Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Menata Nalar Perdamaian: Meluruskan Kedudukan dan Mengoreksi Generalisasi atas Opini Ija Suntana di Kompas

Menata Nalar Perdamaian: Meluruskan Kedudukan dan Mengoreksi Generalisasi atas Opini Ija Suntana di Kompas
Summit for Peace: Senin (13/10/2025).(sis.gov.eg/)

Tanggapan atas opini Ija Suntana, “Di Balik Ketidakhadiran Hamas dan Israel pada Penandatanganan Perdamaian” 

Oleh: Muhlisin Turkan

Ahlulbait Indonesia, 14 Oktober 2025 — Tulisan yang dibangun di atas retorika moral memang kerap menggugah emosi pembaca, tetapi tidak jarang terperosok dalam jebakan penyederhanaan politik yang menyesatkan. Opini Ija Suntana yang terbit di Kompas.com pada 14 Oktober 2025, berjudul “Di Balik Ketidakhadiran Hamas dan Israel pada Penandatanganan Perdamaian”, menafsirkan absennya Hamas dan Israel dari forum “Summit for Peace” di Sharm el-Sheikh sebagai bukti bahwa keduanya “menyembah perang”. Narasi tersebut memang dramatik dan retoris, namun tidak akurat secara analitis karena mengabaikan ketimpangan mendasar dalam status, kekuasaan, dan konteks politik antara kedua pihak.

Opini tersebut memang memikat karena memberikan ilusi keseimbangan moral, dua pihak yang sama-sama keras kepala, sama-sama fanatik, sama-sama mengabaikan nurani. Namun dalam kenyataannya, konflik Israel–Palestina tidak dapat dibaca melalui cermin yang simetris. Kedudukan politik, legitimasi hukum, serta struktur kekuasaan keduanya berbeda secara fundamental.

Menafsir konflik ini semata dengan kacamata etis tanpa mempertimbangkan asimetri status dan kekuasaan justru memperkeruh pemahaman publik. Jika opini itu hendak menjadi alat pencerahan, maka analisisnya harus berpijak pada fakta politik, bukan pada keseimbangan moral yang menipu pandangan.

Status yang Tak Setara

Hamas merupakan aktor non-negara yang memerintah Jalur Gaza secara de facto. Dalam sistem hubungan internasional, posisinya tidak setara dengan negara berdaulat. Karena itu, akses diplomatik Hamas sangat bergantung pada pengakuan, legitimasi politik, serta undangan dari negara tuan rumah dan sponsor regional. Ketidakhadiran Hamas dalam forum multilateral bukanlah ekspresi penolakan terhadap perdamaian, melainkan konsekuensi dari keterbatasan status hukumnya di tataran internasional.

Sebaliknya, Israel adalah entitas yang menjalankan kekuasaan sebagai kekuatan pendudukan di wilayah yang secara hukum internasional diakui sebagai bagian dari negara Palestina. Dengan jejaring diplomatik dan dukungan global yang luas, absennya Perdana Menteri Israel dalam forum perdamaian lebih tepat dipahami sebagai manuver politik, yaitu perpaduan antara tekanan domestik, kalkulasi waktu operasi militer, dan upaya mempertahankan citra “tidak berkompromi” di mata koalisi politiknya, dan tentu bukan karena alasan keagamaan semata.

Menyamakan absennya kedua pihak sebagai cerminan sikap yang sama terhadap perdamaian adalah penyederhanaan yang menyesatkan. Kedua aktor tersebut tidak berdiri di atas pijakan yang sejajar, baik dari sisi kekuasaan, legitimasi, maupun tanggung jawab hukum internasional. Dalam konteks ini, Israel beroperasi sebagai penjajah yang menguasai wilayah orang lain, sedangkan Hamas beroperasi sebagai entitas Perlawanan dari wilayah yang diduduki. Memahami perbedaan mendasar ini merupakan syarat pertama dan mutlak untuk menilai dinamika politik secara adil dan proporsional.

Baca juga : Hijab: Gaya Hidup Kesadaran, Bukan Seragam

Relasi Asimetris, Bukan Dua Sisi Cermin

Menempatkan Hamas dan Israel sebagai “dua ekstrem yang sama brutal” merupakan bentuk penyamaan keliru (false equivalence) yang menyesatkan baik secara moral maupun akademik. Israel adalah entitas penjajah dengan seluruh perangkat kekuasaan yang menopangnya, termasuk militer reguler, infrastruktur ekonomi, kontrol wilayah, serta kekuatan diplomatik global yang didukung negara-negara sekutu Sementara itu, Hamas hanyalah gerakan Perlawanan bersenjata yang tumbuh di bawah kondisi pendudukan berkepanjangan, blokade ekonomi total, dan keterputusan politik dari dunia luar.

