Internasional
Semangat Karbala Membuatku Bertahan

“Ketika Rudal Mengguncang Tehran, Seorang Penyiar Berita Menolak Mundur”
Ahlulbait Indonesia — Suara dentuman pertama terdengar seperti sabda kematian yang jatuh dari langit, meretakkan kaca jendela dan mengguncang jantung kota. Di dalam studio siaran IRIB di Tehran, suasana beku oleh ketegangan. Namun, di tengah gejolak itu, Sahar Emami tetap duduk tegak, suaranya tidak bergetar, tatapannya tidak goyah.
Lampu merah kecil di atas kamera masih menyala. Siaran masih berlangsung. Dunia menyaksikan. Dan dia seorang penyiar, seorang wanita, seorang penjaga nadi informasi bangsa tidak bergeming.
Hari itu, ketika rudal-rudal rezim Zionis menghantam ibukota Iran, Sahar sedang membacakan siaran langsung. Dia bukan penyiar yang dilatih untuk berbicara di tengah perang. Dia tidak dibentuk oleh protokol militer, melainkan oleh keheningan di ruang berita dan cerita-cerita perjuangan yang ditanamkan sejak kecil.
“Ketika lampu merah menyala,” ucapnya, “aku merasa seolah ada kekuatan yang lebih besar yang mengambil alih suaraku.”
Di balik kaca ruang kontrol, manajer sudah memberi sinyal, bahwa semua orang bebas meninggalkan gedung. Tidak ada paksaan. Tidak ada pidato heroik. Hanya pilihan pribadi untuk bertahan atau pergi. Sebuah keputusan yang harus diambil dalam hitungan detik.
Karbala dalam Ingatan, Bukan Hanya dalam Kitab
Dalam keheningan yang menegangkan itu, ingatan Sahar melompat jauh ke masa kecil. Dia teringat pada malam Tasua, saat Imam Husain memberi izin pada para sahabatnya untuk meninggalkan medan Karbala. Tidak ada yang pergi. Tidak satu pun dari mereka yang memilih keselamatan di atas kesetiaan.
Baca juga : Inspektur IAEA Tinggalkan Iran: Awal Babak Baru Kedaulatan Nuklir Iran
“Cerita itu seperti membisik di telingaku,” katanya. “Dan aku tahu, saat itu juga, aku tidak akan berdiri untuk melarikan diri.”
Baginya, membacakan berita di tengah serangan bukan sekadar tugas jurnalistik. Itu adalah bentuk perlawanan, sebuah deklarasi bahwa ketakutan tidak akan menguasai gelombang informasi. Setiap ledakan yang menggema di kejauhan bukan membuatnya gemetar, tapi justru mempertebal keberaniannya.
“Aku tidak ingin para pemirsa panik,” tuturnya. “Jika suara kami goyah, maka bangsa ini kehilangan jangkar di tengah badai.”
Menjadi Pejuang di Medan Sunyi
Sahar Emami tidak memegang senjata. Dia tidak berlindung di bunker atau mengenakan rompi anti-peluru. Tapi di dalam ruang siar kecil yang disinari lampu studio dan ditemani gemuruh ledakan, dia berdiri sebagai prajurit media, dalam makna paling utuhnya. Dia menjadi wajah ketabahan, suara yang menolak bisu, simbol bahwa jurnalisme bukan sekadar profesi, tetapi posisi perlawanan.
Keberanian Sahar tidak meluap dalam orasi atau semboyan. Dia sunyi, namun kokoh. Sama seperti keberanian Sayyidah Zainab saudarinya Imam Husain, yang berdiri di hadapan Yazid tanpa senjata, namun dengan lisan yang mengguncang istana tirani.
Cerita Sahar Emami menyebar. Bukan karena sensasi, tetapi karena manusia selalu mencari cahaya kecil di tengah kegelapan. Dan pada hari itu, dalam suara yang terus mengalun meski dentuman belum berhenti, orang-orang mendengar lebih dari sekadar berita. Mereka mendengar keberanian. []
Diolah dari sumber: Press TV
Baca juga : Penerbangan Maskapai Arab ke Iran Kembali Dilanjutkan: Langit Kawasan Kembali Terbuka