Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Sayyidah Fatimah Zahra as: Standar Moral dan Arah Peradaban Masyarakat

Iman Melebur Dalam Jiwa Sayyidah Fathimah

Ahlulbait Indonesia, 11 Desember 2025 — Dunia modern bergerak dengan kecepatan yang memabukkan, namun justru tersesat dalam kerumunan ambisi dan kegaduhan nilai. Manusia bergegas mengejar sesuatu yang diberi label “kemajuan”, meski arah dan maknanya semakin kabur. Ketika kompas moral hilang, kebutuhan akan figur teladan menjadi kebutuhan publik yang tidak bisa ditawar. Namun pencarian itu kerap melenceng, ketika tujuan moral menguap, panutan berubah menjadi mitos yang bersinar di permukaan tetapi kosong di kedalaman.

Pergantian zaman memang mengguncang orientasi hidup manusia. Apa yang diagungkan satu generasi dapat dicampakkan generasi berikutnya. Namun ada nilai-nilai yang tidak bisa diperdagangkan oleh pasar dan tidak bisa ditentukan oleh algoritma, yaitu kejujuran, kemuliaan akhlak, keberanian moral, dan kebahagiaan hakiki. Nilai-nilai inilah yang memerlukan teladan yang kokoh, bukan figur instan hasil dari produksi industri hiburan, politik, atau kapitalisme identitas.

Agama menegaskan bahwa sumber otoritas moral tertinggi adalah Allah SWT. Melalui para Nabi dan Imam, Allah tidak menawarkan simbol-simbol kosong, tetapi peta jalan peradaban. Rasulullah SAW adalah model kepemimpinan yang tidak lahir dari retorika, tetapi dari integritas. Al-Quran menyebut beliau sebagai suri teladan terbaik, bukan hanya bagi individu, tetapi bagi bangsa yang ingin selamat secara moral dan politik.

Wasiat Rasulullah SAW menjelang wafatnya, yaitu untuk berpegang teguh pada “Kitab Allah dan Ahlul Baitku”, bukan pernyataan emosional seorang kepala keluarga. Itu adalah deklarasi politik-spiritual tentang sumber legitimasi dan arah peradaban setelah beliau. Dua poros itu menjadi barometer moral dalam perjalanan umat.

Dalam arsitektur moral itulah berdiri sosok yang melampaui batas-batas sejarah, yaitu Sayyidah Fatimah Zahra as.

Sayyidah Fatimah bukan hanya seorang putri Nabi. Sayyidah Fatimah adalah konstruksi moral paling solid dalam tradisi Islam. Rasulullah menyebutnya sebagai penghulu seluruh wanita alam dan surga. Imam Hasan Askari as menegaskan posisinya sebagai hujjah bagi para Imam, pernyataan yang mengandung nilai teologis dan politik yang sangat besar. Imam Mahdi as menutupnya dengan kalimat yang tidak menyisakan ruang ragu, bahwa pada diri Sayyidah Fatimah terdapat teladan yang baik. Ini bukan pujian, tapi ini adalah penetapan standar moral peradaban.

Dalam situasi politik nilai, Sayyidah Fatimah adalah antitesis dari narasi “pembebasan perempuan” yang didorong dunia modern. Banyak ide pembebasan itu ternyata hanya memindahkan perempuan dari satu bentuk dominasi ke dominasi yang lebih canggih, dimana tubuh menjadi komoditas, suara mereka dipolitisasi, dan martabat mereka dipreteli atas nama kebebasan. Lembaga-lembaga yang mengaku membela perempuan justru sering menjadi produsen wacana yang menormalisasi eksploitasi. Mereka berbicara tentang hak, tetapi bergantung pada industri yang merendahkan perempuan untuk hidup.

Dalam realitas seperti itu, Sayyidah Fatimah tidak hadir sebagai romantisme religius. Sayyidah Fatimah hadir sebagai penuntun terhadap kegagalan moral zaman. Sebagai koreksi dan teladan terhadap narasi-narasi yang menipu. Sebagai bukti bahwa martabat perempuan tidak bisa dibangun di atas struktur ekonomi yang mengeksploitasi tubuh dan budaya glamor yang mengemas kebebasan secara semu.

Ketakutan terhadap kekuatan moral semacam ini menjelaskan mengapa simbol-simbol suci selalu menjadi sasaran serangan, seperti karikatur Rasul, pembakaran Al-Quran, penghinaan terhadap Ahlul Bait. Semua tindakan itu berangkat dari kecemasan kolektif bahwa nilai-nilai abadi tidak bisa dibungkam. Ketika cahaya bergerak, kegelapan panik. Meragukan relevansi Sayyidah Fatimah hanyalah usaha sia-sia menutupi matahari dengan telapak tangan.

Profil beliau menjelaskan semuanya. Dalam ibadah, beliau mencapai puncak penghambaan. Dalam keluarga, beliau merupakan pusat keteguhan dan kehangatan. Dalam masyarakat, beliau tampil membela kebenaran dengan keberanian politik yang tidak mengenal kompromi. Dalam kesucian, beliau menegakkan batasan Ilahi dengan ketegasan yang tidak disandera opini publik. Gelar Ummu Abiha bukan folklor, tetapi pengakuan atas peran strukturalnya dalam menopang risalah.

Pertanyaannya kini bukan lagi sentimental, tetapi politis, di mana perempuan modern menemukan figur yang memadukan kecerdasan moral, ketegasan publik, kedalaman spiritual, dan integritas pribadi dalam satu sosok?

Jawabannya tidak berubah sejak 14 abad lalu, Sayyidah Fatimah Zahra as.

Namun cinta kepada sosok sebesar ini tidak boleh berhenti sebagai simbol atau seremoni. Cinta ini harus diterjemahkan menjadi orientasi sosial-politik, termasuk kesederhanaan dalam pernikahan sebagai kritik terhadap budaya konsumtif, tanggung jawab keluarga sebagai basis stabilitas masyarakat, keberanian moral dalam ruang publik, dan komitmen pada nilai ketika dunia menawarkan kompromi.

Berbagai capaian perempuan Muslim hari ini, dalam ilmu, profesi, kepemimpinan membuktikan bahwa nilai Ilahi bukan beban sejarah, tetapi energi peradaban.

Di tengah dunia yang bising oleh propaganda yang menukar nilai dengan keuntungan, figur seperti Sayyidah Fatimah bukan hanya soal rujukan. Sayyidah Fatimah adalah standar moral yang menguji ketahanan peradaban.

Dan selama standar itu tetapberdiri tegak, umat ini tidak akan kehilangan arah. [MT]

Continue Reading