Ikuti Kami Di Medsos

Internasional

Energi sebagai Medan Tempur: Titik Rawan dan Strategi Balasan Iran terhadap Israel

Energi sebagai Medan Tempur: Titik Rawan dan Strategi Balasan Iran terhadap Israel

Ahlulbait Indonesia — Iran, melalui serangan presisi terhadap infrastruktur energi rezim Zionis, mengirimkan pesan strategis yang jelas, ketergantungan Israel yang sangat tinggi terhadap impor minyak dan gas merupakan titik lemah vital yang mudah disasar. Jika aliran energi ini terputus, maka infrastruktur ekonomi dan industri Israel berpotensi lumpuh dalam waktu singkat.

Menurut laporan Farnews Agency pada Rabu, 18 Juni 2025, dalam merespons agresi militer Israel terhadap fasilitas ekonomi dan infrastruktur strategis Iran, Teheran meluncurkan operasi balasan dengan menargetkan aset-aset ekonomi utama Israel, salah satunya adalah kilang minyak Haifa, fasilitas penyulingan terbesar milik rezim Zionis yang terletak di utara wilayah pendudukan.

Langkah strategis Iran dalam melumpuhkan kilang Haifa tidak hanya merupakan balasan atas agresi militer, tetapi juga memperlihatkan secara gamblang kerentanan sektor energi Israel. Kilang Haifa, yang berada di bawah Grup Bazan, memiliki kapasitas penyulingan sekitar 197.000 barel minyak mentah per hari (sekitar 9,8 juta ton per tahun). Sekitar 70% produk kilang ini digunakan di pasar domestik, sementara sisanya diekspor ke negara-negara di kawasan timur Mediterania.

Keberhasilan Iran dalam menonaktifkan kilang tersebut menunjukkan bahwa fasilitas vital lainnya, termasuk jalur impor minyak dan gas, juga berada dalam posisi rentan dan mudah dilumpuhkan.

Gambaran Umum Ketergantungan Energi Israel

Berdasarkan data 2023, Israel, dengan populasi sekitar 9,8 juta jiwa dan luas wilayah 22.100 km² (hanya 1,3% dari luas wilayah Iran), memiliki cadangan minyak mentah sekitar 14 juta barel (0,11% dari cadangan Iran) dan cadangan gas alam sebesar 1.087 miliar meter kubik (peringkat ke-45 dunia).

Meskipun cadangannya terbatas, Israel sangat bergantung pada gas dan minyak untuk memenuhi kebutuhan energinya. Lebih dari 80% bauran energi Israel berasal dari gas alam (44%) dan minyak (38%). Sejak 2020, gas alam secara resmi menggantikan batu bara dan minyak sebagai sumber utama energi listrik.

Sumber Energi dan Produksi Gas Alam

Antara 2013 hingga 2022, sektor gas Israel mengalami transformasi signifikan. Produksi gas dari ladang Leviathan, Tamar, dan Karish meningkat lebih dari lima kali lipat, menjadikan Israel dari importir menjadi eksportir gas.

Pada 2023, produksi gas alam Israel mencapai 24,2 miliar meter kubik (sekitar 66,3 juta meter kubik per hari), dengan konsumsi domestik sebesar 12,6 miliar meter kubik (sekitar 34,5 juta meter kubik per hari). Artinya, Israel memiliki surplus gas.

Sekitar 53% gas berasal dari ladang Leviathan dan 44% dari ladang Tamar. Sebagian kecil gas sebelumnya diimpor dari Mesir melalui pipa Arish–Ashkelon, namun kini sebagian besar gas Israel diekspor kembali ke Mesir (70%) dan Yordania (30%). Penggunaan gas alam untuk pembangkit listrik terus meningkat, dengan proyeksi pertumbuhan tahunan mencapai 17%.

Baca juga : Dubes Iran di Jakarta Kutuk Agresi Israel: “Kami Akan Membela Diri dengan Kekuatan Penuh”

Investasi dan Dampak Ekonomi Gas

Investasi di sektor gas Israel didominasi sektor swasta. Selama satu dekade terakhir, sekitar 50 miliar shekel (sekitar USD 11 miliar) telah dikucurkan oleh perusahaan seperti INGL. Pemerintah hanya menyumbang sekitar 0,23 miliar shekel (USD 70 juta).

Penggunaan gas alam memberikan dampak ekonomi signifikan:

1. Penghematan sebesar 316 miliar shekel (USD 85 miliar)

2. Penurunan pengeluaran rumah tangga sebesar 120.500 shekel (USD 32.000) dalam 10 tahun terakhir

3. Efisiensi biaya listrik dan industri masing-masing sebesar 126 dan 190 miliar shekel

4. Penurunan pencemaran udara serta penghapusan bahan bakar berpolusi seperti batu bara

Harga gas di Israel tergolong rendah dan stabil, yaitu USD 5,3 per MMBTU (sekitar USD 0,19/m³), jauh di bawah rata-rata harga gas di Eropa (USD 10,8 per MMBTU).

Produksi dan Harga Listrik

Antara tahun 2000 hingga 2014, lebih dari 70% listrik Israel dihasilkan dari batu bara dan minyak. Namun, sejak 2015, pembangkit listrik berbasis gas alam mendominasi dan kini menyumbang lebih dari 70% produksi listrik.

