Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Merawat Persatuan Mungkinkah? Refleksi Seminar Nasional “Nabi Muhammad SAW Mempersatukan Kita”

Oleh: Mohammad Ali dan Muhlisin Turkan

Jepara, 21 September 2025 – Apakah persatuan masih mungkin dirawat di tengah riuh perbedaan yang kerap dipolitisasi? Pertanyaan itu menemukan relevansinya ketika umat Islam dari berbagai latar belakang berkumpul dalam Seminar Nasional bertajuk “Nabi Muhammad SAW Mempersatukan Kita”.

Semangat mencari jawaban itulah yang mewarnai Pekan Persatuan Umat Islam yang digelar di Gedung Sunu Ngesti Tomo, Jepara, Jawa Tengah, Sabtu (20/9). Forum ini menjadi ruang perjumpaan gagasan dan komitmen dari tiga tokoh nasional dengan latar berbeda, namun berakar pada semangat yang sama: Prof. Dr. H. Abdul Djamil, M.A., Rektor UNISNU Jepara; Ustadz Zahir Yahya, M.A., Ketua Umum Ahlulbait Indonesia (ABI); serta KH. Taslim Syahlan, Sekjen Asosiasi FKUB se-Indonesia.

Mereka hadir bukan semata sebagai narasumber, melainkan sebagai representasi wajah Islam yang beragam namun tetap bersatu dalam harmoni. Pandangan-pandangan yang mereka sampaikan menegaskan satu hal, bahwa persatuan umat bukanlah pelengkap atau embel-embel doktrin agama, melainkan kebutuhan pokok yang harus terus diperjuangkan dalam menghadapi tantangan zaman.

Pesan itu juga tercermin dari kepanitiaan lintas mazhab yang mengorganisir kegiatan ini. Sebuah isyarat kuat bahwa persatuan tidak lahir dari keseragaman pandangan, tetapi dari kesadaran untuk berjalan bersama meski berbeda jalan dalam pikir. Kolaborasi semacam ini menjadi contoh nyata ukhuwah Islamiyah yang melampaui wacana, diwujudkan langsung dalam kerja bersama.

Model inisiatif seperti di Jepara patut menjadi inspirasi bagi daerah-daerah lain di Indonesia. Di tengah menguatnya polarisasi sosial, keberanian untuk duduk bersama, berbagi peran, dan merumuskan agenda kebersamaan jauh lebih bermakna daripada seribu pidato di mimbar. Jepara memperlihatkan bahwa keragaman bisa dirawat sebagai kekuatan, dan persatuan umat Islam dapat menjadi fondasi yang menopang persatuan bangsa.

Baca juga : Di Doha, AS dan Israel Jadikan Meja Perundingan Titik Koordinat Serangan

Kegiatan ini pun semakin lengkap dengan kehadiran berbagai kalangan: perwakilan Kapolres Jepara, Kodim, Pemerintah Kabupaten, hingga unsur ormas dan komunitas. Hadir pula tokoh dari LDII, Muhammadiyah, Syiah, LSM, dan organisasi kepemudaan, yang semuanya memberi warna tersendiri bagi forum kebersamaan ini.

Rangkaian acara dibuka dengan lantunan ayat suci Al-Quran yang menggetarkan hati, dilanjutkan lagu kebangsaan Indonesia Raya sebagai peneguh ikatan kebangsaan. Suasana kian khidmat saat KH. Roshif Arwani, Ketua FKPP Jepara, memimpin pembacaan tahlil penuh doa dan berkah.

Sambutan panitia disampaikan oleh Ustadz Miqdad Turkan dari Dewan Syura ABI, disusul pesan hangat dari perwakilan Bupati Jepara, Naryono, selaku Kepala Bagian Kesra Setda, yang menegaskan dukungan penuh pemerintah daerah terhadap kegiatan bernilai kebersamaan ini.

Rangkaian awal acara ditutup doa khusyuk yang dipimpin Ketua Tanfidziyah PCNU Jepara, KH. Charis Rohman. Beliau menegaskan pentingnya kehadiran di forum keagamaan semacam ini sebagai wujud nyata komitmen menjaga ukhuwah dan merawat persatuan umat.

Namun, puncak acara sejatinya hadir ketika ketiga tokoh mulai menyampaikan refleksi dari sudut pandang mereka. Dari ruang sederhana itulah mengalir gagasan-gagasan yang bukan hanya relevan dengan situasi hari ini, tetapi juga mendesak untuk dijadikan pedoman dalam mengelola kehidupan beragama dan kebangsaan ke depan.

