Opini
Trump: Singa yang Menjadi Domba dalam 100 Hari

Oleh: Muhlisin Turkan
Ahlulbait Indonesia – Dalam salah satu edisi terbaru jurnal kebijakan luar negeri paling prestisius di Amerika Serikat, sebuah pengakuan yang nyaris terdengar seperti ratapan keluar dari mulut para penjaga hegemoni: “Trump memulai masa jabatannya sebagai seekor singa, tapi kini ia lebih menyerupai seekor domba.” Begitulah Foreign Policy, melalui artikel Steven Cook dari Council on Foreign Relations, menilai performa Presiden Amerika Serikat, Donald J. Trump, dalam artikel bertajuk “Trump’s First 100 Days on the Global Stage“, terbit 25 April.
Penilaian 100 hari pertama masa jabatan presiden mungkin terdengar seperti tradisi birokratis belaka. Namun, dalam kasus Trump; sosok yang membangun citra sebagai pemecah tatanan lama dan pengacak skema global, evaluasi ini justru mengungkap sesuatu yang lebih dalam: keruntuhan dramatis dari ambisi imperial yang tak terkelola. Janji-janji besar dilontarkan dalam tiga bulan pertama pelantikannya, tetapi yang terjadi justru dekonstruksi terhadap wibawa Amerika sendiri.
Trump, dalam gaya koboi lamanya, sempat memaksa gencatan senjata antara Israel dan Hamas, hasil diplomasi warisan Joe Biden. Namun, begitu topeng retorika dilepas, yang tersisa hanyalah sikap permisif terhadap pembantaian bahwa Gedung Putih di bawah Trump justru menyatakan dukungan eksplisit terhadap dimulainya kembali agresi militer Israel atas Gaza. Inilah realitas “perdamaian” versi Washington. Menanggalkan jubah netralitas demi membungkus peluru dengan label diplomasi.
Baca juga : EDITORIAL: Kemandirian Ekonomi Sebagai Fondasi Kebebasan dan Martabat
Soal Iran, teatrikalitas Trump nyaris tak tertandingi. Retorika keras dilontarkan, mulai dari pembongkaran total program nuklir, penghentian dukungan terhadap “proksi”, hingga pengurangan besar-besaran kekuatan rudal. Tapi semua itu hanyalah teatrikal panggung. Tidak ada satu pun yang benar-benar terlaksana. Pertemuan pertama penasihatnya, Steve Witkoff, dengan Menteri Luar Negeri Iran pun berakhir tanpa hasil. Kini, Trump malah tampak siap menandatangani kesepakatan baru yang sangat mirip dengan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) yang dulu ia robek-robek pada 2018. Mungkin kali ini akan diganti nama menjadi “Rencana Aksi Komprehensif Trump”, dan dipasarkan sebagai pencapaian terbesar pengendalian senjata dalam sejarah. Ironis? Lebih tepatnya: pengulangan sejarah dalam bentuk parodi.
Memang, tidak adil menuntut pencapaian besar dalam 100 hari. Tapi masalahnya, Trump bukan hanya gagal mencapainya, ia dengan sadar memilih jalan yang justru menegaskan kemunduran, melempar janji, memecah belah Timur Tengah, dan menghancurkan lembaga-lembaga. Dengan kata lain, jika Roosevelt di tahun 1933 menggunakan 100 harinya untuk menyelamatkan ekonomi dan membangun institusi, maka Trump menggunakan 100 harinya untuk menginjak-injak kredibilitas, merusak stabilitas, dan mempermalukan negaranya sendiri.
Laporan Foreign Policy yang lain mencatat: Trump dan timnya telah meluncurkan kebijakan-kebijakan yang bahkan membuat pengamat veteran geleng-geleng kepala, mulai dari birokrasi federal yang dipreteli demi “Departemen Produktivitas” ala Elon Musk, hingga perang dagang yang diwarnai tarif brutal terhadap hampir seluruh mitra dagang AS. Hasilnya: kekacauan, keraguan, dan ambruknya kepercayaan internasional terhadap kepemimpinan ekonomi Amerika.
Narasi “America First” yang digadang-gadang Trump nyatanya telah mengarah pada isolasi, bukan supremasi. Tarif-tarif yang awalnya disebut ancaman, kini menjadi bumerang memalukan. Pasar terguncang, mitra menjauh, dan dunia mulai mempersiapkan diri untuk era pasca-hegemoni AS.
Trump mungkin memulai masa jabatannya sebagai singa; mengaum keras, menakutkan, dan haus dominasi. Tapi kini, dalam kurun waktu hanya 100 hari, dunia melihat dengan jelas bahwa yang tersisa hanyalah seekor domba yang tersesat, kehilangan arah di tengah reruntuhan kebijakan luar negeri yang ia bangun sendiri.[]
Baca juga : Sampul The Economist: Elang yang Terluka, Imperium Menuju Senjakala