Ikuti Kami Di Medsos

Nasional

Menag RI Serukan Kerukunan sebagai Napas Kehidupan Berbangsa

Menag RI Serukan Kerukunan sebagai Napas Kehidupan Berbangsa

Ahlulbait Indonesia — Kerukunan bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan dasar dalam kehidupan berbangsa dan beragama. Menteri Agama Republik Indonesia, Nasaruddin Umar, menegaskan bahwa kerukunan harus menjadi napas kolektif yang menghidupi setiap sendi masyarakat. Tanpa kerukunan, kemajuan hanyalah fatamorgana.

“Tanpa rasa ketuhanan dalam hati, manusia bisa menjadi binatang liar yang mempercepat kehancuran dunia,” ujar Menag saat ditemui di Kantor Kementerian Agama, Jakarta Pusat, Rabu (9/7), dilansir Kompas.com. Ungkapan itu tidak hanya menggambarkan urgensi spiritualitas, tetapi juga menjadi panggilan untuk memperkuat harmoni di tengah masyarakat yang majemuk.

Untuk menumbuhkan kesadaran spiritual dan mendorong terciptanya perdamaian, Kementerian Agama memperkenalkan konsep Trilogi Kerukunan Segitiga: kerukunan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan.

Konsep ini bukan sekadar wacana normatif. Menag menekankan bahwa kerukunan antarmanusia harus melampaui batas agama, etnis, bahkan kewarganegaraan. “Kami harus kompak sebagai umat manusia. Tidak boleh ada diskriminasi dalam memperlakukan sesama,” ujarnya. Kerukunan, dalam pandangannya, harus bersifat inklusif dan membumi—menjadi ruang perjumpaan, bukan pembatas.

Tak hanya relasi antarmanusia, hubungan manusia dengan alam juga mendapat perhatian. Menag menegaskan bahwa alam adalah mitra kehidupan, bukan sekadar sumber daya yang bisa dieksploitasi tanpa batas. “Kita harus bersahabat dengan alam. Mereka adalah partisipan kehidupan kita, bukan musuh yang harus ditaklukkan,” ucapnya.

Namun, titik sentral dari trilogi tersebut adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Menag Nasaruddin percaya bahwa ketuhanan yang aktif di dalam diri akan membentuk pribadi yang tenang, damai, dan berorientasi pada kebaikan bersama. “Rasa spiritual yang hadir dalam hati akan melahirkan kesadaran logika dan akhirnya tercermin dalam perilaku sosial,” ujarnya.

Baca juga : Indonesia Serahkan 10.000 Ton Beras untuk Palestina, Siap Bangun Kerja Sama Pertanian

Lebih jauh, ia menyebut bahwa ketika trilogi ini menyatu dalam diri individu, maka dunia akan menjadi tempat yang lebih damai dan layak dihuni. Kerukunan pun bukan lagi sekadar slogan, melainkan realitas hidup sehari-hari yang menyatu dalam laku hidup masyarakat.

Seruan kerukunan ini juga menjadi pijakan dalam peluncuran Annual International Conference on Islam, Science, Society (AICIS+) 2025 yang akan digelar pada 29–31 Oktober di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Depok. Forum internasional ini diharapkan menjadi ruang intelektual untuk memperkuat kontribusi Islam dalam menciptakan dunia yang lebih damai melalui ilmu, teknologi, dan nilai-nilai spiritual.

Para akademisi, ulama muda, peneliti, hingga inovator sosial dari berbagai negara diundang untuk menyumbangkan gagasan, termasuk dalam tema-tema seperti ekoteologi, keadilan ekonomi, ekofeminisme, hingga transformasi teknologi berbasis nilai-nilai Islam. Semua diarahkan untuk membentuk wajah Islam yang rahmatan lil alamin—agama yang hadir membawa rahmat, bukan perpecahan.

Menag Nasaruddin Umar percaya, di tengah dunia yang tengah terpolarisasi oleh kepentingan politik, konflik identitas, dan krisis kemanusiaan, hanya kerukunan yang berakar pada spiritualitas dan kesadaran sosial yang dapat menjadi jalan keluar. “Kalau tidak ada rasa ketuhanan, maka ego akan menguasai. Dan dari situlah kerusakan bermula,” tegasnya.

Pesan yang dibawa Menag RI kali ini terasa sangat relevan. Dalam dunia yang saling terhubung tetapi kerap tercerai oleh sentimen primordial, kerukunan menjadi kekuatan yang harus dirawat bersama—sebagai napas kehidupan berbangsa dan beragama. []

Baca juga : Indonesia Kutuk Keras Serangan Israel yang Tewaskan Direktur RS Indonesia di Gaza