Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Setelah Bom, Drone, dan Kapal Induk Gagal Menundukkan ‘Sandal Jepit’ Yaman

Setelah Bom, Drone, dan Kapal Induk Gagal Menundukkan 'Sandal Jepit' Yaman

Oleh: Muhlisin Turkan

Ahlulbait IndonesiaForeign Affairs, salah satu corong kebijakan luar negeri paling bergengsi di Amerika Serikat, akhirnya mengakui sesuatu yang selama ini ditepiskan oleh propaganda Barat, yakni proyek multi-miliar dolar Washington untuk menundukkan Yaman telah runtuh di hadapan keteguhan Ansarullah. Meskipun Donald Trump pernah sesumbar bahwa “Houthi telah menyerah”, realitas geopolitik berkata sebaliknya bahwa Sanaa tetap berdiri, lebih kuat, kokoh dan berdaulat, sementara Amerika Serikat menyeret langkah tertatih menuju meja perundingan dengan kepala tertunduk.

Dalam artikelnya yang berjudul “How the Houthis Outlasted America“, terbit pada 9 Mei 2025, April, Longley Alley menegaskan bahwa gencatan senjata tak resmi yang dimediasi Oman bukan sekadar manuver diplomatik biasa, melainkan pengakuan terang-terangan atas kebangkrutan strategi militer Amerika Serikat. Lebih dari 1.300 serangan udara, anggaran operasi yang membakar lebih dari $2 miliar, hingga pengerahan kapal induk kelas dunia, semuanya gagal meredam nyala perlawanan Yaman. Ironisnya, justru dari reruntuhan Sanaa, bukan dari Tel Aviv apalagi Pentagon, Ansarullah kini menulis ulang peta kekuatan regional. Menyerang kapal-kapal militer AS, melumpuhkan pelabuhan Israel, dan mengubah Laut Merah menjadi arena krisis permanen bagi musuh-musuhnya.

Dilema Strategis dan Moral

Foreign Affairs menyampaikan, dengan nada getir, bahwa pemboman besar-besaran AS terhadap Yaman justru memperparah dilema Washington. Semakin dalam terlibat, semakin nyata kebangkrutannya, baik secara strategis maupun moral. Elite kebijakan AS kini resah akan kemungkinan terseret ke dalam lumpur perang tanpa ujung di Asia Barat, sebuah pengulangan Vietnam, hanya dengan tempo lebih cepat dan lawan yang lebih siap.

Keretakan Sekutu dan Kejatuhan Citra

Rudal Yaman yang menyasar wilayah pendudukan telah menciptakan keretakan serius antara AS dan entitas Zionis. Saluran TV Israel 12 melaporkan secara gamblang bahwa “Israel kini sendirian menghadapi bahaya dari laut dan udara.” Amerika Serikat, yang selama ini dianggap sebagai perisai Israel, justru menandatangani kesepakatan diam-diam dengan Ansarullah tanpa koordinasi dengan Tel Aviv; sebuah tamparan diplomatik yang menyakitkan.

Media ekonomi Israel, Calcalist, dalam analisisnya menegaskan bahwa rudal Yaman bukanlah sekedar senjata biasa. Mereka lincah, bermanuver, dan mematikan. Sistem pertahanan udara Zionis terbukti tidak efektif. Bukan hanya teknologi, tetapi juga psikologi militer Israel kini porak-poranda. Serangan demi serangan Yaman mengungkap betapa rapuhnya jantung “Negara Yahudi” di bawah bayang-bayang perlawanan dari selatan.

Avigdor Lieberman, mantan Menteri Perang Israel, bahkan menyebut kesepakatan AS-Yaman sebagai “kejatuhan yang tak terkatakan”. Ketika Amerika mengibarkan bendera putih di Laut Merah, siapa lagi yang bisa diandalkan Tel Aviv?

Baca juga : Kawah ‘Martabat’ di Ben Gurion: Panah Yaman dan Pelajaran Harga Diri bagi Dunia Islam

Simbol Perlawanan Global

Pernyataan Wakil PM Yaman untuk urusan pertahanan adalah pukulan simbolik sekaligus strategis; “Kapal induk Amerika tidak berdaya melawan rudal kami.” Serangan drone dan rudal balistik Yaman yang berhasil menembus pertahanan dan menenggelamkan kepercayaan diri militer AS di kawasan menunjukkan satu hal, bahwa Poros Perlawanan kini telah mencapai deterrence balance, sebuah keseimbangan daya gentar.

Kemenangan ini bukan hanya milik Yaman, tapi milik Gaza, Tepi Barat, Lebanon, Irak, Suriah, dan seluruh wilayah yang menyandang luka kolonialisme modern. Pembatalan ratusan penerbangan internasional ke Ben Gurion, kegagalan Iron Dome dan Arrow dalam mencegat rudal Yaman, serta evakuasi kapal induk USS Truman dari Laut Merah ke utara menjadi penanda babak baru, rezim Zionis kini tidak hanya terisolasi secara moral, tapi juga secara militer.

Kejatuhan Imperialisme Baru

Abdul Bari Atwan dalam analisisnya dengan tajam menegaskan: “Amerika telah mengibarkan bendera putih.” Setelah kerugian miliaran dolar, jatuhnya jet tempur F-18, dan pembantaian logistik laut mereka, Washington meminta mediator Oman untuk menyelamatkan muka. Itu pun hanya menghasilkan kesepakatan tidak resmi; tanpa kehormatan dan tanpa kemenangan.

Kini, Ansarullah tidak hanya berdiri sebagai simbol kebebasan, tapi sebagai ujung tombak transformasi geopolitik Asia Barat. Mereka memaksa negara adidaya tunduk dan membuat sekutunya porak-poranda. Seperti Vietnam, seperti Afghanistan, Yaman menjadi kuburan imperialisme baru. Namun kali ini, dengan agenda yang lebih besar, yakni membebaskan Palestina, menghancurkan apartheid Zionis, dan menandai runtuhnya tatanan global satu arah yang digerakkan dari Washington.

Apa Artinya Semua Ini?

Yaman hari ini bukan lagi sekadar medan tempur. Yaman kini telah menjelma menjadi monumen kekalahan memalukan bagi negara-negara adidaya yang pongah di hadapan tekad rakyat tertindas. Dari balik sarung lusuh dan sandal jepit yang telah menempuh ribuan medan perjuangan, bangsa Yaman membuktikan bahwa keunggulan teknologi dan gelontoran miliaran dolar tak lebih dari ilusi kekuasaan yang rapuh. Di hadapan keimanan yang tak tergoyahkan, kesabaran yang membaja, dan keyakinan suci akan kemerdekaan, bahkan kekuatan Setan Besar pun takluk dan runtuh tanpa daya. []

Baca juga : Api yang Membakar Sejarah: Kebakaran Hutan di Wilayah Pendudukan