Opini
Pengiriman Pasukan ke Gaza, Presiden Melanggar Konstitusi?
Oleh: Billy
Ahlulbait Indonesia – Debu perang belum sepenuhnya turun di Gaza ketika dunia mulai berbicara tentang “perdamaian”. Di antara reruntuhan dan jenazah yang belum ditemukan, konferensi tingkat tinggi digelar. Pidato-pidato diplomatik kembali mengalir, indah di bibir, dingin di hati. Di tengah panggung itu, Presiden Indonesia Prabowo Subianto berdiri, menjanjikan kesiapan Indonesia mengirim pasukan penjaga perdamaian bila diminta oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebuah janji yang, pada tahap itu, masih bisa dimaklumi.
Namun beberapa hari kemudian, nada pernyataan berubah. Presiden menyebut Indonesia siap mengirim pasukan atas permintaan Amerika Serikat, Turki, Qatar, dan Mesir, negara-negara yang disebut sebagai mediator perdamaian.
Dan di titik itulah tanda tanya besar mulai muncul:
Apakah Indonesia, negara yang lahir dari perlawanan terhadap penjajahan, kini tengah berjalan di tepi jurang konstitusinya sendiri?
Langkah pertama yang diumumkan Presiden Prabowo di forum Majelis Umum PBB terdengar diplomatis dan konstitusional. Ia menegaskan bahwa Indonesia siap berpartisipasi dalam misi perdamaian di bawah mandat PBB, bukan atas nama blok atau aliansi tertentu. Dalam konteks hukum internasional, mandat PBB memang menjadi landasan legitimasi bagi setiap operasi penjaga perdamaian, prinsip yang telah dipegang Indonesia sejak misi ke Kongo pada 1960-an.
Namun pernyataan kedua yang keluar setelah pertemuan di Sharm el-Sheikh, Mesir, mengubah makna itu sepenuhnya. Presiden mengatakan bahwa Indonesia siap mengirim pasukan “jika diminta oleh Amerika Serikat, Turki, Qatar, dan Mesir.” Kalimat ini, betapapun dimaksudkan untuk menunjukkan kesiapan, membuka celah serius: keterlibatan Indonesia dalam operasi militer yang tidak memiliki mandat PBB, melainkan berdasar permintaan sekelompok negara dengan kepentingan politik yang saling bertubrukan di Timur Tengah.
Ini bukan sekadar isu diplomasi; ini soal konstitusi.
Pembukaan UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Kalimat itu bukan ornamen ideologis, melainkan fondasi moral sekaligus pedoman politik luar negeri Indonesia: bahwa setiap langkah bangsa ini di panggung dunia harus berpihak kepada yang tertindas, bukan kepada penindas, apalagi mereka yang menopang struktur penjajahan.
Pertanyaannya, apakah pengiriman pasukan atas permintaan Amerika Serikat, negara yang secara konsisten mendukung agresi zionis terhadap Gaza tidak termasuk pelanggaran terhadap semangat konstitusi tersebut?
Dalam sejarah diplomasi modern, istilah “pasukan perdamaian” sering berwajah ganda. Di atas kertas mereka disebut netral dan bertugas menghentikan perang. Namun di banyak kasus, terutama di kawasan yang sarat kepentingan besar, pasukan seperti itu justru menjaga status quo. Mereka tidak benar-benar memadamkan api, hanya memastikan apinya menyala di batas yang aman bagi kekuasaan tertentu.
Jika Indonesia mengirim pasukan ke Gaza tanpa mandat PBB, apalagi di bawah tekanan atau permintaan Washington, misi itu berpotensi berubah menjadi instrumen geopolitik yang menodai posisi moral Indonesia sebagai pembela bangsa-bangsa tertindas.
