Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Memento Mori: Refleksi Organisasi

Memento Mori: Refleksi Organisasi
Source: Jovani Carlo Gorospe | Dreamstime

Oleh: Muhammad Zulkifli (Uli): Wakil Ketua Departemen Pemberdayaan Ekonomi DPW ABI DKI Jakarta

Ahlulbait Indonesia – Ada satu penyakit halus dalam setiap organisasi, ketika para pemimpin dikelilingi oleh orang-orang yang hanya berkata iya.

Awalnya, itu tampak seperti harmoni. Semua rapat berjalan lancar, semua laporan terdengar baik, semua rencana disetujui tanpa pertanyaan. Tapi perlahan, sesuatu mulai mati, bukan produktivitas, melainkan kebenaran. Karena di ruang tempat semua orang setuju, tak ada lagi yang berani berpikir jernih.

Saya pernah duduk di sebuah rapat di mana sang pemimpin berbicara panjang tentang visi dan mimpi besar. Kata-katanya penuh keyakinan, bahkan menginspirasi. Namun yang menarik bukan isi pidatonya, melainkan keheningan setelahnya.

Tak ada satu pun yang mengajukan pertanyaan. Tak ada yang memberi pandangan lain, semua mengangguk, semua tertawa karir kalau kata teman saya yang sinis.

Saat itu saya sadar, ruangan itu bukan lagi ruang diskusi, tapi ruang gema.

Suara pemimpin berputar, memantul, dan kembali padanya, lebih manis, lebih halus, lebih meyakinkan. Tapi tetap hanya gema. Tidak ada kebenaran baru yang lahir di sana, karena memang ada orang yang hobi mendengar suaranya sendiri, kalau kata almarhum bos saya dahulu.

Hal ini menginatkan saya kisah Marcus Aurelius, Jenderal Romawi yang juga seorang filsuf.

Ketika ia kembali dari perang sebagai pahlawan, rakyat menyambutnya dengan pujian dan arak-arakan. Tapi di tengah hiruk pikuk itu, ada satu pengawalnya yang ditugaskannya untuk selalu berjalan di belakangnya dan terus berbisik pelan setelah dia disambut oleh para senator dengan puja dan puji.

“Memento Mori”, ingatlah, engkau hanya manusia.

Bisikan itu bukan tentang kematian, tapi tentang kesadaran. Tentang perlunya seseorang di sekitar kita yang berani mengingatkan, bahkan ketika semua orang memuja, karena pemimpin tanpa pengingat akan cepat kehilangan pijakan, dan mulai percaya bahwa dunia berputar karena dirinya.

Bahkan Muhammad Ali tahu, ia butuh pelatih yang tak segan berkata “kamu belum cukup cepat.” Mike Tyson punya Cus D’Amato, sosok keras kepala yang melihat blind spotnya. Dan ketika Cus meninggal, Tyson kehilangan suara itu, dan perlahan kehilangan dirinya sendiri.

Kita semua punya blind spot, dan pemimpin yang tak punya orang untuk menyorotinya akan menabrak dinding yang ia buat sendiri.

Hari hari ini membuat saya teringat sosok big boss saya dahulu, Yoshimitsu Kobayashi , mantan Presiden Direktur Mitsubishi Chemical Group, penggagas filosofi KAITEKI — konsep harmoni antara manusia, masyarakat, dan alam.

Ia pernah berkata dalam satu kesempatan:

Saya ingin punya staf yang bisa berkata tidak, ketika seluruh ruangan berkata iya.

Baca juga : Dua Pikiran di Meja Makan Trump

Kalimat itu sederhana, tapi menampar banyak budaya korporasi yang terlalu nyaman. Kobayashi-sanpercaya, kepemimpinan bukan soal mengumpulkan orang yang setuju, tapi membangun tim yang berani jujur demi kebaikan bersama.

Saya sering melihat organisasi bersemangat merekrut “pemain bintang” — individu dengan prestasi tinggi, pengalaman panjang, dan reputasi mengkilap. Mereka dikumpulkan dalam satu tim, berharap hasilnya akan spektakuler.

Namun dalam kenyataannya, tim yang berisi bintang belum tentu jadi tim juara. Kumpulan individu berbakat tetap perlu belajar bekerja bersama, bukan bersaing dalam sorotan.

Karena yang membuat tim menang bukanlah cahaya masing-masing, tapi bagaimana mereka berkorban agar cahaya itu berpadu, bukan saling membutakan.

Ketika setiap pemain hanya mengejar kepentingannya sendiri, timnya tak akan pernah sukses, secerdas atau sekuat apa pun mereka.

Kemenangan, baik di dunia olahraga maupun organisasi, adalah hasil dari ego yang ditundukkan demi tujuan bersama.

Organisasi yang sehat bukan yang selalu sependapat, tapi yang bisa berdebat dengan hormat. Pemimpin yang kuat bukan yang selalu benar, tapi yang berani mendengar bahwa ia bisa salah.

Dalam dunia yang semakin riuh oleh pencitraan dan ego, keberanian untuk berkata “tidak” justru menjadi bentuk perhatian tersendiri terhadap organisasi, terhadap kebenaran, dan terhadap sang pemimpin itu sendiri.

Fenomena ini tidak hanya berlaku di organisasi kecil, ia merambah panggung nasional dan internasional.

Saya teringat ketika Prabowo tampak terkejut melihat demonstrasi massa, seakan kabar buruk seharusnya tak pernah sampai kepadanya.

Padahal rakyat punya suara keras yang mengalir di jalanan, situasi ini membukakan kontras antara apa yang ia dengar dan kenyataan di luar istana. Pemerintahan baru pun dihadapkan pada gelombang suara rakyat yang tidak hanya memuja dan memuji kinerja pemerintah, dan di sanalah bahaya kedekatan tanpa kritik.

Sebagai ilustrasi dunia nyata dari “ruang gema kekuasaan”, ada video rapat kabinet Trump di Gedung Putih di mana para pejabatnya bergiliran dari seluruh meja melontarkan pujian kepada Trump, tampak seperti sandiwara penghormatan tanpa ruang kritik.

Dan mungkin, di tengah pujian, laporan, serta kabar baik yang terus mengalir, setiap pemimpin butuh seseorang di belakangnya yang berbisik pelan:

Memento Mori.” Engkau hanya manusia. Dan itu sudah cukup. []

Autograph building, 7 Oktober 2025.

Baca juga : Amerika Mengambil Alih TikTok: Sensor, Simbol, dan Kolonialisme Digital Baru

Continue Reading