Nasional
Jepara dan Arbain: Jalan Cinta dan Perlawanan Menuju Penantian
Jepara, 14 Agustus 2025 — Siang itu, matahari menumpahkan cahaya panas ke atas aspal Jepara. Namun di halaman Pondok Pesantren Darut Taqrib, semangat yang menyala mengalahkan teriknya udara. Pukul 12.15, rombongan karavan Arbain Imam Husain yang didominasi anak-anak dan perempuan, dengan mantap melangkah meninggalkan gerbang pesantren.
Dari barisan terdengar lantang pekik “Ya Aba Abdillah Husain!” yang bersahutan dengan “Merdeka Palestina!” Gelombang suara itu bergerak seperti arus yang mengalun, meninggi, lalu kembali menguat. Ada cinta di dalamnya, ada kesetiaan, dan ada kemarahan terhadap bentuk kedhaliman. Wajah-wajah serius namun teduh itu melangkah seolah sedang menapaki jalan ziarah menuju Karbala, jalan batin menuju pusara sang cucu Rasulullah.
Baca juga : Indonesia Tegas Tolak Visi Ekspansionis “Israel Raya” Netanyahu

Gerbang Khidmat
Gedung utama terletak di sisi barat berdiri sederhana namun memancarkan wibawa. Begitu melangkah ke dalam, mata disergap oleh latar hitam yang terbentang, dengan kaligrafi “Assalamualaika ya Husain” berwarna merah darah di tengahnya, tajam, memanggil, dan sulit ditatap tanpa merasakan debar di dada.
Di sudut kanan, empat bendera tegak berdampingan: Merah Putih, Palestina, panji Imam Husain, dan bendera Ahlulbait Indonesia (ABI). Warnanya saling melengkapi, menyampaikan pesan yang tak memerlukan terjemahan: persatuan, perjuangan, iman, dan pengabdian.
Ruang itu tertata rapi. Para tamu yang datang dari berbagai kota di Jawa Tengah, termasuk Solo, Semarang, Purwadadi, Pati, Pekalongan, Demak, hingga pelosok-pelosok kampung sekitar Jepara, duduk dengan wajah khusyuk, menanti wejangan yang akan disampaikan.
Baca juga : Warga Balikpapan Gelar Longmarch Dukung Palestina, Soroti Krisis Kelaparan dan Genosida

Disiplin dan Kehangatan di Luar Ruang
Di halaman luar, parkir kendaraan diatur dengan rapi oleh panitia keamanan, sigap namun ramah menciptakan keteraturan yang menenangkan.
Di sisi timur gedung, suasana terasa lebih hangat dan santai. Maukib, pos jamuan menyambut dengan aroma teh panas, kopi hitam, dan nasi kebuli yang sedap. Beberapa tamu berhenti sejenak, menyeruput hangatnya minuman atau sekedar menikmati aromanya sebelum masuk. Di sudut lain yang berkarpet hijau, para tamu duduk bersandar, memulihkan tenaga, sebagian bahkan menikmati pijatan ringan untuk mengendurkan otot yang lelah.
Tak jauh dari sana, spanduk PMI berkibar di atas meja donor darah. Kantong-kantong darah segar perlahan terisi, seolah mengalirkan kehidupan dari satu tubuh untuk menyelamatkan tubuh yang lain.
Baca juga : Abdul Mu’ti: Pendidikan Inklusif adalah Hak Setiap Anak, Bukan Pilihan

Langkah Terakhir Menuju Majelis
Pukul 13.45, barisan long march akhirnya tiba di halaman gedung. Nafas mereka masih terengah, namun sorot mata tetap menyala, menyimpan sisa api dari perjalanan yang baru ditempuh. Tepat di gerbang utama, pekik itu kembali menggema nyaring, padat, dan penuh tenaga, seakan menjadi salam penutup bagi perjalanan panjang mereka. Koordinator memberi isyarat, formasi pun perlahan terurai, dan para peserta diarahkan masuk, melangkah khidmat menuju ruang utama majelis.
Cinta sebagai Kekuatan
Al-Ustadz al-Habib Abdullah Assegaf membuka ceramah dengan suara mantap, jernih dan penuh wibawa.
Tujuan utama Peringatan Arbain Imam Husain, ujarnya, adalah meneguhkan cinta dan hubungan kita dengan Allah, Rasulullah, Ahlul Bait, serta kemurnian Islam. Cinta itulah penggerak segalanya seperti Ahlul Bait yang mengorbankan seluruh jiwa demi kebenaran.
“Bagi para pecinta, setiap kesempatan untuk bersama kekasih adalah kenikmatan yang tak ternilai. Siang ini, melalui selawat, ziarah, salam, pembacaan maqtal, maktam, dan syair, kita berharap semakin dekat kepada Al-Husain as. Dengan cinta, kebaikan terasa ringan dilakukan. Dari Husain, kita belajar arti pengorbanan demi Islam”.
Tujuan kedua adalah membangun kesadaran. Perjuangan Imam Husain bukan sekadar sejarah 14 abad lalu, tetapi pertarungan abadi antara kebenaran dan kebatilan antara Husainiyyun dan Yazidiyyun yang akan terus terulang sepanjang zaman.
Imam Husain pernah berkata: “Orang seperti aku tidak akan membaiat orang seperti Yazid.” Ini adalah kompas moral: perlawanan terhadap kezaliman adalah kewajiban di setiap masa. Maka, mohonlah kepada Allah agar menanamkan keberanian untuk bangkit melawan ketidakadilan.
Di Karbala, Imam Husain menyerukan makna kemerdekaan sejati. Tiga hari lagi Indonesia merayakan kemerdekaannya. Kita merdeka berkat pengorbanan para pahlawan, namun kemerdekaan bukan hadiah sekali jadi, ini harus dijaga dari ancaman perpecahan.
“Syiah Indonesia”, tegasnya, “harus menjadi garda persatuan, berdiri melawan setiap upaya memecah belah bangsa.”
Hari ini, dunia menyaksikan seorang pemimpin yang teguh menentang arogansi global, Sayid Ali Khamenei. “Meski ditekan Amerika dan Zionis, beliau tidak tunduk. Dukungan beliau terhadap Palestina tak pernah surut; tekanan dan embargo hanya memperkuat semangat perlawanan”.
Inilah ruh perjuangan al-Husain, tak padam, tak tunduk yang terus mengalir dari Karbala hingga hari ini.
Menutup dengan Cahaya
Ceramah usai. Tak ada yang tergesa meninggalkan ruangan. Ada yang tetap duduk memejamkan mata, ada yang merapikan tempat duduk, ada yang hanya menatap ke depan dalam diam.
Di luar, langit mulai berwarna senja. Di hati mereka, cahaya itu baru saja dinyalakan, cahaya cinta yang menguatkan langkah, dan keberanian yang takkan tunduk pada kedzaliman hingga penantian itu kelak usai. []
Baca juga : Indonesia Desak Dunia Akhiri Penjajahan Palestina di Forum Internasional PBB
