Nasional
Gelar Dialog: Ketua Parlemen Iran Temui Ulama dan Cendekiawan di ICC Jakarta

Jakarta, 15 Mei 2025 — Ketua Parlemen Iran, Mohammad Baqer Qalibaf, melakukan pertemuan dengan sejumlah ulama dan cendekiawan Muslim terkemuka Indonesia dalam rangka kunjungan resminya ke Jakarta.
Pertemuan yang digelar di Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta ini turut dihadiri oleh Duta Besar Iran untuk Indonesia, Mohammad Boroujerdi; Ketua Perwakilan Universitas Al-Mustafa di Indonesia, Hujjatul Islam Mottaqi; serta Kepala Pusat Kebudayaan Islam Iran di Jakarta, Hujjatul Islam Hakimollahi, yang juga merupakan perwakilan Pemimpin Tertinggi Iran di Indonesia.
Dalam suasana hangat dan penuh keakraban, Qalibaf menyampaikan pandangannya mengenai posisi strategis Indonesia dalam dunia Islam. Ia menilai Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia memiliki potensi besar dalam percaturan global.
“Indonesia adalah negara dengan keragaman budaya, golongan, dan selera, namun memiliki elite dan generasi muda yang terdidik serta berpemikiran rasional, spiritual, dan adil. Ini adalah kehormatan bagi dunia Islam,” ujarnya.
Qalibaf juga mengenang kedekatannya dengan Imam Khomeini sejak usia 15 tahun saat sang Imam diasingkan ke Najaf.
“Hari ini, saya berusia 64 tahun dan telah mengenal Imam selama hampir 50 tahun. Saya bersyukur mendapat kehormatan hidup di masa beliau,” kenangnya.
Ia menekankan pentingnya menjaga persatuan umat Islam, seraya mengutip sabda Imam Maksum, “Kalimat adalah tauhid, dan tauhid adalah kalimat.” Menurutnya, ketulusan, kasih sayang, dan pengampunan merupakan fondasi utama dalam menjaga kesatuan.
“Perjuangan dan pemenuhan kewajiban agama harus didasari oleh tiga hal itu,” tegasnya.
Qalibaf juga menyoroti ancaman pihak luar terhadap solidaritas internal umat Islam.
“Kaum Syiah dan Sunni, maupun kelompok politik yang berbeda, tidak semestinya bertentangan. Musuh-musuh Islam, terutama Amerika Serikat, sejak dahulu berupaya memecah belah kita. Dulu dilakukan oleh Inggris, kemudian Belanda, dan kini Amerika melanjutkan strategi itu,” jelasnya.
Mengenai sejarah perlawanan terhadap Zionisme, Qalibaf menyebut bahwa penolakan Imam Khomeini terhadap rezim Pahlavi dilatarbelakangi oleh kedekatan rezim tersebut dengan Israel.
“Zionisme adalah perpanjangan tangan Amerika dan akar dari banyak konflik di kawasan. Maka perjuangan melawannya adalah bagian dari perjuangan suci yang berlandaskan Al-Qur’an,” tandasnya.
Ia menyebut tindakan Hamas pada 7 Oktober sebagai reaksi defensif dan menekankan pentingnya solidaritas terhadap rakyat Gaza. Ia juga menyesalkan adanya negara-negara Islam yang justru memasok bantuan kepada rezim Zionis di tengah blokade terhadap warga Palestina.
“Sayangnya, kontribusi nyata kita di lapangan sangat minim,” ujarnya.
Qalibaf turut mengkritik normalisasi hubungan sejumlah negara Arab dengan Israel melalui Abraham Accords, seraya memuji konsistensi sikap Indonesia.
“Salah satu kebanggaan Indonesia adalah tidak pernah tunduk terhadap tekanan untuk mengakui Israel,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyinggung latar belakang kemenangan Revolusi Islam Iran 1979, yang menurutnya merupakan penolakan terhadap hegemoni blok Timur maupun Barat.
Baca juga : DPW ABI DKI Jakarta Hadir dalam Festival Seni Budaya Banten Betawi di Lapangan Banteng
“Rezim Pahlavi kala itu adalah boneka Amerika. Namun revolusi kami menang dengan slogan ‘La Sharqiyyah wa la Gharbiyyah, Jumhuriyyah Islamiyyah’ (Tidak ke Timur, tidak ke Barat, Hanya Republik Islam),” tegasnya.
Qalibaf juga menyinggung perang delapan tahun melawan rezim Baath Irak pascarevolusi, yang menurutnya berhasil dihadapi Iran dengan semangat dan keyakinan meski minim persenjataan.
“Kami tidak memiliki peralatan militer, tetapi kami berkembang hingga mampu memproduksi rudal canggih seperti dalam Operasi Sadeq 1 dan 2,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa kekuatan militer Iran bersifat defensif.
“Kami tidak akan memulai perang, tetapi kami tidak akan diam jika diserang,” tegasnya.
Qalibaf juga memaparkan kemajuan Iran di berbagai bidang strategis, termasuk kesehatan, nanoteknologi, kecerdasan buatan, dan energi nuklir.
“Meski disanksi, Iran termasuk tiga besar dunia dalam beberapa bidang,” ujarnya.
Terkait program nuklir, ia menegaskan bahwa Iran tidak berniat membuat senjata nuklir.
“Ilmu ini kami gunakan untuk kepentingan kedokteran, pertanian, dan lingkungan. Ini adalah hak kami dan potensi besar untuk dunia Islam,” jelasnya.
Ia pun menyinggung peran perempuan dalam Revolusi Islam Iran dan kontribusi mereka di berbagai sektor kehidupan.
“Perempuan memainkan peran besar dalam kemenangan revolusi dan kini menjadi motor penggerak di berbagai sektor, termasuk pendidikan tinggi,” ungkapnya.
Qalibaf mengonfirmasi bahwa perundingan antara Iran dan Amerika saat ini berlangsung secara tidak langsung.
“Upaya mereka untuk bernegosiasi menunjukkan bahwa posisi Iran dalam industri nuklir sangat kuat,” katanya.
Menutup pertemuan, Qalibaf menekankan pentingnya kebangkitan Islam yang bertumpu pada kontribusi seluruh elemen masyarakat.
“Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Kolaborasi masyarakatlah yang akan melahirkan produktivitas, martabat, dan persatuan Islam,” pungkasnya.
Dalam kesempatan tersebut, para ulama dan cendekiawan Indonesia juga menyampaikan keprihatinan atas kondisi dunia Islam, khususnya penderitaan rakyat Palestina, dan menekankan pentingnya penguatan hubungan antarnegara Muslim.
Mereka turut mengkritik sanksi sepihak Amerika terhadap sejumlah negara serta menyerukan solusi kolektif dan kerja sama untuk membangun perdamaian dan stabilitas global.
Mohammad Baqer Qalibaf tiba di Jakarta pada Rabu (14/5) untuk menghadiri Sidang ke-19 Persatuan Parlemen Negara-negara Anggota Organisasi Kerja Sama Islam (PUIC).[]
Baca juga : Parlemen OKI Lahirkan Deklarasi Jakarta, Bahas Palestina hingga Pakistan