Ikuti Kami Di Medsos

Nasional

Prabowo Izinkan WNA Jadi Bos BUMN: Modernisasi atau Pelepasan Kendali?

Prabowo Izinkan WNA Jadi Bos BUMN: Modernisasi atau Pelepasan Kendali?
Prabowo Subianto membuka peluang kepemimpinan BUMN bagi warga negara asing. [FOTO: SABANGMERAUKE NEWS]

Ahlulbait Indonesia, 18 Oktober 2025 — Keputusan Presiden Prabowo Subianto yang membuka peluang bagi warga negara asing untuk memimpin Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak dapat dilihat semata sebagai langkah administratif. Ini adalah keputusan politik yang menembus inti kedaulatan ekonomi Indonesia.

Dalam sebuah diskusi, Prabowo mengungkapkan bahwa pemerintahnya telah mengubah regulasi sehingga mengizinkan ekspatriat atau warga negara asing untuk memimpin Badan Usaha Milik Negara (BUMN). “Saya sudah mengubah regulasinya. Karena itu, saya sangat bersemangat,” ujarnya saat berbincang dengan Chairman dan Editor in Chief Forbes, Malcolm Stevenson Jr. alias Steve Forbes, di Hotel St Regis, Jakarta, Rabu (15/10/2025), sebagaimana dikutip Kompas.

Prabowo juga memerintahkan Danantara, lembaga investasi yang baru dibentuk untuk mengelola BUMN strategis, agar menjalankan bisnis dengan standar internasional dan “mendapatkan talenta-talenta terbaik untuk mengurus BUMN.”

Keputusan Presiden Prabowo Subianto membuka peluang kepemimpinan BUMN bagi warga negara asing harus dibaca sebagai sebuah transformasi strategis yang kompleks, bukan semata langkah administratif. Kebijakan ini menempatkan Indonesia pada persimpangan jalan antara tuntutan modernisasi dan imperatif kedaulatan ekonomi.

BUMN dalam Paradoks Globalisasi

Praktik merekrut talenta asing untuk BUMN sebenarnya bukan hal baru dalam konteks global. Norwegia sukses memimpin Equinor dengan profesional internasional sambil menjaga kendali strategis melalui kepemilikan negara yang kuat. Singapura dengan Temasek Holdings menjadi contoh ideal bagaimana BUMN bisa berdaya saing global tanpa melepas kendali nasional.

Namun konteks Indonesia memiliki kekhasan yang membedakannya dengan model tersebut. Sebagian besar BUMN kita masih terjebak dalam warisan birokrasi yang tidak efisien, sementara tuntutan untuk menjadi champion nasional di kancah global semakin mendesak.

Tiga Risiko Strategis yang Terabaikan

Pertama, risiko captured policy: keputusan strategis di sektor vital seperti energi dan pangan bisa tunduk pada kepentingan korporasi global. Pengalaman India dengan East India Company memberikan pelajaran sejarah yang berharga tentang bagaimana kontrol asing atas sektor strategis dapat berdampak sistemik.

Kedua, risiko governance mismatch: budaya korporasi Indonesia yang hierarkis dan kolektif akan berbenturan dengan gaya kepemimpinan individualistik yang biasa dibawa ekspatriat. Konflik ini berpotensi memicu disfungsi organisasi alih-alih peningkatan kinerja.

Ketiga, risiko sovereign discount: kepercayaan investor internasional justru bisa menurun jika mereka mempersepsikan bahwa Indonesia tidak mampu mengelola BUMN-nya sendiri. Persepsi “keterpaksaan” merekrut talenta asing dapat ditafsirkan sebagai bentuk ketidakmampuan sistemik.

Baca juga : Menkeu: Saat Tepat Beli Rumah, Ekonomi Nasional Mulai Pulih

Membongkar Mitos Transfer Knowledge

Argumentasi utama pendukung kebijakan ini adalah transfer pengetahuan, yang memiliki kelemahan mendasar. Pengalaman Malaysia dengan Proton menunjukkan bahwa transfer pengetahuan tidak otomatis terjadi hanya dengan menempatkan ekspatriat di posisi puncak. Faktanya, yang sering terjadi adalah asimetri pengetahuan di mana knowledge yang kritis justru tidak terdistribusi ke level menengah bawah.

Masalahnya terletak pada insentif struktural. Seorang CEO ekspatriat yang diikat kontrak jangka pendek dengan target kinerja kuartalan memiliki sedikit insentif untuk membangun sistem dan kapasitas jangka panjang. Yang terjadi justru pengetahuan terisolasi (siloed knowledge) di level elite manajemen.

Diaspora: Solusi Semu atau Jawaban?

Gagasan memanfaatkan diaspora Indonesia sebagai alternatif perlu dikritisi lebih mendalam. Pertanyaan mendasarnya adalah, mengapa profesional Indonesia berkualitas memilih berkarier di luar negeri? Jawabannya seringkali terletak pada ekosistem kerja yang tidak mendukung, misalnya birokrasi yang berbelit, politisasi BUMN, dan sistem meritokrasi yang lemah.

