Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Strategi Baru AS–Israel dan Respon Iran: Analisis atas Pidato Imam Ali Khamenei

Strategi Baru AS–Israel dan Respon Iran: Analisis atas Pidato Imam Ali Khamenei

Oleh: Muhlisin Turkan

Ahlulbait Indonesia — Pidato terbaru Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, pada Minggu (24/8), dalam peringatan syahadah Imam Ali bin Musa al-Ridha (as), bukan hanya arahan ke dalam negeri. Pidato itu ibarat dokumen politik-strategis yang menguraikan kegagalan opsi militer Barat, pergeseran ke perang perpecahan, serta visi jangka panjang tentang dunia pasca-Zionis.

Dari Konfrontasi Militer ke Perang Perpecahan

Ayatullah Khamenei menekankan bahwa Barat telah kehilangan instrumen militer untuk menundukkan Iran. “Musuh-musuh Iran telah memahami dari sikap kuat bangsa, pejabat, dan angkatan bersenjata, serta kekalahan telak mereka dalam serangan militer, bahwa bangsa Iran tidak dapat ditundukkan melalui perang. Karena itu, mereka kini mengejar tujuan ini dengan menciptakan perpecahan di negara ini.”

Kegagalan militer memaksa Barat untuk beralih ke strategi berbasis soft power, operasi psikologis, infiltrasi budaya, dan polarisasi sosial. Pola ini paralel dengan dinamika di Irak, Lebanon, dan Palestina, di mana tekanan lebih banyak diwujudkan melalui krisis ekonomi dan disinformasi ketimbang serangan militer langsung.

Amerika Serikat dan Permusuhan Struktural, Bukan Situasional

Imam Ali Khamenei mengajukan pertanyaan kunci, “Apa sebenarnya alasan permusuhan berkelanjutan dari semua pemerintah Amerika terhadap Iran dalam 45 tahun terakhir?”

Jawaban beliau tegas, bahwa; “Mereka berkata, ‘Kami ingin Iran mendengarkan kami.’ Dengan kata lain, mereka ingin bangsa Iran dan sistem Republik Islam tunduk pada perintah Amerika.”

Pernyataan ini memperlihatkan bahwa permusuhan AS terhadap Iran bukan karena isu tertentu misalnya HAM, terorisme, demokrasi dan lainnya, melainkan karena independensi strategis Iran itu sendiri. Artinya, tidak ada format perundingan yang mampu menghapus antagonisme struktural ini, kecuali jika Iran melepaskan kedaulatannya, sesuatu yang dikecam Imam Ali Khamenei sebagai ilusi.

Ketahanan Sistem: Simbiosis Rakyat, Pemerintah, dan Angkatan Bersenjata

Ayatullah Khamenei menyebut ilusi Barat tentang keruntuhan Republik Islam sebagai “delusi”: “Mereka begitu yakin dengan tujuan konyol mereka sehingga sehari setelah dimulainya perang, agen-agen bayaran Amerika di Eropa sudah membicarakan pemerintahan setelah Republik Islam.”

Namun, beliau menegaskan realitas: “Bangsa ini berdiri di samping sistem, Angkatan Bersenjata, dan pemerintah, dan memberi musuh pukulan keras di mulut.”

Legitimasi sistem Iran tidak bergantung pada elite semata, melainkan pada hubungan organik rakyat–negara–militer. Hal ini menutup jalan bagi skenario regime change berbasis intervensi atau kudeta. Sebagai gantinya, musuh fokus pada melemahkan kohesi internal melalui propaganda dan infiltrasi politik.

Baca juga : Bantuan ABI Tembus Gaza, kok Bisa?

Dimensi Regional: Perlawanan Asimetris terhadap Israel

Mengenai Zionisme, Imam Ali Khamenei menyebutnya sebagai entitas yang terisolasi: “Rezim Zionis adalah pemerintahan paling dibenci di dunia; bahkan pemerintah Barat yang selalu mendukungnya kini terpaksa mengutuknya, meskipun hanya secara verbal dan tidak berguna.”

Lebih jauh, beliau menekankan langkah konkret: “Kita harus menutup jalan untuk membantu rezim Zionis dari semua sisi, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yaman yang pemberani.”

Di sini muncul doktrin perlawanan asimetris. Imam Ali Khamenei menyoroti Yaman sebagai contoh model baru, di mana aktor non-negara atau negara kecil bisa memaksa perubahan dalam persamaan kekuatan melalui operasi maritim atau tekanan tidak konvensional. Pesan ini ditujukan ke seluruh Poros Perlawanan, bahwa aksi nyata lebih menentukan dibanding sekadar diplomasi atau kecaman.

Menjaga Persatuan dan Instrumen Pertahanan Terakhir

Imam Ali Khamenei menegaskan: “Persatuan suci, perisai baja hati rakyat, tidak boleh ternoda. Menjaganya adalah tugas mereka yang berbicara, menulis, dan meneliti; juga para pejabat dari tiga cabang pemerintahan.”

Pernyataan ini adalah sinyal bahwa medan utama perang berikutnya adalah sosial dan kultural. Iran menyadari bahwa persatuan internal adalah benteng terakhir yang hendak dihancurkan musuh. Karenanya, seluruh spektrum masyarakat , dari elite politik hingga pengguna media sosial yang dianggap bagian dari garis pertahanan nasional.

Konsekuensi Geopolitik

Dari rangkaian pidato ini, terdapat beberapa kesimpulan strategis:

1. Kegagalan opsi militer Barat, bergeser ke perang perpecahan.

2. Permusuhan AS bersifat struktural, negosiasi tidak akan mengubah hakikat konflik.

3. Ketahanan Iran berbasis integrasi rakyat–sistem–militer, skenario regime change melalui invasi atau elitisme politik tidak relevan.

4. Perlawanan regional harus asimetris, blokade, gangguan logistik, dan aksi non-konvensional menjadi kunci.

5. Persatuan nasional sebagai instrumen pertahanan terakhir, perang generasi kelima musuh ditargetkan pada domain sosial, bukan militer.

Visi Pasca-Zionis

Menariknya, Imam Ali Khamenei menutup pidatonya dengan visi jangka panjang: “Kami berharap kepada Allah SWT, dengan memberkati gerakan bangsa Iran dan seluruh pejuang kebenaran di dunia, akan mencabut kanker yang mematikan ini dari kawasan.”

Penutup pidato ini bukan terbatas pada retorika religius, melainkan kerangka geopolitik pasca-Zionis, bahwa Timur Tengah yang bebas dari entitas Israel, ditopang oleh jaringan perlawanan transnasional, dan ditata di atas semangat independensi politik serta perlawanan terhadap hegemoni asing. []

Sumber: Khamenei.ir

Baca juga : Kemerdekaan Tanpa Keadilan Sosial adalah Ilusi

Continue Reading