Opini
#PODCAST | Gencatan Senjata Gaza: Amerika, Penjajah yang Tumbang oleh Keteguhan Rakyat Palestina
Ahlulbait Indonesia, 18 Oktober 2025 — Ketegangan panjang di Gaza akhirnya mencapai titik jeda. Jumat malam (17/10), Podcast ABI menayangkan episode terbaru berjudul “Di Balik Gencatan Senjata: Siapa Sebenarnya yang Menang?”, yang mengupas secara tajam dinamika politik, militer, dan moral di balik kesepakatan gencatan senjata yang disutradarai oleh Donald Trump, antara Israel dan kelompok Perlawanan Palestina.
Kesepakatan ini menandai berakhirnya lebih dari dua tahun perang brutal yang menelan puluhan ribu korban jiwa dan menghancurkan sebagian besar infrastruktur Gaza.
Dalam tayangan berdurasi hampir satu jam itu, Ustadz Abdillah Baabud, seorang cendekiawan Muslim dan pengamat Timur Tengah, tampil sebagai narasumber utama. Diskusi dipandu oleh Billy Joe, host tetap Podcast ABI yang dikenal dengan pendekatan analitis, kritis, dan skeptis terhadap narasi arus utama media Barat.
Kelelahan Kolektif dan Kepentingan Global di Balik “Perdamaian”
Menurut Ustadz Abdillah, gencatan senjata kali ini bukan kemenangan diplomasi, melainkan hasil dari keletihan sistemik semua pihak.
“Setelah dua tahun perang genosida, semua pihak babak belur. Amerika dan Israel menyadari bahwa menghancurkan Perlawanan (Muqawamah) dengan kekuatan militer hanyalah mimpi. Mereka kehabisan energi, dana, dan legitimasi moral,” tegasnya.
Selama dua tahun terakhir, agresi Israel terhadap Gaza telah menelan lebih dari 70.000 korban jiwa, mayoritas perempuan dan anak-anak, serta meluluhlantakkan hampir seluruh infrastruktur vital di wilayah padat berpenduduk sekitar 2,3 juta jiwa itu. Serangan udara dan darat menargetkan rumah sakit, sekolah, serta kamp pengungsian, menjadikan Gaza wilayah dengan kepadatan penderitaan tertinggi di dunia modern.
Dari sisi ekonomi global, Ustadz Abdillah menyoroti dampak besar pada Amerika Serikat dan sekutunya di NATO. Dukungan logistik dan finansial terhadap Israel telah menelan triliunan dolar, menambah defisit fiskal AS dan memperburuk ketegangan internal di Washington. “Mereka ingin menghentikan kebocoran sebelum kapal karam,” ujarnya tegas.
Narasi Kemenangan: Fakta dan Fatamorgana
Klaim kemenangan datang dari dua kubu sekaligus. Di Tel Aviv, Perdana Menteri Netanyahu menyebut gencatan senjata sebagai strategic pause menuju “stabilitas kawasan”. Di Gaza, Hamas menyambutnya sebagai “buah keteguhan Jihad dan ketabahan rakyat”.
Namun, Ustadz Abdillah Baabud menilai klaim Israel hanyalah fatamorgana politik untuk menutupi kegagalan total militer dan diplomasi.
“Amerika dan Zionis, saya sebut Amazion, gagal mewujudkan satu pun dari tiga tujuan utama perang,” ujarnya.
Ia kemudian menguraikan secara sistematis:
1. Menghancurkan Perlawanan Palestina (Hamas dan faksi Muqawamah lainnya) telah gagal total. Setelah dua tahun, struktur komando Hamas masih berfungsi dan serangan roket dari Gaza tetap berlangsung sporadis.
2. Membebaskan sandera Israel dengan kekuatan militer, gagal dan mahal secara politik.
Sebagian sandera tewas dalam operasi penyelamatan yang justru memperburuk citra Israel di mata dunia.
3. Menguasai penuh wilayah Gaza dan memaksa eksodus penduduk Palestina, gagal di lapangan. Invasi darat berulang kali menemui perlawanan sengit dari brigade muqawamah yang beroperasi dari terowongan bawah tanah.
“Kemenangan Gaza bukan karena kekuatan senjata, tapi karena keteguhan. Bertahan hidup di bawah 200.000 ton bahan peledak adalah kemenangan spiritual, moral, dan eksistensial,” ujar Abdillah.
Ia menambahkan, “Kemenangan Israel hanyalah atas bayi dan infrastruktur. Tapi Gaza memenangkan sejarah.”
