Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Menganyam Persaudaraan Iran-Indonesia di Tengah Badai Global

Menganyam Persaudaraan Iran-Indonesia di Tengah Badai Global
The Jakarta Post

Oleh: Muhlisin Turkan

Ahlulbait Indonesia – Di saat dunia Islam terluka oleh neokolonialisme, intervensi asing, dan tragedi kemanusiaan yang berlangsung di hadapan komunitas global yang membisu, Sidang ke-19 Uni Parlemen Negara-Negara Anggota OKI (PUIC) di Jakarta menghadirkan momentum krusial. Perhelatan ini bukan sekadar seremonial diplomatik, melainkan panggung pembaruan solidaritas Islam yang sering tergerus kepentingan politik jangka pendek. Pernyataan Ketua Parlemen Iran Mohammad Bagher Ghalibaf hadir sebagai manifestasi strategi geopolitik berbasis moral yang menggugah kesadaran kolektif.

Melalui tulisan opininya di The Jakarta Post, Kamis (15/5/2025), Ghalibaf memaknai 75 tahun hubungan diplomatik Iran-Indonesia sebagai ikatan yang melampaui formalitas kenegaraan. Dua peradaban besar yang meski terpisah jarak geografis, justru semakin menyatu dalam visi spiritual, historis, dan ideologis. Hubungan ini merupakan pengejawantahan dari prinsip Qurani: “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara” (QS Al-Hujurat: 10).

Dalam dua dekade terakhir, Iran dan Indonesia telah mendemonstrasikan keselarasan sikap menghadapi tantangan global yang menggerogoti kedaulatan negara-negara Muslim. Di tengah hegemoni poros kekuasaan global, melalui sanksi unilateral, perang informasi, dan dominasi ekonomi, kedua negara memilih jalur independensi politik yang membela nilai-nilai keadilan universal.

Tidak ada luka yang lebih menganga saat ini dibanding tragedi Gaza. Bencana kemanusiaan yang telah berlangsung lebih dari 18 bulan di wilayah terkepung ini bukan sekadar konflik teritorial, melainkan kegagalan absolut nurani global. Pemboman Rumah Sakit Indonesia oleh rezim Zionis bukan hanya pelanggaran hukum internasional, tetapi juga penghinaan terhadap martabat kolektif dunia Islam.

Iran dan Indonesia, meski berada di bawah tekanan masing-masing, konsisten memperjuangkan bantuan kemanusiaan dan keadilan bagi rakyat Palestina. Namun upaya ini kerap dihadang oleh kekuatan sistemik yang berusaha melumpuhkan solidaritas dunia Islam, melalui embargo bantuan, stigmatisasi politik, dan pembungkaman diplomatik. Inilah urgensi memperkuat sinergi parlemen Islam melalui forum PUIC, sebagai platform perlawanan kolektif dan terstruktur.

Baca juga : Taqiah Imam Ridha a.s,: Akal dan Hati Menjadi Pilar Jalan Ilahi

Hubungan Iran-Indonesia berpotensi menjadi arsitektur kemitraan strategis berbasis nilai, bukan transaksi kepentingan temporer. Di tengah lanskap global yang didominasi pertukaran geopolitik dan polarisasi blok kekuasaan, ikatan spiritual-etis ini menawarkan paradigma alternatif yang vital.

Terlebih ketika kedua negara sama-sama menempuh jalur independen di hadapan tekanan Barat, namun tetap mempertahankan integritas diplomatik dan keterlibatan konstruktif dalam tata kelola global.

Seruan Ghalibaf melampaui ajakan solidaritas konvensional untuk Palestina. Ketua Parlemen Iran itu mengundang dunia merefleksikan lebih dalam bahwa Perlawanan terhadap hegemoni bukanlah tanggung jawab parsial Iran atau Indonesia, melainkan misi kolektif umat yang terfragmentasi oleh strategi divide et impera. Ketika fasilitas kesehatan dibom, nyawa tak berdosa direnggut, dan bantuan kemanusiaan diblokade, maka diam adalah bentuk kompatibilitas dengan kekejaman.

Kini, saat Jakarta menjadi saksi konsolidasi tekad parlemen-parlemen Islam, pertanyaan fundamental menghadang, warisan historis apa yang akan kita tinggalkan bagi generasi Muslim mendatang? Akankah dunia Islam terus menjadi laboratorium eksperimen geopolitik kekuatan eksternal, atau bangkit sebagai entitas strategis yang mampu menegakkan hak-hak fundamental bangsa-bangsa tertindas?

Iran dan Indonesia dibekali modal sejarah, dinamika sosial, dan visi etis untuk menjawab tantangan tersebut. Peringatan 75 tahun hubungan diplomatik bukanlah kulminasi, melainkan titik pijak untuk lompatan kualitatif dalam solidaritas, perjuangan, dan komitmen kemanusiaan yang tak ternegosiasikan.

Dari Jakarta, kota yang pernah menyulut api dekolonisasi dan kini berdiri sebagai mercusuar diplomasi Islam bermartabat, pesan yang bergema tak terbendung bahwa Dunia Islam tidak akan berdiam diri. Dari lorong-lorong parlemen hingga detak jantung masyarakat sipil, semangat Perlawanan mengkristal dalam determinasi tunggal menentang tirani, menolak kedzaliman, dan mempertahankan mereka yang tertindas; dari Gaza yang terisolasi hingga setiap sudut bumi yang diinjak ketidakadilan.

Indonesia dan Iran, sebagai dua episentrum perlawanan dalam spektrum diplomasi moral, hari ini tidak sekadar mempererat relasi bilateral. Mereka menyalakan obor harapan bahwa tatanan dunia yang lebih berkeadilan, bebas dari neokolonialisme, masih mungkin diwujudkan. Dari Jakarta, resonansi itu kini menjelma menjadi kesadaran global bahwa Perlawanan bukanlah opsi fakultatif, melainkan amanah sejarah dan imperatif moral bagi setiap bangsa yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal.[]

Baca juga : Setelah Bom, Drone, dan Kapal Induk Gagal Menundukkan ‘Sandal Jepit’ Yaman