Pengakuan atas asimetri ini tidak berarti meniadakan potensi pelanggaran yang dilakukan Hamas terhadap warga sipil, tetapi menolak penyamaan tanggung jawab struktural antara dua aktor yang daya rusaknya sangat tidak seimbang. Dalam satu pihak berdiri sebagai kekuatan “negara” dengan monopoli kekerasan dan legitimasi internasional; di pihak lain, Hamas adalah organisasi yang beroperasi dalam ruang yang terjajah dan terblokade.

Secara historis maupun politis, Hamas tidak muncul dalam ruang hampa. Hamas lahir dan berevolusi dalam atmosfer represi, kehilangan kedaulatan, dan keputusasaan yang diciptakan oleh pendudukan militer Israel. Dengan demikian, Hamas bukanlah cermin Israel, melainkan produk dari struktur kekuasaan yang dibangun Israel di wilayah pendudukan Palestina.

Memahami relasi ini menuntut ketelitian moral, bahwa mengkritik kekerasan kedua belah pihak, tentu sah adanya, tetapi menyamakan posisi penjajah dan yang dijajah adalah bentuk pengaburan realitas. Dalam konflik asimetris seperti ini, keadilan tidak dapat ditegakkan dengan menyeimbangkan kesalahan, melainkan dengan menempatkan proporsi tanggung jawab pada akar ketimpangannya.

Ceasefire Strategi Politik, Bukan Ibadah Kekerasan

Menggambarkan Ceasefire (gencatan senjata) sebagai candu perang justru berlawanan dengan logika politik para aktor di lapangan. Dalam realitas strategis konflik, gencatan senjata bukanlah ekspresi kecanduan terhadap kekerasan, melainkan instrumen kalkulatif dalam mengelola tekanan militer dan politik.

Bagi Hamas, jeda tembak berfungsi sebagai ruang bernapas politik dan kemanusiaan. Di tengah blokade total dan kehancuran infrastruktur sipil, setiap gencatan senjata menjadi kesempatan untuk konsolidasi internal, penyelamatan warga, serta pemulihan legitimasi di mata rakyat Palestina tanpa harus menyerah pada normalisasi pendudukan. Dalam kerangka itu, ceasefire bukanlah simbol kepasrahan, melainkan strategi bertahan yang diambil dari posisi ketertindasan struktural.

Sementara bagi Israel, setiap jeda pertempuran kerap dibaca oleh spektrum politik kanan sebagai tanda kelemahan atau kegagalan. Penjajah Israel cenderung memandang penghentian sementara operasi militer hanya layak dilakukan setelah tujuan strategis tertentu tercapai, seperti penghancuran kemampuan militer Hamas, pengamanan perbatasan, atau penguatan posisi tawar diplomatik di hadapan sekutu. Dalam konteks ini, penundaan agresi bukanlah langkah moral, tetapi perhitungan pragmatis dalam kerangka strategi keamanan nasional.

Kedua kalkulasi ini menunjukkan bahwa “gencatan senjata” adalah politik rasional di tengah absurditas perang, bukan ritual penyembahan kepada kekerasan sebagaimana diasumsikan sebagian pengamat moralistik. Perbedaan mendasar antara ceasefire dan peace agreement justru terletak di sini, bahwa yang pertama adalah taktik jeda dalam konflik, sedangkan yang kedua menuntut transformasi struktural terhadap akar pendudukan dan ketimpangan kekuasaan.

Tanpa memahami distingsi itu, kritik terhadap para pihak akan terus jatuh pada kesalahan tafsir, dengan menyamakan strategi bertahan hidup dengan hasrat untuk melanggengkan kekerasan.

Baca juga : Memento Mori: Refleksi Organisasi

Bahasa Moral Boleh Tajam, Tapi Harus Tertambat pada Fakta

Metafora seperti “Hamas menyembah mati syahid” dan “Israel menyembah kekuatan” mungkin menggugah secara retorik, namun sangat berisiko mengaburkan konteks historis dan politik yang membentuk perilaku kedua pihak. Bahasa moral yang tidak disangga oleh ketepatan fakta mudah tergelincir menjadi generalisasi, bahkan menyamarkan relasi ketimpangan yang justru menentukan dinamika konflik.

