Opini
Siti Fatimah dan Stereotipe ‘Solihah’
Oleh: Dr. Muhsin Labib, MA (Anggota Dewan Syura ABI)
Ahlulbait Indonesia – Dalam ruang budaya dan keagamaan kita, seringkali terpampang lukisan tunggal tentang perempuan solihah sebagai sosok yang sabar nan tabah dalam makna pasif, senantiasa menerima dengan lapang dada, lembut, serta patuh tanpa reserve. Di seberangnya, berdiri siluet perempuan progresif—yang kritis, berinisiatif, dan berkarakter aktivis—sebagai antitesis yang dianggap bertentangan. Polarisasi semu ini bukan hanya menyederhanakan, tetapi membelenggu potensi sejati spiritualitas dan kontribusi perempuan.
Lukisan kesalehan yang pasif dan domestik ini sesungguhnya merupakan produk interpretasi budaya patriarkal yang telah lama bersinggungan dengan narasi keagamaan. Kesabaran dan ketabahan sebagai virtues universal direduksi menjadi sekadar ketundukan terhadap status quo. Sifat lembut dan ramah dikerdilkan menjadi persona yang harus menghindari konflik, bahkan ketika membela kebenaran. Narasi seperti ini mengabaikan fakta bahwa dalam arus sejarah, kontribusi perempuan yang paling berarti justru lahir dari jiwa-jiwa yang berani, mandiri, dan berpikir maju.
Peringatan Syahadah Sayyidah Fatimah mestinya tidak hanya diisi dengan pengulangan narasi kesedihan demi menguatkan jalinan emosional dengan figur sucinya namun mestinya diisi juga dengan refleksi kontekstual agar menerbitkan kesadaran tentang makna kesetaraan sebagai manusia dan mukallaf dalam segala hal, termasuk tanggungjawab dan kesiapan menerima risiko.
Spiritualitas yang diwariskan Putri Nabi itu justru mengajarkan keteguhan prinsip yang berani menantang struktur ketidakadilan. Meski dalam kesedihan mendalam, dengan kesadaran hukum yang tajam, ia memperjuangkan hak legalnya di hadapan kekuasaan. Tindakan ini merupakan penjelmaan nyata dari amar ma’ruf nahi munkar—perintah menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran yang menjadi pilar fundamental agama.
Karena itu, dikotomi antara “solihah” dan “progresif” adalah kekeliruan persepsi yang berbahaya. Perempuan aktivis yang memperjuangkan hak-hak kaum marginal, atau ilmuwan yang meneliti ketimpangan sosial, justru sedang mempraktikkan kesabaran dan ketabahan dalam bentuknya yang paling kongkrit. Mereka adalah pewaris semangat Sayyidah Fatimah yang memahami bahwa menerima risiko adalah konsekuensi logis dari keberanian memegang prinsip.
Baca juga : Ketika Meja Perundingan di Gaza Tak Cukup, ABI Memilih Bertindak
Refleksi atas syahadah Sayyidah Fatimah mengajak kita melampaui dikotomi usang ini. Daripada terjebak dalam polarisasi antara perempuan “solihah” yang pasif dan “progresif” yang dianggap melampaui batas, kita diajak melihat teladan Fatimah sebagai sintesis sempurna antara ketundukan spiritual dan ketegasan intelektual. Ia membuktikan bahwa kesetaraan sebagai mukallaf mengandaikan kapasitas memikul tanggung jawab setara dalam membangun peradaban.
Sudah saatnya kita merajut ulang narasi kesalehan yang inklusif, autentik, dan membebaskan. Kesalehan bukan tentang kepasifan, melainkan keaktifan dalam kebajikan. Ia adalah kekuatan moral yang mewujud dalam beragam bentuk: dari kesabaran menahan amarah hingga ketabahan menyuarakan kebenaran di hadapan penguasa zalim; dari senyuman lembut seorang ibu di rumah hingga orasi membakar semangat aktivis di ruang publik.
Dalam cahaya teladan Sayyidah Fatimah, kita diajak merayakan perempuan yang tidak takut berpikir, bersuara, dan bertindak—karena itulah wujud kesalehan sesungguhnya yang berani menghadapi risiko demi menegakkan yang haq. Seorang perempuan yang solihah adalah ia yang, dengan penuh kesadaran, menghidupkan nilai-nilai luhur agamanya—baik dengan pena yang tajam, kata-kata yang menyejukkan, atau tindakan yang menggetarkan tatanan tidak adil. Kesalehan sejati bukan soal menjadi patuh atau pemberontak, melainkan tentang menjadi benar dan bermanfaat dalam segala kompleksitas potensi yang dianugerahkan Sang Pencipta.
Baca juga : IKO dan Refleksi DPW ABI DKI Jakarta: Membangun Ormas Berdaya, Akuntabel, dan Bermartabat
