Ikuti Kami Di Medsos

Internasional

Gaza dan Kekalahan Strategis Israel: Ketika Senjata Tak Lagi Menentukan Kemenangan

Gaza dan Kekalahan Strategis Israel: Ketika Senjata Tak Lagi Menentukan Kemenangan

Ahlulbait Indonesia — Dua tahun agresi militer yang dilancarkan Israel atas Gaza berakhir dengan paradoks: pihak yang selama ini berusaha dihancurkan justru menjadi mitra perundingan. Rezim Zionis dan Amerika Serikat kini duduk satu meja dengan Hamas, kelompok yang mereka cap sebagai “teroris.” Ironi ini bukan semata babak baru dalam konflik berkepanjangan, melainkan tanda kegagalan paradigma militerisme yang selama puluhan tahun mendikte politik regional.

Kesepakatan gencatan senjata di Sharm el-Sheikh, yang disepakati Kamis lalu (9/10), menandai titik balik dalam dinamika kekuasaan Timur Tengah. Di atas kertas, perjanjian itu tampak teknis: pertukaran tahanan, penarikan sebagian pasukan Israel, dan pembukaan akses bantuan kemanusiaan. Namun secara politik, ini adalah pengakuan bahwa Israel, dengan seluruh kekuatan militer dan dukungan globalnya gagal mencapai tujuannya.

Hamas: Dari Target Militer ke Subjek Politik

Bagi Hamas, hasil ini lebih dari sebatas penghentian perang. Ini adalah kemenangan moral dan strategis. Setelah dua tahun dihujani bom, rakyat Gaza tetap berdiri dan menegosiasikan haknya sendiri. Hamas kini bukan lagi aktor bawah tanah, tetapi pemain sah di meja diplomasi internasional.

Seperti diakui para analis Israel sendiri, gencatan senjata ini menciptakan “pagi yang memalukan.” Bukan karena Israel kehilangan wilayah, melainkan karena kehilangan narasi, narasi keunggulan, kekuatan, dan kendali. Negara yang konon tak pernah kalah perang kini harus menukar tahanannya dengan ribuan warga Palestina yang selama ini mereka penjarakan tanpa proses hukum adil.

Israel memenangkan pertempuran udara, tapi kehilangan legitimasi di bumi. Israel hanya mampu menghancurkan bangunan, tapi gagal menghancurkan keyakinan.

Krisis Narasi dan Kegagalan Strategi

Reaksi internal Israel memperlihatkan kebingungan moral dan politik. Para menteri kabinet sendiri menyebut perjanjian itu sebagai “penyerahan diri terhadap Hamas.” Sementara media arus utama seperti Yedioth Ahronoth dan Israel Hayom seperti dilansir oleh Kayhan pada Sabtu (11/10), menyoroti kegagalan intelijen, kesalahan perhitungan strategi, dan absennya visi pascaperang.

Netanyahu, yang selama dua tahun menolak kompromi, kini beralasan “tidak memiliki pilihan lain.” Kalimat itu mungkin menjadi penutup bab panjang ilusi militer Israel, bahwa kekuatan senjata dapat menggantikan politik, dan bahwa pendudukan dapat dibenarkan atas nama keamanan.

Baca juga : Ali Larijani: Hizbullah, Benteng Perlawanan yang Menjadi Simbol Kekuatan Dunia Islam

Dimensi Regional: Lahirnya Poros Ketahanan

Hamas tidak berdiri sendiri. Dukungan terbuka dari Iran, Lebanon, Irak, dan Yaman menunjukkan bahwa Gaza kini menjadi simbol solidaritas regional. Poros perlawanan yang dulu dianggap terpecah kini menemukan pusat gravitasinya di Jalur Gaza, sebuah wilayah kecil yang telah menjadi laboratorium daya tahan politik dan spiritual dunia Islam.

Keberhasilan bertahan selama dua tahun di bawah blokade total bukan hanya pencapaian militer, melainkan bukti bahwa kekuatan moral dapat menandingi kekuatan teknologi. Bagi dunia Muslim, kemenangan ini mengembalikan keyakinan bahwa kesetiaan pada prinsip dan keteguhan rakyat dapat menandingi dominasi imperial modern.

Perdamaian yang Tertunda, Bukan Dicapai

Seperti dikatakan Dr. Yara Hawari dari Universitas Exeter, “Ini bukan perdamaian; ini penangguhan.” Gencatan senjata ini memang menghentikan peluru, tapi tidak menghentikan penindasan. Israel memiliki sejarah panjang melanggar perjanjian seperti ini, dan Netanyahu sendiri secara terbuka berjanji bahwa pasukannya “tidak akan mundur dari Gaza.”

Karena itu, kemenangan Gaza tidak terletak pada isi perjanjian, melainkan pada simbolisme, bahwa dunia akhirnya melihat ketimpangan yang selama ini ditutupi bahasa diplomasi. Israel mungkin masih memegang senjata, tetapi Palestina kini memegang narasi dan dalam dunia modern, narasi adalah bentuk kekuasaan tertinggi.

Pergeseran Paradigma Kekuasaan

Yang terjadi di Gaza bukan semata babak baru perang lama, tetapi titik balik sejarah. Untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, kekuatan militer terbesar di kawasan dipaksa mengakui batas dirinya. Kemenangan Palestina bukan kemenangan teritorial, melainkan kemenangan moral yang mengguncang fondasi politik regional dan global.

Gaza telah membuktikan bahwa kemenangan bukan selalu soal menaklukkan, tapi tentang bertahan. Bahwa kemerdekaan tidak selalu dimulai dari kekuatan, tapi dari keyakinan.
Dan bahwa dalam dunia yang dikuasai oleh senjata, keberanian rakyat yang tak menyerah masih mampu menulis ulang peta kekuasaan. [MT]

Sumber: https://kayhan.ir/001LEe

Baca juga : Sayyid Abdul Malik Puji Perlawanan Gaza, Kecam AS dan Rezim Arab