Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Suara Palestina di Tanah Suci yang Diabaikan

Suara Palestina di Tanah Suci yang Diabaikan

Oleh: Muhlisin Turkan

Ahlulbait Indonesia – Ketika gema talbiyah akan kembali memenuhi langit Mekkah, jutaan umat Islam bersiap menunaikan panggilan suci yang hanya datang sekali seumur hidup. Namun, di tengah lautan putih kain ihram, ada satu kehampaan yang menyayat hati: absennya rakyat Gaza. Untuk tahun kedua berturut-turut, warga Palestina di Jalur Gaza tidak dapat berhaji, bukan karena ketidakmampuan, melainkan karena kekejaman. Blokade Zionis yang brutal telah memutus jalan mereka menuju Baitullah.

Namun, dalam keheningan yang menggema itu, satu suara bangkit: slogan resmi misi haji Republik Islam Iran tahun ini berbunyi tegas: “Haji, Perilaku Qurani, Persatuan Islam, dan Dukungan untuk Palestina yang Tertindas.” Ini bukan sekadar kata-kata diplomatik; ini adalah teriakan nurani di tengah kelumpuhan moral dunia Islam.

Iran dan Politik Spiritualitas

Sementara sebagian besar negara Arab larut dalam kompromi dan normalisasi dengan entitas penjajah, Iran memilih menjadikan panggung spiritualitas sebagai medan perlawanan. Di saat slogan haji negara lain dipenuhi narasi kosong tentang “keamanan dan pelayanan“, Iran menjadikan haji sebagai mimbar bagi suara yang dibungkam. Sebuah langkah yang tidak hanya simbolik, tetapi juga strategis, mengingatkan dunia bahwa tidak ada Tauhid sejati tanpa Perlawanan terhadap kedzaliman.

Bagi rakyat Palestina, terutama di Gaza, ini lebih dari sekadar slogan. Ini adalah pengakuan. Di tengah kepungan senjata dan kelaparan, masih ada yang mengingat mereka, membawa suara mereka ke depan Kabah, mengukir penderitaan mereka dalam lantunan doa-doa umat Islam dari berbagai penjuru dunia.

Haji: Ritual dan Perlawanan

Apa arti haji jika umat Islam yang paling tertindas justru dilarang menunaikannya? Bagaimana mungkin kita berbicara tentang persatuan umat, jika penjajah dan penjajahan dibiarkan menjamur di jantung dunia Islam? Haji bukanlah pelarian individual menuju surga, tetapi panggilan kolektif untuk membangun keadilan. Kabah bukan tempat netral; ia adalah pusat perlawanan spiritual terhadap setiap bentuk tirani.

Baca juga : Trump: Singa yang Menjadi Domba dalam 100 Hari

Jika ritual haji dipisahkan dari komitmen terhadap keadilan, maka ia berubah menjadi formalitas tanpa ruh. Setiap talbiyah haruslah disertai kesadaran bahwa di saat kita menyebut “Labbaik Allahumma Labbaik”, ada saudara kita di Gaza yang bahkan tidak bisa mengangkat tangan ke langit karena di kelilingi oleh bom dan rudal.

Saatnya Menyebut yang Diam

Pertanyaannya: di mana suara Arab Saudi, pengelola Tanah Haram? Mengapa mereka tidak memprotes pemblokiran haji bagi warga Gaza? Di mana Mesir yang menjaga perlintasan Rafah? Di mana Qatar, UEA, dan para raja yang mengaku pemimpin umat? Mereka semua terperosok dalam absurditas diplomasi yang lebih sibuk mengurusi jamuan dengan penjajah daripada menyelamatkan sesama Muslim.

Iran telah menunjukkan bahwa solidaritas bukanlah sekadar pidato forum internasional. Solidaritas adalah tindakan: mencetak slogan, menyuarakan penderitaan, dan menjadikan ibadah sebagai alat perjuangan. Tetapi solidaritas simbolik saja tidak cukup. Gaza membutuhkan tekanan konkret: pemutusan hubungan diplomatik, embargo ekonomi terhadap entitas Zionis, dan dukungan militer bagi pejuang perlawanan.

Indonesia: Mau ke Mana?

Indonesia, negara dengan jamaah haji terbesar di dunia, memiliki peluang emas untuk memimpin kebangkitan spiritual-politik ini. Namun hingga kini, suara resmi Indonesia masih lembut, penuh frasa “netral”. Bukankah ini saatnya Indonesia bersuara tegas? Menolak kehadiran delegasi Zionis dalam pertemuan-pertemuan regional, menolak normalisasi terselubung, dan menjadikan haji sebagai ruang ekspresi solidaritas terhadap Gaza? Semoga bukan karena terlalu sibuk dengan slogan “evakuasi kemanusiaan” yang justru melegitimasi proyek kolonial penjajah.

Mengubah Haji Menjadi Doa dan Tindakan

Haji tahun ini mestinya menjadi panggung perlawanan global. Biarkan setiap lambaian tangan saat wukuf di Arafah menjadi isyarat bahwa umat Islam tidak tidur. Menjadikan setiap langkah saat tawaf menjadi langkah menuju kebebasan Al-Quds. Dan menjadikan setiap doa di Multazam menyuarakan satu seruan:”Ya Allah, hancurkan Zionis, bebaskan Palestina, dan satukan hati umat dalam perlawanan.”[]

Baca juga : EDITORIAL: Kemandirian Ekonomi Sebagai Fondasi Kebebasan dan Martabat

Continue Reading