Nasional
Pakar IPB Peringatkan Ancaman Krisis Air di Indonesia
Ahlulbait Indonesia – Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan populasi yang terus bertambah, menghadapi ancaman serius: krisis air bersih. Peringatan Hari Bumi setiap 22 April menjadi momentum untuk mengingatkan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan ketersediaan air.
Menurut laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2020, pada 2045 beberapa wilayah di Indonesia diperkirakan mengalami kelangkaan hingga krisis air bersih. Proporsi wilayah terdampak diprediksi meningkat dari 6 persen pada tahun 2000 menjadi 9,6 persen pada 2045.
Guru Besar IPB University, Prof. Etty Riani, menyoroti bahwa perubahan iklim ekstrem, urbanisasi tak terkendali, serta buruknya pengelolaan lingkungan dan sumber daya air menjadi faktor utama krisis ini.
“Salah satu penyebab utama krisis air bersih adalah alih fungsi lahan, baik di hulu maupun hilir. Hutan, rawa, danau, hingga ekosistem mangrove banyak yang berubah menjadi lahan terbangun,” ujar Prof. Etty, dikutip dari Media Indonesia, Senin (28/4).
Ia menjelaskan bahwa alih fungsi lahan di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) memperparah kondisi. Air hujan yang seharusnya meresap ke tanah justru mengalir langsung (run-off) ke sungai dan bermuara ke laut, mengurangi cadangan air tanah.
“Ketika sungai meluap, sempadan sungai yang sebelumnya menjadi tempat penampungan air sudah berubah menjadi bangunan. Akibatnya, air melimpas ke daratan dan menyebabkan banjir,” tambahnya.
Baca juga : Iran-Indonesia Sepakat Perkuat Hubungan dan Serukan Aksi Nyata untuk Palestina
Selain itu, sedimentasi akibat pembukaan lahan dan pembuangan sampah mempersempit sungai, menurunkan daya tampung air, dan meningkatkan risiko banjir.
“Selama lahan terbuka, erosi tanah terus berlangsung, mempercepat pendangkalan sungai hingga ke muara, serta menyumbang pencemaran air,” ungkap Prof. Etty.
Ia juga menyoroti dampak perubahan iklim, di mana curah hujan bulanan bisa meningkat hingga 40 persen. Fenomena La Nina, yang biasanya terjadi setiap 2–7 tahun, kini dapat datang lebih cepat, memperburuk intensitas hujan.
Untuk menghadapi tantangan ini, Prof. Etty menekankan sejumlah langkah strategis:
Pertama, meningkatkan kesadaran masyarakat secara berkelanjutan agar tercipta budaya hemat air dan energi.
Kedua, memanfaatkan teknologi pengelolaan air untuk daur ulang serta mengoptimalkan pemanfaatan waduk, embung, dan situ.
Ketiga, memperluas ruang hijau dengan membangun hutan kota, merehabilitasi hutan rusak, dan membiasakan menanam pohon kapan pun dan di mana pun.
Ia juga mengimbau masyarakat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui kebiasaan sederhana, seperti berjalan kaki, mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, memakai energi terbarukan, dan menggunakan pendingin ruangan secara bijak.
“Upaya kecil yang dilakukan secara masif dapat menjadi kekuatan besar untuk mengurangi dampak perubahan iklim,” pungkasnya. []
Baca juga : Terorisme Siber Meningkat, Densus 88 Perkuat Strategi Penanggulangan Digital