Tanpa perbaikan sistemik, mendatangkan diaspora hanya akan menjadi rotasi wajah tanpa perubahan substansi. Mereka akan menghadapi tantangan yang sama dengan profesional lokal, yaitu iklim dan sistem yang tidak mendukung inovasi dan penuh intervensi politik.

Namun baik talenta asing maupun diaspora akan beroperasi dalam sistem yang sama, dan di sinilah letak persoalan mendasarnya, yaitu absennya kerangka pengawasan yang kokoh.

Kerangka Pengawasan yang Hilang

Kebijakan ini menjadi sangat riskan karena tidak disertai dengan framework pengawasan yang jelas. Beberapa elemen kritis yang absen dalam diskusi publik:

1. Komposisi board of directors yang memastikan kepentingan nasional tetap dominan.
2. Critical position list: posisi-posisi strategis yang harus tetap dipegang WNI,
3. Knowledge transfer audit: mekanisme untuk memastikan transfer pengetahuan benar-benar terjadi.
4. Exit strategy yang jelas untuk fase transisi.

Konteks Geopolitik yang Mengkhawatirkan

Kebijakan ini tidak hadir dalam vakum geopolitik. Dalam kurun waktu bersamaan, Indonesia dan Amerika Serikat menandatangani perjanjian dagang “bersejarah” yang diumumkan oleh Gedung Putih pada 22 Juli 2025. Dalam Fact Sheet: The United States and Indonesia Reach Historic Trade Deal, disebutkan bahwa Indonesia akan menghapus hampir 99 persen tarif untuk produk AS, sementara AS menetapkan tarif timbal balik sekitar 19 persen untuk produk Indonesia.

Langkah ini menandai keterbukaan ekonomi bilateral yang sangat dalam dan memperlihatkan betapa berbahayanya Indonesia menuju liberalisasi pasar yang lebih luas. Kombinasi antara liberalisasi perdagangan dan liberalisasi manajerial ini menciptakan kondisi yang berpotensi melemahkan daya tawar Indonesia di kancah global.

Pengalaman Brasil di era 1990-an memberikan pelajaran berharga, liberalisasi yang tidak diimbangi dengan kapasitas regulasi yang kuat justru menyebabkan deindustrialisasi dan ketergantungan yang lebih dalam pada negara maju.

Baca juga : Percakapan Tertutup Prabowo dan Trump di Sharm el-Sheikh Terungkap ke Publik

Jalan Tengah: Model Kepemimpinan Hibrida

Solusi yang lebih berdaulat terletak pada model kolaboratif yang memadukan keunggulan lokal dengan pengetahuan global:

1. Tandem leadership: pasangan direktur utama WNI dengan chief transformation officer WNA.
2. Structured mentorship: program alih pengetahuan yang terstruktur dan terukur.
3. Strategic committee: lembaga pengawas khusus untuk BUMN strategis.
4. Performance bond: jaminan kinerja yang mengikat untuk profesional asing.

Reformasi Sistemik sebagai Prasyarat

Modernisasi BUMN harus dimulai dari perbaikan sistemik, bukan hanya pergantian figur. Langkah-langkah kritis yang harus didahulukan:

1. Debirokratisasi: memisahkan fungsi regulator dan operator.
2. Professionalization: membangun sistem meritokrasi yang benar-benar independen.
3. Mission clarity: memisahkan BUMN komersial dan pelayanan publik.
4. Transparency reform: mewajibkan audit kinerja oleh lembaga independen.

Melampaui Dikotomi Palsu

Pertanyaannya bukan lagi “pro atau kontra talenta asing”, melainkan bagaimana menciptakan ekosistem BUMN yang mampu menarik dan mempertahankan talenta terbaik dunia tanpa melepas kendali strategis.

Kebijakan Prabowo ini ibarat melakukan operasi jantung terbuka: bisa menyelamatkan pasien, tapi juga berisiko kematian jika tidak dilakukan dengan persiapan matang. Yang kita saksikan saat ini adalah operasi yang maju tanpa alat diagnosa cukup, tim belum lengkap, dan roadmap pemulihan belum ditetapkan.

Indonesia memang membutuhkan modernisasi, tetapi modernisasi yang membawa kemandirian, bukan ketergantungan pada asing. Yang menentukan kedaulatan ekonomi bukan kebangsaan figur pimpinan, melainkan kemampuan bangsa ini untuk membangun kapasitas internal, menentukan kebijakan sendiri, dan berdiri sejajar dengan negara lain.

Pada akhirnya, boleh memakai supir F1 asing, tapi mobilnya harus milik kita, kecepatan pit stop-nya (transfer knowledge) harus di bawah pengawasan kita, dan lisensi balapnya atas nama kita pula. []

Referensi:

1. Pernyataan Presiden di Forbes Global CEO Conference, dikutip Kompas.
2. Tentang perintah untuk Danantara sebagai lembaga investasi pengelola BUMN strategis.
3. Fact Sheet: The United States and Indonesia Reach Historic Trade Deal (The White House: July 22, 2025)

Baca juga : HIKDMAT Gelar Pelatihan Dasar SAR dan PPGD Bersama BPBD Jepara