Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Ponsel: Teman Setia atau Saingan Keluarga?

Ponsel: Teman Setia atau Saingan Keluarga?

Oleh: Uma Faza

Ahlulbait Indonesia, 21 Oktober 2025 — Dulu, di ruang tamu, suara paling ramai adalah tawa riang keluarga. Kini, yang paling sering terdengar adalah notifikasi. Ponsel pintar, si sahabat kecil yang tak pernah lelah, kini hadir di setiap ruang, dari meja makan hingga kamar tidur. Ponsel pintar ini menemani kita 24 jam sehari, tapi secara diam-diam juga mencuri sesuatu terpenting dalam kehidupan kita, yaitu waktu, perhatian, dan mungkin juga… kehangatan sebuah keluarga.

Keluarga Tempat Pertama untuk Pulang

Dalam budaya Indonesia, keluarga adalah jangkar kehidupan. Di situlah cinta, empati, dan doa pertama kali dipelajari, bukan dari buku, tapi dari tatapan dan sentuhan keluarga.

Dulu, makan malam adalah waktu untuk saling bercerita, anak-anak dengan kisah sekolahnya, orang tua dengan lelucon dari tempat kerja.

Sekarang? Semua menunduk, bukan karena khusyuk, melainkan karena terpaku pada layar. Ada keheningan baru di rumah-rumah kita, bukan keheningan damai, melainkan keheningan digital, sebuah keheningan yang perlahan mengasingkan kehangatan.

Ponsel: Alat Komunikasi atau Alat Pengalih Perhatian?

Awalnya, ponsel diciptakan untuk memudahkan komunikasi. Namun entah sejak kapan, ponsel berubah menjadi segalanya, menjadi kantor mini, bioskop pribadi, bahkan pelarian dari realitas.

Menurut laporan DataReportal 2024 (We Are Social & Hootsuite), masyarakat Indonesia kini menghabiskan rata-rata 7 jam 42 menit setiap hari untuk terhubung ke internet, di berbagai perangkat, mulai dari ponsel pintar, laptop, hingga tablet. Dari total waktu itu, sekitar 3 jam 26 menit dihabiskan khusus untuk menjelajahi media sosial.

Angka itu terdengar biasa saja. Tapi jika dipikirkan ulang, tiga jam sudah cukup untuk menonton dua film cukup panjang, menyelesaikan tiga bab buku, atau makan malam sambil bercengkerama dengan seluruh anggota keluarga.

Sayangnya, pilihan kita sering jatuh ke yang pertama, yaitu menatap layar, bukan wajah satu sama lain dengan kehangatan.

“Cuma scroll sebentar,” kata kita. Lalu tiba-tiba malam sudah habis, anak sudah tidur, dan keluarga hanya tersisa sebagai status online di grup WhatsApp.

Saat Keluarga Mulai Jadi Latar Belakang

Mari kita jujur, pemandangan semacam ini kini sudah jadi hal biasa dan lumrah. Anak sibuk bermain gim, ayah tenggelam membaca komentar politik, ibu tertawa sendiri melihat video kucing dan anjing. Semua berada di ruang yang sama, tapi hidup di dunia yang berbeda.

Ironisnya, ponsel memang membuat kita “terhubung”, tapi sering kali justru membuat kita merasa semakin jauh.

Makan malam yang dulu penuh tawa kini berubah menjadi ritual sunyi. Setiap orang larut dalam layar mungilnya, dan rumah pun kehilangan musiknya, hangatnya percakapan keluarga.

Tapi Tak Semua Buruk

Tentu, tidak adil menyalahkan ponsel sepenuhnya. Teknologi juga punya sisi terang, salah satunya memperpendek jarak dan menyalakan rindu. Berkat panggilan video, anak di rantau bisa tetap menatap wajah ibu, bapak dan keluarga setiap hari. Grup keluarga di media sosial memudahkan koordinasi, bahkan menjadi ruang berbagi kabar, doa, dan tawa.

Masalahnya bukan pada ponselnya, tapi pada siapa yang mengendalikan siapa.

Kalau dulu manusia menggenggam ponsel, kini ponsellah yang menggenggam perhatian, waktu, bahkan isi kepala manusia.

Baca juga : Pengiriman Pasukan ke Gaza, Presiden Melanggar Konstitusi?

Kelelahan Digital dan Jarak Emosional

Psikolog menyebutnya digital fatigue, kelelahan yang datang tanpa disadari. Kita lelah bukan karena bekerja terlalu keras, tapi karena terlalu banyak rangsangan digital yang terus menuntut perhatian.