Begitu analisis melepaskan diri dari kerangka status hukum, distribusi kekuasaan, dan kondisi domestik masing-masing aktor, dia telah terperosok dalam jebakan moralitas simetris, di mana penjajah dan yang dijajah tampak seolah sama-sama sesat dalam nafsu kekerasan. Kritik seperti itu mungkin terdengar seimbang dan nampak adil, tetapi justru menihilkan keadilan karena menghapus konteks ketidaksetaraan yang melatari tindakan.

Bahasa moral memang perlu tajam, tetapi ketajaman tanpa fondasi empiris hanya menghasilkan kabut hitam, bukan pencerahan. Opini publik tidak membutuhkan gema moral yang samar, melainkan peta yang menuntun pemahaman, peta yang menunjukkan di mana kekuasaan berpihak, siapa yang memegang kendali, dan bagaimana ketimpangan itu menstruktur kekerasan. Tanpa itu, wacana perdamaian akan terus terperangkap dalam retorika etis yang indah namun kosong tanpa arah.

Jalan Keluar: Dari Moralistik ke Struktural

Perdamaian sejati tidak lahir dari seruan moral yang indah, melainkan dari rekayasa ulang struktur kekuasaan dan ketidakadilan yang menopang konflik. Selama akar pendudukan tetap dibiarkan tumbuh dan berkembang, maka setiap perundingan hanya menjadi ritus diplomatik tanpa substansi. Karena itu, pendekatan moral harus digeser menuju pendekatan struktural, yang berangkat dari realitas ketimpangan dan menuntut perubahan konkret pada lima aspek pokok berikut ini:

1. Akhiri Rezim Pendudukan dan Blokade
Mengakhiri pendudukan Israel atas wilayah Palestina dan mencabut blokade terhadap Gaza adalah prasyarat politik paling absolut bagi setiap proses perdamaian yang bermakna. Tanpa langkah ini, “perdamaian” hanyalah kosmetik yang menutupi status quo kekerasan terinstitusional.

2. Jaminan Keamanan yang Kredibel bagi Kedua Pihak
Keamanan bagi warga Israel, termasuk para tawanan maupun Palestina harus dijamin melalui mekanisme yang terverifikasi dan dapat ditegakkan secara internasional, bukan sebatas janji politik atau pengawasan sepihak. Tanpa kepercayaan yang dibangun atas dasar transparansi dan hukum, setiap gencatan senjata hanya menunda ledakan berikutnya.

3. Akuntabilitas atas Kejahatan terhadap Sipil
Setiap pelanggaran terhadap warga sipil, baik oleh pasukan Israel maupun oleh kelompok bersenjata Palestina, harus diadili melalui lembaga hukum independen yang diakui secara internasional. Keadilan tidak boleh selektif; tanpa akuntabilitas yang seimbang, perdamaian akan kehilangan legitimasi moral dan hukum.

4. Representasi Palestina yang Inklusif dan Legitim

Setiap proses perundingan menuju perdamaian harus menghadirkan representasi Palestina yang benar-benar inklusif dan legitim, tidak terbatas pada Hamas atau Otoritas Palestina semata. Suara rakyat Palestina tidak hanya berdiam di ruang politik bersenjata, tetapi juga hidup di antara masyarakat sipil, kelompok perempuan, komunitas profesional, dan pemimpin sosial yang memiliki legitimasi di mata publiknya.

Lebih jauh, inklusivitas ini harus mencakup keragaman etnis dan religius yang selama ini menjadi bagian dari mosaik sosial Palestina dan sekitarnya, termasuk warga Arab, Yahudi, Badui, Kristen, dan Muslim yang hidup di dalam maupun di sekitar wilayah konflik. Hanya dengan menghadirkan seluruh lapisan ini, proses perundingan dapat berakar pada realitas sosial yang kompleks, bukan semata pada kepentingan faksi politik atau militer.

Representasi yang inklusif bukan hanya tuntutan normatif, melainkan syarat moral dan politik bagi terciptanya kesepakatan yang berkelanjutan. Perdamaian yang dinegosiasikan oleh segelintir elite tanpa legitimasi sosial hanya akan melahirkan stabilitas semu, rapuh di hadapan kenyataan dan mudah runtuh di bawah tekanan sejarah.

