Kepemimpinan Imam Ali as dan Sebelas Keturunannya [4/6]
Sebelumnya Urgensi Eksistensi Seorang Imam [3/6]
Berkenaan dengan masalah imâmah, Alquran tidak menyebutkan sebuah nama pun menyangkut dengan siapa yang berhak menjadi seorang Imam. Mungkin hal ini adalah salah satu metode Allah SWT untuk menjaga Alquran dari tahrîf, atau ada hikmah-hikmah lain yang masih terselubung. Walaupun demikian, Alquran telah menjelaskan secara global mengenai imâmah Ali as dan putra-putra beliau dalam beberapa ayat. Dan hal ini telah dijelaskan oleh Rasul sendiri secara gamblang, sehingga tidak ada kesamaran lagi bagi setiap pencari hakikat dan kebenaran.
Di dalam Alquran banyak terdapat ayat-ayat yang menjelaskan kelayakan Imam Ali as sebagai seorang imam. Allamah Al-Hillî dalam kitab Nahjul Haqq wa Kasyf Ash-Shidq menyatakan, ada sekitar 88 ayat yang menetapkan imâmah Imam Ali as. Ayat-ayat tersebut, berlandaskan hadis-hadis yang termuat dalam kitab-kitab standar Ahlussunnah yang menggambarkan dimensi-dimensi keagungan pribadi Ali dan imâmah beliau.
Begitu juga Qâdhî Said Al-Mar’asyi dalam menyebutkan sekitar 94 ayat lain yang menetapkan wilâyahImam Ali as dengan berdasarkan 37 kitab standar Ahlussunnah.
Di sini kami hanya ingin membawakan dan membahas satu ayat Alquran yang merupakan penjelas imâmah Imam Ali as.
Ayat Wilâyah
“Sesungguhnya wali kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat dalam keadan ruku’”. (Al-Mâ`idah : 55).
Berdasarkan hadis-hadis yang dinukil baik oleh kalangan ulama Syiah maupun Ahlussunnah, ayat ini turun berkenaan dengan Imam Ali as, dan sesuai dengan kajian para ahli tafsir dan hadis dari kalangan Syiah serta pengakuan sekelompok ulama Ahlussunnah yang tidak sedikit, orang yang menyedekahkan cincinnya kepada si faqir dalam keadaan shalat (waktu ruku’) itu adalah pribadi agung Ali as.
Allamah Mar’asyi dalam kitab-Nya Ihqâqul Haqq berpendapat bahwa ada sekitar 85 kitab hadis dan tafsir Ahlussunnah yang menegaskan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan Imam Ali as.
Dengan riwayat-riwayat ini, jelas bahwa yang dinginkan dari kata jamak pada ayat di atas adalah kata tunggal dan itu adalah Imam Ali as. Akan tetapi, yang perlu dicermati di sini adalah apa arti sebenarnya dari kata wali yang terdapat dalam ayat ini.
Arti Wali
Kata-kata wali, wilâyah, walâ`, maulâ, dan awlâ, berasal dari akar kata yang sama, yaitu walâ`. Kata ini sangat banyak digunakan oleh Alquran; 124 kali dalam bentuk kata benda dan sekitar 112 kali dipakai dalam bentuk kata kerja.
Seperti yang termuat dalam kitab Mufradâtul Quran, karya Ar-Râghib Al-Isfahani dan kitab Maqâyisul Lughah, karya Ibn Faris, arti asli dari kata ini adalah kedekatan dua benda, yang seakan-akan tak berjarak antara keduanya sama sekali. Maksudnya, jika dua sesuatu sudah sangat berdekatan, sangatlah mustahil jika dibayangkan ada sesuatu ketiga. Jika kita berkata, “walia zaidun ‘Amron”, artinya zaid di sisi Amr.
Kata ini juga bermakna teman, penolong, dan penanggung jawab. Dengan kata lain, pada semua arti tadi terdapat semacam kedekatan dan hubungan serta interaksi, dan untuk menentukan arti yang dinginkan (pembicara), dibutuhkan tanda-tanda dan kecermatan untuk memahami konteks kalimatnya.
Dengan memperhatikan poin-poin yang kita sebutkan tadi, kita dapat memahami bahwa maksud dari ayat di atas adalah hanya Tuhan, Rasul, dan Ali as sajalah yang memiliki kedekatan spesial dengan kaum muslim.
Jelas bahwa arti dekat di sini berkonotasi spiritual (metafisik), bukan material. Konsekuensi kedekatan ini adalah wali (pemimpin) dapat mengganti semua hal yang dapat digantikan dari mawallâ alaih (yang dipimpin). Atas dasar ini, segala tindakan yang dilakukan oleh seorang muslim yang dapat diganti, walimampu melakukannya. Dengan pengertian semacam ini, wali dapat diartikan sebagai penanggung jawab dan pemilik ikhtiar.
Dari satu sisi, Tuhan adalah wali seluruh hamba dalam urusan duniawi dan akhirat mereka. Dan Ia adalah wali mukminin dalam urusan agama dan menyeru mereka kepada kebahagiaan dan kesempurnaan. Rasulullah dengan izin Tuhan adalah wali bagi mukminin. wilayah Imam Ali as yang dijelaskan dalam ayat ini juga bermaksud sama seperti arti di atas. Konsekuensinya, beliau mampu menginterfensi masalah dan urusan muslimin, dan beliau mendapatkan prioritas dalam jiwa, harta, kehormatan, dan agama manusia.
Taqwil Ahlussunnah
Mayoritas ulama Ahlussunnah mengakui bahwa sebab turunnya berhubungan dengan Imam Ali as. Bahkan az-Zamakhsyari ketika menjawab pertanyaan mengapa berbentuk jamak, bukankah ayat ini turun berkenaan dengan satu orang saja berkata, “Hal ini supaya manusia mengamalkannya (bersedekah dalam keadaaan ruku’), dan mengindikasikan bahwa pribadi Mukmin harus berbuat seperti yang demikian.”
Fakhrurrazi dalam tafsirnya juga mengatakan, “Ayat ini turun berkaitan dengan Ali as, dan sudah menjadi kesepakatan para ulama bahwa bersedekah dalam keadaan shalat (waktu ruku’) tidak pernah dilakukan kecuali oleh seorang pribadi agung Ali as.”
As-Suyuthi dalam ad-Durur Manstûr-Nya membawakan beberapa riwayat yang menyatakan bahwa sebab turunya ayat ini adalah Ali as.
Poin terpenting dan mendasar yang digunakan Ahlussunnah untuk menjustifikasi ayat ini adalah bahwa maksud dari wali dalam ayat ini adalah teman, bukan penanggung jawab dan pemilik ikhtiar. Akan tetapi, sebagaimana telah dijelaskan pada pembukaan pembahasan ini, arti semacam ini (teman) tidak dibenarkan dengan adanya hashr berupa innamâ. Karena mengartikan wali sebagai teman, akan muncul konsekuensi pelarangan untuk bersahabat dan berteman dengan selain Allah, Rasul, dan Ali as.
Bersambung…