Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Orkestra Monoton Sang Maestro Mikrofon di PBB

Orkestra Monoton Sang Maestro Mikrofon di PBB
Sang Maestro Mikrofon di PBB (ABCNEWS)

Oleh: Muhlisin Turkan

Ahlulbait Indonesia – Ada alasan kenapa banyak diplomat di Majelis Umum PBB pada 23 September, 2025, mendadak sibuk menatap layar ponsel, mencatat hal-hal imajiner, atau bahkan pura-pura tidur dengan wajah serius, ya, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump sedang berbicara. Ya, 58 menit penuh, durasi yang cukup lama untuk menonton film, makan malam mewah, bahkan menyelesaikan meditasi, tapi sayangnya, audiens tidak mendapatkan apa-apa selain repetisi dan klaim ajaib.

Trump membuka dengan mantra favoritnya, “ekonomi terkuat, militer terkuat, perbatasan terkuat.” Begitulah, semua “terkuat,” kecuali, tentu saja, argumennya. Saking seringnya dia ulang-ulang, orang mungkin mengira ini bukan pidato, tapi iklan deterjen dengan tagline “paling kuat menghapus noda.”

Lalu soal imigrasi ilegal, katanya Amerika sedang “dihancurkan.” Menarik, negara superpower yang bisa membelanjakan ratusan miliar dolar untuk perang dan menghancurkan negara dunia, ternyata roboh hanya karena ulah beberapa orang melompati pagar pembatas. Mungkin yang dia maksud adalah pagar itu lebih rapuh daripada pidatonya sendiri.

Trump juga sempat menuduh PBB gagal mengakhiri perang. Ini tentu saja lucu, seperti seseorang yang berceramah panjang soal disiplin waktu, tapi datang terlambat satu jam. Faktanya, satu-satunya hal yang Trump akhiri hari itu hanyalah kesabaran audiens.

Iran? Sudah pasti muncul di daftar pidatonya. Dengan gaya film Hollywood kelas B, Trump berkata: hanya Amerika yang bisa menghancurkan fasilitas nuklir Iran. Tentu, karena dalam naskah film Trump, AS selalu jadi pahlawan, dan sisanya hanya cameo yang tidak dibayar.

Tentang Gaza, dia tampil sebagai “mediator” versi dirinya sendiri, kalau berhasil, itu jasanya; kalau gagal, itu karena salah Hamas. Klasik sekali. Rumusnya sangat sederhana, Trump selalu benar, realitas selalu salah.

Baca juga : Merawat Persatuan Mungkinkah? Refleksi Seminar Nasional “Nabi Muhammad SAW Mempersatukan Kita”

Tak lupa, dia menyelipkan prestasi dalam negeri, bahwa Washington DC, katanya sekarang aman. Pernyataan ini seindah dongeng anak sebelum tidur, tenang, menenangkan, tapi sayangnya tidak ada hubungannya dengan kenyataan.

Dan sebagai klimaks, dia bicara soal nuklir: “aman jika digunakan dengan benar.” Ironi absolut, karena pidatonya membuktikan satu hal, bahwa kata-kata bisa jadi senjata pemusnah massal, kalau salah digunakan.

Dan tentu, tak ketinggalan “playlist egonya”:

– “Negara kalian semua payah.”
– “Tak seorang pun dari kalian tahu apa yang kalian lakukan.”
– “AS lebih baik dalam segala hal.”
– “Semua karena saya.”
– “Saya benar dalam segala hal.”
– “Kalian harus mendengarkan saya dan melakukan apa yang saya katakan.”
– “Beri saya banyak penghargaan.”

Kalau disimpulkan, pidato Trump 58 menit di Majelis Umum PBB 23 September lebih mirip lamaran pekerjaan di semesta paralel: satu kandidat, satu klaim, tanpa kompetisi. Bedanya, audiens di ruangan itu bukan pewawancara, melainkan korban presentasi massal. Seperti audisi tanpa juri, semua orang terjebak mendengarkan ego yang diulang-ulang, sebuah pertunjukan diplomasi yang lebih layak dipanggungkan di reality show ketimbang forum dunia.

Ketika akhirnya Trump berhenti bicara, ruangan pun kembali hidup. Delegasi meneguk kopi yang sudah dingin, wartawan kembali menulis kalimat bermakna, dan dunia bisa bernapas lega. Pidato ini akan dikenang bukan karena isinya, tapi karena telah membuktikan satu hal, bahwa bahkan kebosanan pun bisa dijadikan kebijakan luar negeri. []

Referensi: Trump criticizes United Nations, world leaders in General Assembly speech (abcnews)

Baca juga : Di Doha, AS dan Israel Jadikan Meja Perundingan Titik Koordinat Serangan