Nasional
SETARA Institute Desak Presiden Prabowo Atasi Meningkatnya Intoleransi Beragama

Jakarta, 7 Juni 2025 — Lembaga riset hak asasi manusia, SETARA Institute, mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mengambil langkah tegas terhadap meningkatnya kasus intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Menurut laporan terbaru SETARA, sepanjang paruh pertama 2025 tercatat 402 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB), termasuk 260 tindakan intoleran, angka yang menunjukkan peningkatan signifikan dibanding tahun sebelumnya.
Salah satu insiden terbaru terjadi di Kota Banjar, Jawa Barat, ketika tim gabungan yang dipimpin Kepala Kantor Kementerian Agama setempat bersama sekitar 30 orang, mendatangi Masjid Istiqamah milik Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan menyegel kembali tempat ibadah tersebut. Tim juga memberikan batas waktu hingga 9 Juni 2025 bagi jemaah untuk mengosongkan masjid.
Tindakan tersebut mengacu pada Peraturan Wali Kota (Perwali) No. 10 Tahun 2011 dan Peraturan Gubernur Jawa Barat (Pergub) No. 12 Tahun 2011, dua regulasi yang sebelumnya telah direkomendasikan untuk dicabut oleh Kementerian Hukum dan HAM karena dinilai melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia.
“Kebijakan seperti ini diskriminatif dan melanggar UUD 1945, terutama Pasal 29 Ayat (2), yang menjamin kebebasan beragama bagi setiap warga negara,” tegas SETARA dalam siaran pers yang diterima Media ABI, Sabtu (7/6).
Baca juga : Laporan SETARA: Lonjakan Tajam Pelanggaran Kebebasan Beragama Sepanjang 2024
Selain kasus di Banjar, SETARA juga mencatat sejumlah peristiwa lain yang mencerminkan lemahnya perlindungan negara terhadap hak-hak kelompok minoritas. Di antaranya adalah pembatalan diskusi buku Menyingkap Tabir Kebenaran Ahmadiyah di IAIN Manado karena tekanan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta penolakan pembangunan Gereja Toraja di Kelurahan Sungai Keledang, Samarinda.
Di Tomohon, pembangunan Masjid Al-Muhajirin juga mandek sejak 2021 karena belum memperoleh rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), meskipun Kementerian Agama telah memberikan persetujuan.
“Ini semua menunjukkan lemahnya negara dalam melindungi hak-hak konstitusional warga negara minoritas. Pemerintah tidak boleh diam dan membiarkan mayoritas memaksakan kehendak kepada kelompok minoritas,” tegas Halili Hasan, Direktur Eksekutif SETARA Institute.
SETARA menyerukan kepada Presiden untuk memerintahkan kementerian terkait agar segera:
1. Meninjau ulang dan mencabut regulasi diskriminatif, seperti SKB Tiga Menteri serta Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 8 dan 9 Tahun 2006.
2. Membubarkan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem).
3. Memberi sanksi kepada pemerintah daerah yang melanggar hak konstitusional warga.
4. Menginstruksikan Kementerian Agama untuk menjamin kebebasan beragama dan memperkuat kerukunan antarumat beragama.
“Jika tidak ada tindakan tegas dari Presiden, maraknya intoleransi ini akan terus merusak tatanan sosial-politik dan menghambat cita-cita besar pembangunan nasional,” kata Achmad Fanani Rosyidi, Peneliti SETARA Institute. []
Baca juga : Menteri Kebudayaan: Indonesia Konsisten Dukung Kemerdekaan Palestina