Opini
Merajut Persaudaraan Sejati: Menyatukan Sunni, Syiah, dan Umat Beragama di Indonesia
Oleh: Abu Ali Hasyimi (Pemerhati Sosial, Politik, Budaya, Isu Global, & Persatuan Umat)
Ahlulbait Indonesia — Di tengah dunia yang semakin terpolarisasi oleh perbedaan identitas, baik agama, mazhab, maupun politik, Indonesia memiliki modal besar untuk menunjukkan kepada dunia bahwa persatuan dalam keberagaman bukan hanya mungkin, tetapi juga niscaya.
Bangsa ini terdiri dari ratusan etnis, bahasa, dan keyakinan. Bahkan di dalam Islam sendiri, terdapat spektrum mazhab dari Sunni hingga Syiah, dari Nahdliyin hingga Muhammadiyah, dan berbagai corak lainnya. Sayangnya, perbedaan ini sering dimanfaatkan oleh sebagian pihak untuk menebar kebencian, bukan untuk merajut persaudaraan.
Kini saatnya kita membuka wacana yang lebih luas: mungkinkah Sunni dan Syiah bersatu? Mungkinkah pemuka agama Muslim dan non-Muslim saling menguatkan demi kemanusiaan? Jawaban singkatnya: sangat mungkin, jika kita mau memulainya dengan hati terbuka dan akal sehat.
Persamaan sebagai Titik Temu
Sunni dan Syiah memiliki lebih banyak persamaan daripada perbedaan. Keduanya meyakini Allah Yang Maha Esa, mencintai Nabi Muhammad SAW, dan memegang teguh ajaran Islam sebagai jalan hidup. Sementara itu, pemeluk agama lain seperti Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu pada dasarnya juga mengajarkan kasih sayang, kejujuran, dan keadilan.
Sebagaimana disampaikan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur):
“Agama bukanlah sumber konflik, tapi sering diperalat untuk konflik. Maka yang harus dilawan adalah mentalitas eksklusif, bukan keyakinan itu sendiri.”
Suara-suara Kemanusiaan dari Para Tokoh Dunia
Dalam sejarah dunia, banyak tokoh lintas agama yang memperjuangkan persatuan manusia:
Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata:
“Manusia ada dua: saudaramu dalam iman atau setara denganmu dalam kemanusiaan.”
Kalimat ini menjadi dasar hubungan inklusif antarumat manusia.
Paus Fransiskus, dalam kunjungannya ke Irak bersama Ayatullah Ali Sistani pada 2021, menegaskan bahwa “agama tidak boleh diperalat untuk membenarkan kekerasan.” Ini merupakan langkah monumental yang mempertemukan tokoh Katolik dan Syiah dunia demi perdamaian.
Nelson Mandela, pejuang anti-apartheid dan rekonsiliasi nasional Afrika Selatan, berkata:
“Tidak ada yang terlahir membenci orang lain karena warna kulit, latar belakang, atau agamanya.”
Mengapa Indonesia Bisa Menjadi Contoh Dunia
Indonesia adalah negara Muslim terbesar yang juga menganut sistem demokrasi dan keberagaman. Jika mampu memadukan dialog lintas mazhab (Sunni–Syiah) dengan dialog lintas agama secara setara dan terbuka, Indonesia akan menjadi role model peradaban Islam yang inklusif dan modern.
Bayangkan jika pemuka agama Muslim dan non-Muslim rutin duduk bersama dalam forum kemanusiaan, membicarakan isu-isu seperti:
- Penanggulangan kemiskinan
- Pendidikan yang merata
- Penanganan bencana alam
- Penanggulangan ujaran kebencian
Ini bukan utopia, melainkan kebutuhan zaman. Era konflik sektarian dan eksklusivisme sudah usang. Dunia saat ini membutuhkan kolaborasi, bukan kompetisi ideologis.
Baca juga : Arbain Imam Husain: Menjaga Ingatan, Menyelami Kebenaran
Langkah-langkah Konkret untuk Persatuan
- Forum Persaudaraan Umat Beragama dan Bermazhab
Difasilitasi oleh pemerintah, ormas Islam, dan tokoh lintas iman sebagai ruang diskusi dan kerja sama konkret. - Dialog Publik yang Setara
Bukan debat dogmatis, tetapi pertukaran gagasan dengan semangat saling memahami. - Pendidikan Toleransi Sejak Dini
Kurikulum yang tidak hanya mengajarkan “toleransi” secara teoretis, tetapi mengajak siswa untuk mengenal dan menghargai perbedaan secara nyata. - Kolaborasi Sosial Bersama
Program bantuan sosial, bakti lingkungan, dan pelayanan kesehatan masyarakat yang melibatkan semua elemen agama dan mazhab.
Penutup: Motivasi Mencari Kemenangan untuk Semua
Persatuan bukan berarti menyeragamkan, tetapi menyatukan kekuatan di tengah perbedaan. Jika Sunni dan Syiah dapat hidup damai dan bekerja sama, serta umat Islam mampu bersinergi dengan pemeluk agama lain dalam kerja-kerja kemanusiaan, dunia akan menyaksikan bahwa agama bukanlah sumber konflik, melainkan sumber harapan.
Seperti kata Mahatma Gandhi:
“Agama yang tidak memberi ruang untuk kasih sayang bukanlah agama yang sejati.”
Mari kita mulai dari Indonesia. Karena jika negeri ini berhasil, dunia Islam akan melihat cahaya baru dari Timur, bukan cahaya konflik, tetapi cahaya ukhuwah, kemanusiaan, dan perdamaian.
Beda Bukan Luka (Jakarta, 07 Agustus 2025)
Berbeda pendapat itu lumrah,
seperti pagi yang tak sama tiap subuh;
kadang cerah, kadang kabut,
namun tetap mengantar fajar menuju cahaya.
Berbeda itu bukan cela,
melainkan jalan menuju tafsir yang lebih kaya;
bukan untuk memecah dada,
melainkan membuka jendela logika.
Jangan seret perbedaan ke medan benci,
karena lidah tak harus satu irama
untuk bisa menyanyikan lagu damai
di satu panggung bernama bangsa.
Mengasah otak, bukan menggeret otot;
mengadu gagasan, bukan membentur badan.
Yang sejati bukan menang debat,
tetapi merawat akal agar tak membeku dalam fanatisme sempit.
Mari kita berbeda,
seperti pelangi yang tak seragam warnanya,
namun justru indah karena perbedaannya.
“Tak perlu satu suara untuk mencipta harmoni, cukup satu hati untuk saling menghargai.” []
Baca juga : Deklarasi New York: Babak Damai atau Penutup Sejarah Palestina?
