Ikuti Kami Di Medsos

Internasional

Sheikh Naim Qassim: Mempertahankan Tanah Air Tidak Butuh Izin

Sheikh Naim Qassim: Mempertahankan Tanah Air Tidak Butuh Izin

Ahlulbait Indonesia — Dilansir dari Kantor Berita Tasnimnews pada Sabtu (5/7), dalam suasana duka Muharram, saat umat mengenang keberanian dan pengorbanan Imam Husain (as), Sekretaris Jenderal Hizbullah Lebanon, Sheikh Naim Qassim, menyampaikan pidato yang sarat makna dan ketegasan. Dalam pernyataan tersebut, beliau dengan lantang menegaskan: “Mempertahankan tanah air tidak memerlukan izin.”

Pernyataan ini bukan sekadar reaksi terhadap tekanan politik yang menuntut perlucutan senjata Hizbullah. Ini adalah deklarasi prinsipil yang mencerminkan kesadaran historis dan ideologis bahwa pembelaan atas tanah air bukan hak yang diberikan, tetapi kewajiban yang melekat secara moral dan spiritual.

“Kepada mereka yang meminta perlawanan untuk menyerahkan senjatanya,” tegas Sheikh Naim, “Mintalah para agresor untuk pergi, bukan kami yang merupakan pembela tanah ini.”

Kami Tidak Akan Menyerah

Pidato ini muncul di tengah meningkatnya tekanan regional dan internasional terhadap Hizbullah untuk melepaskan senjatanya, di bawah dalih stabilitas atau integrasi nasional. Namun, Sheikh Naeem Qassem menolak premis itu secara menyeluruh.

“Jika ada yang siap menyerah, itu pilihan mereka. Tetapi kami tidak akan menyerah. Slogan kami adalah: Kami tidak akan dipermalukan.”

Pernyataan ini mencerminkan kesinambungan sejarah dari medan Karbala hingga Lebanon Selatan. Sama seperti Husain bin Ali yang menolak tunduk kepada tirani Yazid, Hizbullah menegaskan posisinya untuk tidak menyerah kepada proyek hegemoni modern yang diwakili oleh pendudukan Zionis.

Perlawanan Adalah Legitimasi

Sheikh Naim Qassim juga mengkritik keras logika terbalik yang kerap diulang oleh para penjilat penjajah, bahwa senjata perlawanan adalah sumber ketidakstabilan.

“Apakah masuk akal untuk tidak pernah mengutuk agresi musuh dan selalu memberi tahu orang dalam; ‘Pertama, letakkan senjata Anda’?”

Di sini Hizbullah menempatkan dirinya sebagai aktor rasional yang konsisten dalam satu garis etik, bahwa perlawanan adalah respons atas pendudukan, bukan penyebabnya. Dan justru mereka yang mengabaikan agresi penjajahlah yang menjadi bagian dari masalah.

Baca juga : Semangat Karbala Membuatku Bertahan

Kepada Mereka yang Mengaku Punya Alternatif

Dalam satu bagian penting, Sheikh Naim Qassim membuka ruang diskusi, namun tetap dengan satu syarat, yaitu kredibilitas.

“Jika ada alternatif nyata untuk pertahanan ini, kami siap membahas semua rincian dengan mereka yang mengklaim mampu melakukan pertahanan ini.”

Pernyataan ini menunjukkan bahwa Hizbullah bukan kelompok dogmatis yang menutup diri, tetapi memiliki rasionalitas strategis. Namun syaratnya jelas, bukan dengan membubarkan kekuatan perlawanan tanpa jaminan, melainkan dengan menunjukkan mekanisme pertahanan yang nyata dan efektif terhadap ancaman eksistensial.

Penjajah Harus Pergi

Sheikh Naim mengakhiri pernyataannya dengan menegaskan sasaran strategis perlawanan.

“Penjajah saat ini adalah Israel, dan mereka harus meninggalkan tanah kami. Perlawanan adalah satu-satunya cara untuk menghadapi pendudukan ini.”

Dalam satu kalimat ini, beliau mengkristalkan prinsip dasar perlawanan, bahwa setiap proses politik, diplomasi, atau integrasi nasional, tidak bisa mengaburkan fakta utama, bahwa Palestina dan Lebanon selatan masih berada dalam bayang-bayang proyek kolonial Zionis. Dan selama itu berlangsung, perlawanan bukan hanya hak, tetapi kewajiban.

Di tengah sorotan dunia dan tekanan media global yang dikendalikan oleh narasi hegemoni, suara Sheikh Naim Qassim adalah pengingat bahwa di bawah reruntuhan kota, embargo ekonomi, dan perang psikologis, masih ada suara jernih yang memegang prinsip.

Dan prinsip itu sederhana, tanah air tak bisa dipertahankan dengan logika kompromi, tetapi dengan semangat Karbala dan Asyura. []

Baca juga : Inspektur IAEA Tinggalkan Iran: Awal Babak Baru Kedaulatan Nuklir Iran