Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Ramadan di Gaza: Iman di Tengah Reruntuhan

Ramadan di Gaza: Iman di Tengah Reruntuhan

Oleh: Muhlisin Turkan

Ahlulbait Indonesia, 03/03/25 – Ramadan telah tiba di Gaza, tetapi bukan dengan lentera yang menerangi jalan atau suara tawa keluarga yang berkumpul di meja makan. Bulan suci ini hadir di antara kepulan debu reruntuhan, di bawah langit yang terus dirundung ancaman. Tidak ada hidangan berbuka yang tersaji di meja-meja rapi, hanya lantai-lantai dingin yang menjadi tempat berbuka. Tidak ada aroma masakan yang menyebar dari dapur, hanya asap dari api darurat yang menyala di tengah puing-puing kehancuran.

Selama hampir 16 bulan terakhir, Gaza tak henti-hentinya dihantam bom. Kota-kota yang dulu penuh kehidupan kini hanya tersisa serpihan. Di kamp pengungsi Jabaliya, yang kini lebih mirip kuburan bangunan, makanan berbuka hanyalah kacang lentil dan sepotong roti. Rumah sakit-rumah sakit yang masih berdiri bertahan dengan suplai medis yang semakin menipis, sementara para dokter bekerja dalam gelap, tanpa listrik, dengan harapan yang kian meredup.

Namun, di tengah penderitaan ini, Ramadan tetap menjadi sumber cahaya. Seperti yang disampaikan oleh Ayatullah Ali Khamenei dalam ceramahnya pada Minggu malam, 3 Maret 2025, di Mushola Imam Khomeini, Teheran, Ramadan adalah hari raya besar bagi orang-orang beriman.

“Kita memiliki berbagai penderitaan dalam kehidupan pribadi dan sosial yang dapat diselesaikan dengan Al-Qur’an.”

Bukankah itulah yang terjadi di Gaza? Mereka hidup dalam bayang-bayang kehancuran, tetapi tetap berpegang teguh pada kitab suci sebagai sumber kekuatan.

Di antara reruntuhan, para ayah masih duduk bersama anak-anaknya, membaca Al-Qur’an dengan penerangan seadanya. Di jalanan yang dipenuhi puing, para lelaki membentangkan sajadah dan berwudu dengan air yang kotor, tetapi hati mereka tetap bersih dalam keyakinan. Suara ayat-ayat suci masih menggema di langit Gaza, melawan kebisingan pesawat tempur dan dentuman bom.

Seperti yang ditegaskan Ayatullah Khamenei tadi malam, Al-Qur’an tidak hanya memberikan petunjuk, tetapi juga membangun keyakinan yang kokoh. Di Gaza, ayat-ayat suci itu bukan sekadar bacaan, tetapi pedoman hidup yang mengajarkan mereka untuk tetap teguh dalam menghadapi ketidakadilan.

Mereka memahami bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat petunjuk tentang bagaimana menghadapi penguasa zalim, bagaimana menegakkan keadilan, dan bagaimana menghadapi cobaan dengan kesabaran. Ayatullah Khamenei juga mengingatkan bahwa membaca Al-Qur’an bukan hanya ibadah, tetapi juga jalan untuk menyucikan diri dan menemukan makna sejati dari kehidupan.

Baca juga : Terima Kasih atau Pergi: Diplomasi Oval dalam Era Bisnis

Tetapi seolah penderitaan belum cukup, Gaza kini dilanda banjir. Hujan deras mengguyur tanah yang tak lagi memiliki sistem drainase. Kamp-kamp pengungsian berubah menjadi rawa berlumpur, tenda-tenda terendam air, dan anak-anak terpaksa berjalan di tengah genangan.

Namun, meskipun dihantam bencana bertubi-tubi, Ramadan tetap mengajarkan satu hal: berbagi. Mereka yang hanya memiliki sedikit tetap berusaha memberi. Para relawan, yang keadaannya tak lebih baik, berjalan dari satu tenda ke tenda lain, membagikan makanan, menyunggingkan senyum, menebarkan harapan.

Inilah semangat yang diajarkan oleh Al-Qur’an—kesabaran dalam penderitaan, keikhlasan dalam memberi, dan keberanian dalam menghadapi ketidakadilan. Ayatullah Khamenei menekankan bahwa konsep-konsep Al-Qur’an harus diubah menjadi keyakinan intelektual yang mengakar di hati manusia. Dan di Gaza, keyakinan itu hidup. Tidak hanya dalam kata-kata, tetapi dalam tindakan nyata.

Salat Isya, yang dulu dilakukan di masjid-masjid besar, kini berlangsung di sudut-sudut jalan. Di bawah bayangan bangunan yang hancur, orang-orang tetap berdiri dalam sujud, tetap berdoa dalam harapan. Mereka tahu bahwa Al-Qur’an bukan sekadar bacaan, tetapi cahaya yang membimbing mereka melewati kegelapan.

Namun dunia seolah menutup mata. Bantuan kemanusiaan datang dengan lamban, tertahan di perbatasan yang dijaga ketat oleh rezim pendudukan Israel. Gencatan senjata yang rapuh hanya memberikan ketenangan sesaat sebelum kembali pecah oleh kepentingan politik yang tak memihak mereka yang menderita.

Di balik semua itu, ada sesuatu yang tidak bisa dihancurkan oleh perang, kelaparan, atau bahkan banjir sekalipun. Sesuatu yang terus menyala di dada mereka.

Namun warga Gaza tidak menyerah. Mereka tidak bisa menyerah. Mereka berpuasa bukan hanya karena lapar fisik.

Mereka lapar akan keadilan.
Lapar akan perdamaian.
Lapar akan kehidupan yang layak.

Ketika Ayatullah Khamenei menasehati kita, beliau berkata: “Ketahuilah bahwa Anda berada di hadirat Tuhan ketika membaca Al-Qur’an; bacalah sambil merenungi maknanya.”

Warga Gaza telah menghidupkan makna itu dengan sepenuh hati. Mereka tidak hanya membaca Al-Qur’an, mereka menghidupinya.

Saat azan berkumandang di tanah yang hancur, ia tidak hanya memanggil untuk salat, tetapi juga menjadi saksi atas keteguhan yang tak tergoyahkan. Gaza bukan hanya reruntuhan. Gaza adalah iman yang bertahan dalam badai. Gaza adalah saksi bahwa ketidakadilan bisa menghancurkan bangunan, tetapi tidak bisa menghancurkan hati yang berpegang pada kebenaran.

Lalu, di manakah kita berdiri?
Apakah kita hanya menjadi saksi bisu, ataukah kita akan mengulurkan tangan, menyuarakan keadilan, dan berdiri bersama mereka? []

Baca juga : Jejak Sang Syahid al-Muqawwamah: Mengubah Yaman Menjadi Benteng Perlawanan Arab & Islam