5. Rekonstruksi dan Akses Kemanusiaan yang Transparan
Upaya rekonstruksi Gaza dan penyaluran bantuan kemanusiaan harus dilakukan secara terpadu, diawasi, dan bebas dari manipulasi politik apapun. Jeda tembak harus digunakan untuk memulihkan kehidupan dan rekonstruksi yang adil dapat menjadi fondasi bagi kepercayaan dan insentif politik menuju penyelesaian permanen.

Perdamaian bukanlah hadiah moral dari para aktor perang, tetapi hasil dari tindakan politik yang berani dan bertanggung jawab. Selama struktur pendudukan, impunitas, dan eksklusi politik dibiarkan, wacana perdamaian hanya akan menjadi gema kosong yang bergema di ruang diplomasi. Keadilan bukan pelengkap perdamaian, keadilanjustru menjadi syarat mutlak keberadaannya.

Baca juga : Dua Pikiran di Meja Makan Trump

Mengapa Tanggapan Ini Penting

Narasi yang menyamakan Hamas dan Israel sebagai “dua ekstrem yang sama sesat” memang tampak adil di permukaan, tetapi sesungguhnya narasi itu menghapus kenyataan paling mendasar dari konflik ini, bahwa ketimpangan kekuasaan dan struktur penjajahan Israel-lah yang menjadi sumber kekerasan itu sendiri. Keadilan tidak lahir dari keseimbangan semu, melainkan dari keberanian menempatkan tanggung jawab sesuai proporsi kekuasaan dan konteks sejarah.

Mengkritik Hamas tanpa menyinggung struktur pendudukan yang melahirkannya merupakan bentuk analisis yang timpang; namun menutup mata terhadap penderitaan warga sipil Israel akibat kebijakan represif dan kekerasan dari pemerintahnya sendiri juga merupakan pengingkaran moralitas. Keduanya mencerminkan ketidakjujuran intelektual dalam dua wajah berbeda, sama-sama mengaburkan kenyataan dan menutup jalan menuju pemahaman yang utuh, adil, dan berimbang.

Tugas opini publik bukanlah menenangkan nurani melalui retorika netralitas, melainkan menajamkan diagnosis atas akar persoalan, sebuah ikhtiar intelektual dan moral yang dalam tradisi Islam dikenal sebagai “Jihad Tabyin”, yakni perjuangan untuk menjernihkan kebenaran dari kabut propaganda dan penyamaran makna.

Hanya dengan membaca ketimpangan secara jernih, publik dapat menuntut lahirnya kebijakan yang adil dan perdamaian yang berpijak pada realitas, bukan pada ilusi keseimbangan moral yang menipu. Sebab kebenaran tidak lahir dari posisi tengah, melainkan dari keberanian untuk berpihak pada keadilan.

Dengan demikian, tanggapan ini bukan hanya bentuk koreksi terhadap sebuah opini, melainkan upaya untuk menempatkan kembali diskursus perdamaian pada pijakan intelektual yang jernih dan bertanggung jawab, berpihak pada kebenaran faktual, keadilan struktural, serta kemanusiaan yang utuh dan tidak selektif.

Penutup

Absennya Hamas dan Israel di Sharm el-Sheikh bukanlah bukti bahwa keduanya “mencintai perang”, melainkan cermin dari ketidakselarasan status, kekuasaan, dan kepentingan politik yang membentuk konflik itu sendiri. Jika perdebatan publik ingin melampaui retorika, maka langkah pertama adalah berhenti menyamakan pelaku dan korban dalam satu kalimat simetris.

Perdamaian bukanlah mitos. Perdamaian akan macet karena struktur yang salah alamat, struktur yang menormalisasi pendudukan, melanggengkan blokade, dan membiarkan impunitas tanpa batas. Selama struktur itu dibiarkan utuh, perang akan terus menemukan justifikasinya.

Perubahan politik hanya mungkin lahir dari keberanian untuk mengoreksi struktur ketidakadilan, bukan malah menyeimbangkan narasi. Ketika pendudukan diakhiri, blokade dicabut, dan hukum ditegakkan dengan adil, maka dinamika para aktor akan berubah secara alami. Moralitas akan menyusul ketika fakta ditempatkan pada proporsinya, dan kebenaran diberi ruang untuk berbicara. []

Catatan: Pandangan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan refleksi dan analisis pribadi penulis, tidak berhubungan dengan posisi kelembagaan atau institusi tempat penulis beraktivitas.

Baca juga : Amerika Mengambil Alih TikTok: Sensor, Simbol, dan Kolonialisme Digital Baru