Baca juga : Pengiriman Pasukan ke Gaza, Presiden Melanggar Konstitusi?
Trump dan Politik Pencitraan Perdamaian
Munculnya klaim dari Presiden AS Donald Trump bahwa gencatan senjata adalah hasil “inisiatif diplomatik pribadi”-nya mendapat tanggapan keras dari Ustadz Abdillah.
“Amerika bukan mediator. Mereka bagian dari mesin agresi itu sendiri. Gencatan senjata ini bukan lahir dari niat damai, tapi dari keputusasaan. Mereka mengangkat bendera putih, lalu menamakannya ‘perdamaian’,” ujarnya.
Dalam pandangan Ustadz Abdillah, peran AS dalam konflik Gaza lebih menyerupai penjilat luka yang mereka buat sendiri, bukan penyembuh. “Tanpa Perlawanan rakyat Gaza, tak akan ada momentum untuk gencatan senjata. Perdamaian mereka lahir dari rasa malu, bukan kemanusiaan,” tambahnya.
Ketidakpercayaan terhadap “Peace Plan” Mesir
Menyinggung pertemuan tingkat tinggi di Kairo yang membahas masa depan Gaza, Ustadz Abdillah bersikap skeptis.
“Mereka yang sebelumnya berusaha menghapus Palestina, kini pura-pura memikirkan masa depannya. Itu ironi politik,” katanya.
Menurut Ustadz Abdillah, satu-satunya solusi berkeadilan bagi Palestina adalah referendum nasional, yang melibatkan seluruh penduduk asli, Muslim, Kristen, dan Yahudi untuk menentukan masa depan tanah air mereka tanpa intervensi asing.
“Tidak ada keadilan jika penjajah dan yang dijajah duduk di meja yang sama tanpa mengakui ketimpangan kekuasaan. Perdamaian sejati lahir dari pengakuan, bukan negosiasi palsu,” tandasnya.
Pelanggaran dan Realitas Kekuatan Baru Timur Tengah
Ustadz Abdillah juga mengingatkan potensi pengkhianatan Israel terhadap kesepakatan, mengingat rekam jejak pelanggaran gencatan senjata sebelumnya. Namun kali ini, katanya, posisi strategis berubah.
“Israel kini berhadapan bukan hanya dengan Gaza, tapi dengan front Muqawamah regional, Hizbullah di Lebanon, Ansarullah di Yaman, serta dukungan penuh Iran. Ekuilibrium kekuatan di Timur Tengah telah bergeser,” jelasnya.
Ia menilai perang Gaza telah mengubah peta geopolitik kawasan. AS kehilangan dominasi absolut, sementara Poros Perlawanan memperoleh legitimasi moral dan politik di mata dunia Islam. “Dunia mulai melihat siapa korban sebenarnya dan siapa penjajahnya,” katanya.
Dukungan Indonesia: Antara Moral dan Konstitusi
Menutup pembahasan, Ustadz Abdillah menekankan bahwa dukungan terhadap Palestina adalah panggilan moral dan konstitusional bagi bangsa Indonesia.
“Kita bangsa yang bertuhan, ber-Pancasila, dan menolak segala bentuk penjajahan. Jika kita diam terhadap Palestina, kita mengingkari jati diri bangsa sendiri,” tegasnya.
Ia mengingatkan, perjuangan membela Palestina bukan hanya isu keagamaan, tetapi juga amanat konstitusi dan refleksi nurani kemanusiaan. “Bagi Indonesia, membela Palestina berarti membela makna kemerdekaan itu sendiri,” tutupnya.
Kekalahan Moral Amerika dan Kemenangan Rakyat Gaza
Gencatan senjata kali ini bukan akhir perang, melainkan pengakuan global atas kegagalan kekuatan militer terbesar dunia menundukkan rakyat yang tertindas. Amerika gagal menutupi luka moralnya, sementara Gaza justru mengukir bab baru dalam sejarah Perlawanan modern.
“Amerika bukan pahlawan perdamaian,” pungkas Ustadz Abdillah. “Mereka adalah penjajah yang takluk oleh keteguhan iman rakyat Gaza. Kemenangan sejati ada di pihak yang tetap berdiri, meski dunia ingin mereka jatuh.”
Podcast ditutup dengan salam dan seruan lantang dari Ustadz Abdillah: “Free… Free Palestine.”[]
Baca juga : Membaca Pesantren dengan Keadilan: Pesantren dan Bias Jurnalisme Kita