Baca juga : Kemandirian Ekonomi: Jalan Berliku Menuju Harga Diri Komunitas Ahlulbait Indonesia

KH. Abdul Djamil: Belajar dari Luka Perpecahan dan Pentingnya ‘Litaarafu’

KH. Abdul Djamil membuka refleksinya dengan kalimat pembuka yang menohok: “mestinya ada kelanjutan, tapi kita menukarnya dengan perpecahan.” Menurutnya, sejarah Indonesia sejatinya sarat dengan peluang untuk terus melangkah maju, namun kerap kali kesempatan itu terhambat oleh konflik internal dan perpecahan di tubuh bangsa sendiri.

Pernyataan tersebut beliau sampaikan saat menanggapi tema Seminar, “Nabi Muhammad SAW Mempersatukan Kita”, yang menurutnya sangat relevan dengan kondisi umat saat ini. Bagi KH. Abdul Djamil, belajar dari luka perpecahan adalah kunci untuk memahami pentingnya persatuan, sekaligus pengingat agar bangsa tidak terus-menerus jatuh pada kesalahan yang sama.

KH. Abdul Djamil menceritakan pengalaman pribadinya saat masih di Bimas Islam, ketika berupaya memulangkan pengungsi Syiah Sampang ke kampung halamannya. Upaya itu gagal karena sebagian tokoh agama menuntut mereka bersyahadat ulang, sebuah penegasan bahwa Syiah dianggap kafir. Luka itu memperlihatkan betapa konflik bernuansa agama sangat sulit diurai, sebab menyentuh lapisan terdalam keyakinan seseorang.

Meski demikian, KH. Djamil menolak menyerah. Beliau mencontohkan kehidupan masyarakat di Bangsri, Jepara, di mana Sunni dan Syiah hidup rukun, bahkan duduk bersama dalam kepanitiaan kegiatan keagamaan maupun sosial. Dari sini menurut beliau menunjukkan bahwa kerukunan bukan hal mustahil, asalkan ada kesediaan untuk saling mengenal.

Lebih lanjut beliau menafsirkan kembali ayat “litaarafu”, saling mengenal. Menurutnya, ayat ini bukan semata ajakan untuk ingin dikenal, melainkan kesediaan untuk mengenal orang lain secara aktif, membangun kebersamaan (musyarakah). Seruan Allah untuk bersatu dan saling mengenal ini tidak terbatas pada umat Islam saja, melainkan untuk seluruh umat manusia.

Karena itu, beliau menegaskan bahwa kementerian agama atau siapa pun tidak berwenang mengkafirkan kelompok tertentu. Tugas negara adalah melindungi semua warganya, tanpa diskriminasi keyakinan. Kerukunan harus dijaga, dan tidak boleh ada paksaan dalam beragama. Bagi KH. Djamil, persatuan adalah modal umat untuk menjadi kuat, bukan hanya simbol yang hampa.

Ustadz Zahir Yahya: Rahmat sebagai Basis, Persatuan sebagai Fitrah

Jika KH. Djamil berbicara dari pengalaman luka perpecahan, maka Ustadz Zahir Yahya menekankan pentingnya menjadikan rahmat sebagai basis persatuan. Ketua Umum ABI itu mengingatkan bahwa momen Maulid Nabi adalah saat yang tepat untuk merenungkan kembali kehidupan Rasulullah, yang sepanjang hayatnya selalu menebar kasih sayang.

“Rahmat,” menurutnya, tidak berhenti pada sifat personal Nabi. Rahmat juga tercermin dalam risalah dan ajaran yang beliau bawa. Artinya, umat Islam tidak cukup meneladani akhlak Rasulullah secara pribadi, tetapi juga harus mewujudkan ajarannya dalam pola hidup sosial yang berlandaskan keadilan, kesetaraan, dan penghargaan terhadap sesama.

Bagi Ustadz Zahir, merahmati orang lain bukanlah soal emosi atau simpati semata. Rahmat berarti memandang orang lain dengan keadilan, memperlakukan mereka sebagaimana kita ingin diperlakukan, serta menolak pemaksaan kehendak atas orang lain. Dengan cara pandang ini, perbedaan tidak lagi menjadi alasan perpecahan, melainkan peluang untuk hidup berdampingan.

Baca juga : ABI Sudah Tembus Gaza, Mari Kita Ikuti Jejaknya

Sayangnya, realitas umat Islam hari ini jauh dari ideal itu. Dengan segala kesamaan, Alquran, kiblat, Nabi, hingga ibadah haji yang sama, umat Islam justru dilanda konflik berkepanjangan. Suriah, Gaza, hingga konflik sektarian di berbagai belahan dunia menjadi bukti bahwa dua miliar Muslim belum mampu menyatukan kekuatannya. Akibatnya, korban sipil terus berjatuhan, sementara kezaliman berjalan tanpa henti.

Dalam konteks inilah, Ustadz Zahir menegaskan relevansi Pekan Persatuan yang digagas oleh Imam Khomeini pada 12–17 Rabiul Awwal. Menurutnya, seruan itu bukan langkah politis atau kepura-puraan, melainkan panggilan tulus untuk mengembalikan umat pada kejayaannya.

