Ikuti Kami Di Medsos

Info ABI

Bendera Ahlulbait Indonesia Berkibar Gagah di Benua Etam

Bendera Ahlulbait Indonesia Berkibar Gagah di Benua Etam

Ahlulbait Indonesia – Udara masih berbau tanah basah ketika langkah kaki melintasi Jalan Harva di kawasan Prevab Segiri pada pagi itu. Jejak-jejak banjir masih tampak jelas: genangan kecil di lubang-lubang jalan, noda kecokelatan pada dinding pagar, dan rumput-rumput yang masih tertunduk lemas. Namun, hari ini berbeda. Langit Samarinda yang seminggu terakhir tertutup awan kelabu tiba-tiba membentangkan kain birunya yang paling jernih. Matahari tidak menyengat, hanya memeluk hangat punggung negeri yang lelah diguyur hujan.

Angin datang pelan, namun cukup kuat untuk mengusik daun-daun trembesi dan menggerakkan deretan bendera kecil di pagar Gedung Guru Samarinda. Bendera-bendera itu berayun-ayun dalam komposisi merah-putih-hijau, seperti kode rahasia yang baru saja terpecahkan. Setiap helainya seolah berbisik: Ada sesuatu yang sedang terjadi di sini.

Langkah kaki terhenti sejenak untuk memperhatikan lebih saksama. Terlihat jelas bendera-bendera dengan warna dan pola yang tak lazim: dua garis merah mengapit putih di tengah, dengan logo khas berwarna hijau bertuliskan “ABI“, dalam  sketsa indah. Bendera ini bukanlah pemandangan sehari-hari. Namun hari ini, di bawah langit Jumat yang terang pada 30 Mei 2025, deretan bendera itu berkibar dengan semangat yang hampir terdengar.

Di dalam gedung, suara percakapan berbaur dengan gemerisik kertas dan dering sesekali telepon. Ruang utama telah ditata rapi dengan kursi berjajar dan panggung berspanduk besar bertuliskan: “Optimalisasi Peran Ormas Islam dalam Pembinaan Umat, Penguatan Ukhuwah, dan Kontribusi Aktif dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.” Di sudut ruangan, meja panjang dipenuhi buku dan brosur. Aroma kopi mengepul dari termos-termos di belakang.

Baca juga : DPP ABI Luncurkan Jurnal Pemberdayaan Ekonomi Iqtishaduna

Seorang lelaki bersahaja memasuki ruangan. Ustadz Zahir Yahya, Ketua Umum ABI, baru saja tiba dari Jakarta. Wajahnya memancarkan ketenangan, namun matanya tajam, seperti seseorang yang terbiasa membaca hal-hal yang tak terucap. Beberapa orang bergegas menyambut, berjabat tangan, berbicara dengan suara rendah penuh hormat.

Di depan, mikrofon telah siap. Staf Ahli Gubernur Bidang Tiga, Arif Murdiyanto, berdiri untuk membacakan sambutan tertulis H. Rudi Mas’ud. Suaranya jelas dan terukur: “Kami mengapresiasi peran ABI dalam membangun ukhuwah dan kontribusi nyata bagi Kalimantan Timur…” Kalimat-kalimat resmi itu mengambang di udara, namun di bawahnya mengalir sesuatu yang lebih hangat, sebuah pengakuan dan harapan.

Di luar, bendera-bendera khas itu masih menari. Angin membelai mereka dengan lembut, memainkan sinar matahari yang menembus kain-kain tipis tersebut. Seorang anak kecil berhenti di trotoar, menunjuk ke atas. “Bendera apa itu, Yah?” tanyanya. Ayahnya tersenyum sambil menjawab sesuatu yang tak terdengar.

Hari ini, Samarinda tidak hanya cerah. Samarinda sedang menyaksikan sebuah bab kecil dari sejarah yang terus ditulis, tentang bagaimana sebuah komunitas hadir bukan dengan teriakan, melainkan dengan kerja nyata; bukan dengan klaim, melainkan dengan bukti. Dan bendera-bendera itu merah, putih, hijau, adalah saksi bisu yang akan terus berkibar jauh setelah acara usai, setelah para peserta pulang, setelah hujan berikutnya datang lagi. []

Laporan Alamsyah Manu dari Samarinda

Baca juga : Menempatkan ABI Secara Proporsional: Otoritas Lokal dalam Bingkai Kedaulatan NKRI