Baca juga : #PODCAST | Gencatan Senjata Gaza: Amerika, Penjajah yang Tumbang oleh Keteguhan Rakyat Palestina
Kita perlu jujur membaca konteksnya. Amerika Serikat kini tengah mengatur ulang wajah Gaza pascaperang. Bersama sekutu Arabnya, mereka berencana menempatkan pasukan “multinasional” untuk mengamankan wilayah tersebut sambil menyiapkan pemerintahan transisi. Dalam skema ini, Israel dijamin keamanannya, sementara rakyat Palestina diminta menerima “perdamaian” versi penjajah, tanpa kedaulatan sejati, tanpa keadilan.
Dan di tengah skenario itulah, nama Indonesia disebut sebagai peserta potensial.
Langkah semacam ini, bila benar-benar diambil, bukan hanya mengaburkan prinsip bebas aktif, tetapi juga mengkhianati amanat Pembukaan UUD 1945. Karena secara substantif, pasukan Indonesia akan beroperasi di wilayah yang belum merdeka, di bawah pengaturan kekuatan asing yang masih melindungi penjajah. Itu bukan misi perdamaian, itu partisipasi dalam sistem penjajahan yang disamarkan.
Sebagian mungkin berargumen bahwa pengiriman pasukan merupakan bentuk “peran aktif Indonesia dalam perdamaian dunia”. Tapi peran aktif yang sejati tidak berarti tunduk pada agenda kekuatan besar. Indonesia tidak kekurangan cara untuk berperan: diplomasi, tekanan politik, solidaritas kemanusiaan, dan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina jauh lebih sejalan dengan konstitusi ketimbang mengirimkan prajurit di bawah koordinasi Washington.
Kita harus ingat, dalam setiap misi militer internasional, pihak pemberi mandat menentukan arah dan batas gerak pasukan. Bila mandatnya dari PBB, tugasnya menjaga netralitas dan kemanusiaan. Tetapi bila mandatnya datang dari negara yang berpihak—seperti Amerika Serikat, sekutu utama Israel, maka pasukan itu, sadar atau tidak, akan menjadi bagian dari struktur kekuasaan yang melanggengkan penjajahan itu sendiri.
Presiden tentu bermaksud baik: ingin menunjukkan bahwa Indonesia bukan penonton dalam krisis global. Namun niat baik tidak dapat menggugurkan batas konstitusional. Sebab, niat baik tanpa kesadaran prinsip justru bisa menjerumuskan negara pada pelanggaran moral dan politik yang dalam.
Karena itu, langkah ini perlu diawasi ketat. DPR, akademisi hukum, dan masyarakat sipil harus menuntut kejelasan: apakah pengiriman pasukan itu benar-benar berada di bawah mandat PBB, atau sekadar memenuhi permintaan AS dan sekutunya? Jika yang kedua, maka Presiden wajib diingatkan: konstitusi tidak memberi ruang bagi normalisasi penjajahan dalam bentuk apa pun.
Indonesia tidak boleh menjadi alat dalam skenario geopolitik yang menjadikan Gaza sebagai laboratorium “perdamaian” palsu. Perdamaian sejati hanya lahir dari keadilan, dan keadilan bagi Palestina hanya dapat terwujud bila penjajahan berakhir, bukan ketika penjajah dijamin keamanannya oleh pasukan asing.
Amanat konstitusi sudah sangat jelas: penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.
Maka jika pengiriman pasukan Indonesia dilakukan di bawah bendera kekuatan yang justru menopang penjajahan, langkah itu bukan sekadar kesalahan diplomatik, tetapi pelanggaran terhadap roh konstitusi yang melahirkan republik ini.
“Karena perdamaian yang lahir dari perintah penjajah bukanlah perdamaian, melainkan kelanjutan dari penjajahan dengan wajah yang lebih rapi.”[]
*Sumber:
– https://www.tempo.co/politik/indonesia-siap-kirim-pasukan-perdamaian-ke-gaza-jika-diminta-pbb-2072418
– https://www.antaranews.com/berita/5173253/penuhi-permintaan-as-dkk-prabowo-ri-siap-kawal-perdamaian-di-gaza
Baca juga : Membaca Pesantren dengan Keadilan: Pesantren dan Bias Jurnalisme Kita