Ustadz Zahir lebih lanjut menekankan bahwa persatuan bukan konsep abstrak atau sekadar kesepakatan formal. Persatuan harus nyata, sebagaimana nyata keberadaan manusia itu sendiri. Tidak bisa hanya ditopang oleh ciri fisik atau kontrak sosial, melainkan harus bersumber dari fitrah manusia: kecenderungan untuk bertauhid. Semua manusia, apapun latar belakangnya, membawa fitrah pengakuan terhadap Tuhan Yang Esa.

Karena itu, Alquran mengingatkan: “fitratallah” (QS. Ar-Rum: 30). Umat Islam memiliki kelebihan, selain mengesakan Allah, juga memiliki amanat untuk menjaga persatuan sesama anak bangsa.

Beliau lalu mengingatkan, banyak perpecahan lahir karena tidak saling mengenal. ABI, katanya, telah mengambil langkah strategis dengan memperkenalkan diri secara terbuka. Salah satunya melalui peluncuran buku Manifesto ABI di gedung DPR pada 13 Maret 2019, yang menjelaskan keyakinan Syiah. Dengan begitu, masyarakat dapat memahami tanpa prasangka, dan tidak lagi mudah terjebak dalam mispersepsi.

KH. Taslim Syahlan: Empat Indikator Kerukunan dan Tuntutan aksi Aksi Nyata

KH. Taslim Syahlan melengkapi dan menyempurnakan dua narasi sebelumnya dengan pendekatan yang lebih struktural. Sekjen Asosiasi FKUB se-Indonesia itu merumuskan empat indikator kerukunan: komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan, dan kearifan lokal. Semua ini berpijak pada prinsip kemanusiaan dan kemaslahatan umum.

Beliau juga menegaskan bahwa kerukunan bukanlah wacana abstrak, melainkan bisa diwujudkan secara nyata. Bukan hanya dalam lingkup internal satu agama, melainkan juga dalam hubungan antaragama dan lintas mazhab. Untuk menguatkan hal tersebut, KH. Taslim Syahlan menampilkan sejumlah slide berisi foto-foto pertemuan para tokoh lintas agama dan mazhab, sebagai bukti bahwa dialog dan kebersamaan dapat dijalankan dalam praktik kehidupan sehari-hari.

Menurutnya, di Jepara sudah terjadi “pecah telur” persatuan umat Islam, di mana kerja bersama lintas mazhab bukan lagi wacana, melainkan praktik nyata. Namun, beliau juga mengingatkan, persatuan tidak boleh berhenti pada slogan atau seminar. Yang dibutuhkan adalah langkah konkret, yaitu penguatan kaderisasi beragama, restorasi kehidupan keagamaan, dan kesediaan umat untuk benar-benar bersatu.

Bagi KH. Taslim, seminar ini bukanlah kegiatan biasa. Ini adalah tonggak historis yang menandai keseriusan umat untuk bergerak dari kata-kata menuju aksi nyata an relevan.

Dari Wacana Menuju Realitas

Seminar Persatuan Islam dalam rangka memepringati Maulid Nabi Saw sukses direfleksi oleh tiga tokoh nasional ini yang memperlihatkan satu benang merah, bahwa persatuan bukanlah wacana utopis. Persatuan itu nyata, bisa diwujudkan dalam berbagai hal, tetapi membutuhkan keberanian untuk mengakui perbedaan, melampaui luka sejarah, dan kembali kepada fitrah ketuhanan.

KH. Abdul Djamil menegaskan bahwa negara tidak berhak mengkafirkan warganya. Ustadz Zahir Yahya menekankan rahmat dan fitrah tauhid sebagai perekat universal. KH. Taslim Syahlan menggariskan indikator kerukunan sekaligus menuntut langkah nyata.

Maka, tantangan kita hari ini bukan lagi hanya “mengapa harus bersatu,” melainkan “bagaimana cara menjadikan persatuan sebagai realitas sehari-hari.” Karena hanya dengan persatuan, umat Islam dapat menjaga martabatnya, dan bangsa Indonesia dapat meraih kejayaannya.

Apa yang telah disampaikan para narasumber dan diperdalam melalui diskusi peserta tidak akan berhenti sebagai catatan seminar belaka. Panitia bertekad menindaklanjuti dengan merumuskan rekomendasi strategis sekaligus menjadikan Pekan Persatuan sebagai agenda tahunan bersama, agar semangat persaudaraan yang lahir di Jepara terus tumbuh menjadi gerakan nyata di tengah umat dan bangsa. []

Baca juga : Amarah Rakyat, Musibah, dan Peringatan Bagi Bangsa

Continue Reading