasuki Gaza. Dalam isolasi total itulah, para jurnalis lokal menjadi satu-satunya cahaya yang bersinar, dan karena itu pula, mereka menjadi target utama.

Jihad Tabyin: Narasi yang Menggentarkan Zionisme

Apa yang tengah terjadi di Gaza adalah genosida terhadap manusia sekaligus genosida terhadap makna. Dengan membungkam jurnalis, Israel tidak hanya menghilangkan saksi, tetapi mencoba membunuh kebenaran itu sendiri. Setiap jurnalis yang gugur adalah narasi yang dipatahkan, cahaya yang dipadamkan, dan suara yang dibungkam dari malam panjang penjajahan.

Gerakan Jihad Tabyin adalah Perlawanan terhadap imperium dusta global. Ia adalah jihad penjelasan untuk penyampaian fakta dari reruntuhan rumah, dari luka anak-anak, dari sunyi para syuhada. Dan justru karena kejujurannya, Jihad ini menjadi musuh nomor satu bagi para penjajah dan sponsor mereka di Washington, London, dan Berlin.

Carlos Martinez de la Serna dari CPJ menegaskan: “Setiap kali seorang jurnalis terbunuh, terluka, ditangkap, atau diasingkan, kita kehilangan sebagian dari kebenaran. Mereka yang bertanggung jawab akan diadili, baik di pengadilan internasional maupun di hadapan sejarah yang tidak bisa dibungkam.”

Gaza dan Ancaman Kegelapan Total

Pemadaman media di Gaza bukan sekadar tragedi jurnalisme; ini adalah krisis kemanusiaan, bahkan krisis peradaban. Tanpa saksi, tak ada catatan. Tanpa catatan, tak ada ingatan. Dan tanpa ingatan, keadilan menjadi mustahil.

Jika dunia membiarkan pembantaian ini berlalu tanpa pertanggungjawaban, maka Gaza hanyalah awal. Sebab jika kebenaran bisa dibunuh di Gaza, maka ia bisa dibunuh di mana saja. Dan ketika cahaya dipadamkan di Gaza, dunia akan terjerembab ke dalam zaman yang bukan hanya gelap, tapi kehilangan arah, makna, dan nurani.

Ini bukan tentang siapa yang menang, tetapi tentang siapa yang akan tetap menyuarakan kebenaran saat dunia memilih diam. []

Baca juga : Menganyam Persaudaraan Iran-Indonesia di Tengah Badai Global