Remaja menjadi kelompok paling rentan, mereka mencari pengakuan dari like dan komentar, bukan dari pelukan, tatapan, atau percakapan hangat keluarga.

Generasi baru perlahan kehilangan keterampilan paling dasar, yaitu berbicara dari hati ke hati. Hubungan keluarga pun berubah menjadi “keluarga berjejaring”, terasa dekat di dunia maya, tapi kian dingin dan hampa di dunia nyata. Ada banyak suara di layar, tapi sedikit yang benar-benar didengar.

Keluarga Digital: Koneksinya Ada, Hangatnya Hilang

Sosiolog menyebut fenomena ini hyperconnection paradox, semakin terhubung, justru semakin kesepian. Dan bukankah itu terdengar seperti banyak rumah hari ini?

Semua online, tapi tak ada yang benar-benar hadir.

Namun, jangan buru-buru panik. Masalah ini tidak perlu diselesaikan dengan amarah, melainkan dengan kesadaran, dan, tentu saja, sedikit humor.

Cara Mengembalikan Keintiman Keluarga (Tanpa Perlu Jadi Anti-Gadget)

1. Waktu Bebas Ponsel
Saat makan, jadikan ponsel sebagai “tamu tak diundang”. Simpan dia di ruang lain.
Kalau terasa aneh, itu tandanya hubungan kita sudah terlalu lama, dan mungkin sudah toxic.

2. Percakapan Singkat tapi Tulus
Waktu tidak perlu panjang, yang penting hadir sepenuhnya. Sepuluh menit mendengarkan cerita anak dengan perhatian penuh lebih berharga daripada satu jam scrolling berita politik yang hanya bikin darah naik.

3. Edukasi Digital Sejak Dini
Ajarkan anak bahwa ponsel itu sebagai alat bantu, bukan penentu. Mereka harus tahu, bahwa notifikasi bisa menunggu, tapi perasaan orang tidak selalu bisa.

4. Aktivitas Bersama yang Nyata
Masak bareng, nonton film keluarga, jalan sore, atau sekaedar main petak umpet. Aktivitas sederhana ini menumbuhkan sesuatu yang tak bisa diunduh, yaitu keakraban dan kehangatan.

5. Hari Tanpa Ponsel
Coba satu hari tanpa gawai setiap minggu. Banyak keluarga melaporkan efek samping yang menyenangkan, tertawa spontan, cerita yang panjang, bahkan doa yang lebih khusyuk.

6. Teladan Orang Tua
Anak tidak selalu meniru nasihat, mereka meniru kebiasaan. Jadi kalau ingin anak berhenti menatap layar, orang tua juga perlu meletakkannya lebih dulu.

Menyeimbangkan Dunia Nyata dan Dunia Maya

Beberapa negara sudah bergerak cepat menanggapi dampak digital di kehidupan sosial.
Prancis, misalnya, melarang penggunaan ponsel di sekolah dasar sejak 2018, agar anak-anak belajar kembali fokus dan berinteraksi secara nyata.

Di Korea Selatan, pemerintah bahkan menggelar “kamp bebas gadget” bagi remaja, tempat mereka menjalani digital detox di alam terbuka untuk memulihkan konsentrasi dan kedekatan sosial.

Sementara di Indonesia, perubahan bisa dimulai dengan cara yang jauh lebih sederhana, yatu dari meja makan kita, dari ruang tamu kita, dari keputusan kecil hati nurani kita untuk hadir sepenuhnya bersama keluarga.

Teknologi Hebat, tapi Keluarga Lebih Hebat

Mari jujur dari hati yang paling dalam, bahwa ponsel tidak jahat. Ponsel hanya cerdas, kadang terlalu cerdas, bahkan melebihi kecerdasan kita.

Namun satu hal tetap dan pasti, bahwa secanggih apa pun teknologi, tak ada algoritma yang bisa dan mampu menggantikan pelukan, tawa, atau sapaan hangat dari orang-orang yang kita cintai dan hormati.

Ponsel bisa menjadi teman setia kita, selama itu tidak mengambil tempat di hati yang seharusnya milik keluarga.

Jadi, jika malam ini ponselmu terus bergetar, jangan buru-buru melihat layar. Mungkin yang lebih membutuhkan perhatian dan senyuman justru orang yang sedang duduk di sebelahmu. []

Baca juga : #PODCAST | Gencatan Senjata Gaza: Amerika, Penjajah yang Tumbang oleh Keteguhan Rakyat Palestina

Continue Reading