Harga listrik rata-rata untuk warga Israel adalah USD 0,15 per kWh, hampir setengah dari rata-rata di Eropa (USD 0,27). Sejak 2015, tarif listrik di Israel justru turun 11%, sementara di Eropa meningkat sekitar 40%.

Ketergantungan pada Impor Minyak

Israel nyaris tidak memiliki produksi minyak domestik dan mengimpor sekitar 250.000 barel per hari. Impor ini berasal dari:

1. Azerbaijan melalui Pelabuhan Ceyhan (Turki)

2. Kazakhstan melalui Pelabuhan Novorossiysk (Rusia)

3. Sebagian dari Irak (dahulu)

4. Sumber lain: Mesir, Nigeria, Gabon, Brasil, dan Amerika Serikat

Minyak ini kemudian diproses di dua kilang utama, yaitu Haifa dan Ashkelon.

Pada 2022, sektor transportasi menyumbang konsumsi energi terbesar (39%), yang sepenuhnya bergantung pada produk minyak. Sektor rumah tangga menyusul dengan 34%, dan industri sebesar 16%.

Risiko Strategis Energi Israel

Total sekitar 90% kebutuhan energi Israel dipenuhi dari minyak dan gas alam. Ketergantungan ini menciptakan risiko besar saat terjadi krisis atau konflik regional.

Komposisi konsumsi energi Israel: 55% dari produk minyak, 37% dari gas alam, dan sekitar 34% melalui listrik (yang sebagian besar juga berasal dari gas).

Transportasi Israel sepenuhnya bergantung pada minyak, sedangkan listrik didominasi oleh gas. Pola konsumsi ini menjadikan Israel sangat rentan terhadap gangguan pasokan bahan bakar fosil.

Israel mengandalkan enam titik utama energi:

1. Dua ladang gas: Leviathan dan Tamar

2. Dua kilang minyak: Haifa dan Ashkelon

3. Dua terminal minyak

Jika enam titik ini diserang, sistem energi Israel akan lumpuh total. Ketiadaan diversifikasi, kurangnya infrastruktur cadangan, serta konsentrasi tinggi fasilitas energi meningkatkan kerentanan strategis rezim tersebut.

Baca juga : Prof. Hikmahanto: Serangan Israel ke Iran Melanggar Piagam PBB

Prospek dan Ancaman

Menghadapi ketegangan regional yang kronis, Israel membutuhkan diversifikasi sumber energi, pengurangan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, dan diplomasi energi yang lebih kuat. Namun, serangan besar seperti “Badai Al-Aqsa” dan konflik berkelanjutan dengan Iran telah secara langsung mengancam kapasitas ekspansi sektor energi Israel.

Serangan rudal Iran yang berkelanjutan serta potensi pemutusan jalur impor minyak dan gas, menurut analisis resmi, dapat segera melumpuhkan infrastruktur energi Israel. Sekitar 90% konsumsi energi Israel tergantung pada bahan bakar fosil impor dari jalur terbatas seperti Pelabuhan Ceyhan dan Novorossiysk.

Menurut Dr. Shaul Cohen, mantan profesor geopolitik energi di Universitas Ibrani Yerusalem, “Israel sedang berjalan di atas tali yang rapuh dalam hal pasokan minyak. Gangguan pada satu saja jalur utama akan melumpuhkan sistem distribusi bahan bakar untuk militer dan transportasi umum hanya dalam hitungan hari.

Lebih lanjut, karena 100% sektor transportasi bergantung pada minyak dan hanya ada dua lokasi kilang (Haifa dan Ashkelon), serangan yang tepat sasaran dapat menyebabkan krisis multifaset, listrik, transportasi, hingga industri secara bersamaan.

Saat ini, ekspor gas Israel telah dihentikan. Tahap berikutnya yang paling mungkin adalah terputusnya pasokan impor minyak dan gas. Israel juga tidak memiliki cadangan energi strategis dalam jumlah memadai. Menurut sejumlah analis regional, Israel hanya mampu bertahan selama beberapa minggu dengan cadangan saat ini, dan itu pun jika serangan berhenti.

Namun, apabila serangan Iran terus berlangsung dan menyasar titik vital secara sistematis, pemutusan impor tidak bisa dihindari. Apalagi, ekspor gas ke Mesir dan Yordania telah dihentikan karena penutupan ladang gas akibat ancaman serangan, yang pada akhirnya turut menggerus pendapatan energi Israel.

Dengan tingkat konsentrasi fasilitas energi yang sangat tinggi, serta jalur pasokan yang sedikit dan terbatas, Israel secara strategis dapat diibaratkan sebagai “pulau energi yang rentan.” Jika aliran energi dapat dihentikan oleh Iran atau sekutu regionalnya, kelumpuhan total pada sektor ekonomi dan infrastruktur vital Israel bukan hanya kemungkinan, tapi menjadi skenario yang dapat diprediksi.[]

Sumber: Farsnews Agency 18 Juni 2025, dengan judul “Mushak-haye Irani ba zir-sakht-e enerzhi-e Esrail che kard?

Baca juga : Indonesia Kutuk Keras Serangan Israel ke Iran