Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Starbucks, Kopi Mahal Rasa Kolonialisme

Starbucks, Kopi Mahal Rasa Kolonialisme

Oleh: Muhlisin Turkan

Ahlulbait Indonesia – Dahulu, antrean panjang di depan kedai Starbucks Kuala Lumpur bisa menyaingi antrean konser K-Pop. Kini? Pemandangan itu tinggal mitos. Kursi-kursi kosong lebih banyak bicara ketimbang iklan glossy mereka. Rasa kopi yang tadinya dijual sebagai “premium” kini berubah getir, bukan karena biji Arabika, melainkan karena darah Palestina yang mengalir di Gaza.

Seperti dilaporkan Farsnews Agency dari al-Jazeera pada Kamis (28/8), perusahaan pengelola Starbucks di Malaysia, Berjaya Food Group, mencatat kerugian terbesar sepanjang sejarahnya. Bloomberg menulis, rugi bersih melonjak tiga kali lipat menjadi 292 juta Ringgit (69 juta Dolar), dengan pendapatan anjlok 36% secara tahunan. Perusahaan bahkan terpaksa membuat “cadangan penurunan nilai” untuk aset-asetnya, bahasa akuntansi yang sopan untuk menyatakan, bahwa bisnis ini sedang sekarat.

Boikot massal di Malaysia bukan hanya soal aksi moral, melainkan instrumen ekonomi yang terbukti efektif. Konsumen menutup dompet, dan dampaknya jauh lebih mengguncang dibandingkan pidato diplomatik siapa pun. Sementara itu, di Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Starbucks masih berdiri gagah. Antrean memang sudah tak lagi mengular, tetapi kritik semakin nyaring, bahwa kopi mereka dianggap tak lebih dari franchise kapitalisme global rasa sirup gula. Singkatnya adalah Starbucks, kopi mahal dengan aroma kolonialisme.

Baca juga : Strategi Baru AS–Israel dan Respon Iran: Analisis atas Pidato Imam Ali Khamenei

CEO Starbucks, Brian Nicoll, dalam kunjungan perdananya ke Timur Tengah, mencoba membela diri dan mengatakan bahwa “boikot ini tidak akurat; kami tidak pernah mendukung tentara mana pun.” Namun sejarah membantah klaim manis itu. Dari sumbangan ke lembaga pro-Israel, tekanan terhadap serikat buruh pro-Palestina, hingga sikap alergi terhadap gerakan antiperang, rekam jejak Starbucks lebih pekat daripada espresso yang mereka jual.

Ironi paling kental hari ini bukan di secangkir espresso, melainkan di perbandingan dua negeri serumpun. Di Malaysia, Starbucks sudah kehilangan rasa, bukan lagi lifestyle, melainkan minuman kolonialisme basi yang mulai ditinggalkan tanpa ada yang rindu. Sementara di Indonesia, antrean masih ada, karena sebagian konsumen masih percaya minum kopi mahal rasa sirup gula bisa menambah gengsi dan status sosial. Feed Instagram tetap hidup, meski nurani mungkin sudah mati.

Padahal, bedanya hanya soal waktu dan kesadaran. Malaysia membuktikan bahwa dompet konsumen bisa lebih efektif daripada seribu pidato pejabat. Indonesia? Masih sibuk meneguk “lifestyle” dari gelas kertas hijau, sambil lupa bahwa yang ikut tertelan adalah rasa kemanusiaan.

Jika Malaysia sudah menunjukkan bahwa boikot adalah senjata ekonomi rakyat, maka pertanyaan bagi Indonesia sederhana, sampai kapan kita rela membayar mahal untuk secangkir kopi yang, pada akhirnya, tetap beraroma genosida? [MT]

Baca juga : Bantuan ABI Tembus Gaza, kok Bisa?