Opini
Peringatan Hari Santri dan Luka Santri: Saat Adab Diuji di Ruang Kaca Trans7
Oleh: Redaksi Media ABI
Ahlulbait Indonesia, 22 Oktober 2025 — Peringatan Hari Santri Nasional 2025 hadir beriringan dengan peristiwa yang menggugah kesadaran publik. Di satu sisi, bangsa ini kembali menatap jejak historis santri dan ulama, sosok-sosok yang dengan tekad dan doa mengawal kemerdekaan melalui semangat Resolusi Jihad 1945. Di sisi lain, ruang media nasional diguncang oleh tayangan Trans7 yang menyinggung simbol kesantrian serta lembaga pesantren, dan menimbulkan gelombang refleksi publik yang luas.
Kedua peristiwa tersebut membentuk kontras yang menarik, perayaan atas keteguhan moral di tengah sorotan terhadap meredupnya kepekaan sosial.
Bersisian dalam waktu, keduanya seolah menegaskan satu pesan yang sama, bahwa menjaga integritas nilai dan adab bangsa merupakan perjuangan yang tak pernah selesai, bahkan setelah kemerdekaan lama diraih.
Ketika Tayangan Melampaui Batas
Kontroversi bermula dari program “Xpose Uncensored” di Trans7 yang tayang pada 13 Oktober 2025. Dalam salah satu segmennya, disampaikan narasi mengenai relasi antara santri dan kiai di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.
Kalimat yang menggambarkan santri “rela ngesot” untuk memberikan amplop kepada kiai sontak memicu reaksi luas. Bagi banyak pihak, ungkapan tersebut tidak semata lelucon yang keliru tempat, melainkan sentuhan yang menyinggung martabat pesantren, sebuah institusi yang selama ini menjadi benteng adab, ilmu, dan spiritualitas dalam tradisi Islam Nusantara.
Peristiwa ini sejatinya melampaui konteks satu tayangan. Ini membuka cermin tentang betapa tipisnya batas antara kreativitas dan kelalaian etika di tengah arus media modern. Dalam kompetisi perhatian yang kian sengit, sensitivitas sosial kerap menjadi korban dari logika hiburan yang serba cepat dan dangkal.
Langkah cepat Trans7 dalam menyampaikan klarifikasi serta permintaan maaf terbuka patut dihargai sebagai bentuk tanggung jawab publik. Namun demikian, peristiwa ini meninggalkan catatan yang tak kalah penting, bahwa jarak antara kebebasan berekspresi dan kedewasaan berkomunikasi masih perlu dijembatani, bukan melalui larangan, melainkan melalui kesadaran.
Peran Santri di Era Baru
Tema Hari Santri tahun ini, “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia,” menandai pergeseran peran santri dalam tataran kebangsaan yang kian kompleks. Dari ruang pesantren hingga ruang digital, mereka kini hadir sebagai bagian aktif dari percakapan nasional yang terus berevolusi.
Baca juga : Ponsel: Teman Setia atau Saingan Keluarga?
Nilai kesederhanaan, kebersahajaan, dan ketulusan yang berakar di dunia pesantren kini menghadapi tantangan baru di tengah logika kecepatan dan kompetisi era informasi. Santri pada abad ini tidak lagi semata menjadi penjaga warisan masa lalu, melainkan juga pelaku perubahan yang berpartisipasi dalam dialog global tentang etika, pengetahuan, dan kemanusiaan.
Bagi banyak kalangan, ketahanan pesantren justru terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi tanpa tercerabut dari akar. Dari sinilah lahir relevansi baru, moralitas yang lentur tanpa kehilangan prinsip, dan spiritualitas yang mampu berdialog dengan zaman tanpa kehilangan arah.
Media dan Ruang Adab
Insiden Trans7 menjadi pengingat bahwa ruang publik digital menuntut sensitivitas yang baru, bukan melalui sensor, melainkan melalui kesadaran. Media dan masyarakat sama-sama berada dalam proses belajar kolektif, yakni bagaimana menghormati tanpa membatasi, dan berpendapat tanpa melukai.
Alih-alih saling menyalahkan, peristiwa ini justru membuka peluang percakapan yang lebih luas tentang cara nilai-nilai kebangsaan berinteraksi dengan kebebasan modern. Dalam konteks ini, pesantren dan media memiliki peluang yang saling melengkapi, yang satu menjaga nurani, yang lain menjangkau khalayak.
Cermin untuk Bangsa
Peringatan Hari Santri 2025 pada akhirnya menjadi cermin, bukan hanya bagi komunitas santri, tetapi bagi seluruh bangsa yang besar ini. Peringatan ini menampakkan satu kenyataan paling dasar, bahwa kemerdekaan sejati tidak dapat diukur dari sebebas apa seseorang berbicara, melainkan sebijak apa kebebasan itu digunakan.
Peristiwa Trans7 memperlihatkan betapa mudah batas rasa dapat terlampaui di tengah arus hiburan yang serba cepat. Namun, di sisi lain, ini juga membuka peluang bagi publik untuk menata ulang kesadarannya, bahwa adab tidak harus meniadakan tawa, dan humor tidak perlu menyingkirkan hormat.
Di tengah derasnya kemajuan dan kebisingan zaman, peradaban diukur bukan dari seberapa lantang kita berbicara, melainkan dari seberapa santun kita menjaga martabat sesama dan kehormatan lembaga.
Seluruh Redaksi Media ABI mengucapkan Selamat Hari Santri Nasional 2025. []
Baca juga : Pengiriman Pasukan ke Gaza, Presiden Melanggar Konstitusi?
