Berita
Sayyid Hassan Nasrallah: Dari Pinggiran Beirut hingga Syahadah di Jalan Quds
Ahlulbait Indonesia – Pada malam 26 September 2024, langit Beirut bergemuruh. Puluhan bom, termasuk penghancur bunker seberat 5.000 pon,dijatuhkan Israel ke pinggiran kota. Sasarannya bukan hanya bangunan, melainkan seorang pria yang selama puluhan tahun menjelma simbol perlawanan: Sayyid Hassan Nasrallah. Malam itu, ia menutup perjalanan hidupnya dengan syahadah. Namun bagi jutaan orang, ia tidak pernah benar-benar pergi. Sosoknya tetap hidup, bersemayam dalam narasi panjang perjuangan Lebanon, Palestina, dan Poros Perlawanan.
Masa Kecil di Beirut Timur
Sayyid Hassan Nasrallah lahir pada 31 Agustus 1960 di Beirut Timur, dari pasangan Sayyid Abdul Karim Nasrallah dan Mahdia Safi al-Din. Keduanya berasal dari desa Bazouriyeh, Lebanon Selatan, namun seperti banyak keluarga Syiah sederhana pada masa itu, mereka merantau ke ibu kota demi mencari penghidupan.
Ayahnya membuka sebuah toko buah dan sayur kecil di sudut kota. Dengan sebelas anggota keluarga yang harus ditanggung, Abdul Karim bekerja tanpa kenal lelah, dari subuh hingga larut malam. Dalam kondisi serba terbatas itulah Hassan kecil tumbuh. Hidup dalam kesederhanaan, ia ditempa oleh kerasnya realitas kota, belajar menanggung kesulitan sejak dini, dan membiasakan diri dengan disiplin yang kelak membentuk wataknya sebagai pemimpin.
Kecintaan Awal pada Agama
Meski keluarganya menjalani agama sebatas ritual, salat, puasa Ramadan, dan beberapa mushaf Al-Qur’an di rumah, Hassan kecil menunjukkan gairah religius yang jauh melampaui lingkungannya. Ia kerap terpukau setiap kali melihat para ulama bersorban melintas di jalanan Beirut, seakan menemukan magnet spiritual yang membangkitkan rasa ingin tahunya.
Di usia delapan tahun, ia telah larut dalam bacaan ayat-ayat Al-Qur’an tentang surga dan neraka, yang membekas begitu dalam hingga terbawa ke dalam mimpi-mimpinya. Minatnya semakin dipupuk oleh buku-buku agama, seperti Irshad al-Qulub karya Daylami serta kisah-kisah tentang Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib (as). Sejak itu, ia tekun menunaikan salat lima waktu, bahkan mulai melazimkan salat malam dengan kesungguhan yang jarang dimiliki anak seusianya.
Ayahnya sendiri menyimpan kekaguman mendalam pada Imam Musa Sadr, pemimpin Syiah Lebanon yang karismatik. Sebuah foto Musa Sadr terpajang di rumah keluarga Nasrallah, menjadi sumber inspirasi bagi Hassan muda. Dari sanalah tumbuh benih kecintaan, sekaligus teladan kepemimpinan yang kelak mewarnai seluruh jalan hidupnya.
Pendidikan dan Pergolakan Beirut
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, Hassan melanjutkan ke jenjang menengah. Sekolahnya terletak berdekatan dengan sebuah masjid yang diasuh oleh Sayyid Afzal. Lingkungan religius itu menjadi pintu baginya untuk mengenal praktik salat berjamaah, forum diskusi, serta berbagai kegiatan budaya Islam yang membentuk horizon intelektualnya sejak muda.
Namun masa belajarnya bersinggungan dengan salah satu bab tergelap dalam sejarah Lebanon: pecahnya perang saudara pada 1975. Saat itu, kawasan Syiah di Beirut Timur jatuh ke tangan milisi Falangis. Peristiwa getir tersebut menorehkan luka yang dalam, sekaligus memperkuat kesadaran Hassan muda bahwa identitas dan martabat komunitasnya hanya bisa dipertahankan melalui jalan perlawanan.
Migrasi Balik ke Bazouriyeh
Situasi perang memaksa keluarga Nasrallah meninggalkan Beirut dan kembali ke desa asal mereka, Bazouriyeh. Namun desa itu tak lagi sama. Ideologi komunis lebih dulu berakar, menjadikan banyak pemuda terjerumus ke arus sekularisme.
Di tengah lingkungan yang berubah itu, Hassan melanjutkan pendidikannya di SMA. Ia segera dikenal sebagai siswa teladan, tekun belajar sekaligus rendah hati. Namun kondisi ekonomi keluarga tetap berat; sepulang sekolah, Hassan setia membantu ayahnya menjaga toko kelontong kecil, sebuah rutinitas yang mengajarinya arti kerja keras dan tanggung jawab.
Justru kepindahan inilah yang membuka pintu baru. Di Bazouriyeh, Hassan berkenalan dengan dua tokoh penting: Dr. Mostafa Chamran, revolusioner Iran yang karismatik, serta Sayyid Mohammad Gharavi, murid syahid Ayatullah Mohammad Baqir Sadr. Pertemuan dengan keduanya menjadi titik balik yang menuntunnya menuju Najaf, gerbang ilmu, sekaligus awal jalan revolusi.
Najaf: Mimpi yang Terwujud
Pada Desember 1976, dalam usia baru 15 tahun enam bulan, Hassan berangkat ke Najaf al-Ashraf dengan membawa surat rekomendasi untuk Ayatullah Mohammad Baqir Sadr. Bagi seorang remaja miskin dari pinggiran Beirut, perjalanan itu bukan sekadar keberangkatan fisik, melainkan langkah menuju takdir.
Di kota suci itu, ia memperoleh dua anugerah besar. Pertama, bimbingan langsung dari Ayatullah Baqir Sadr, ulama revolusioner yang kelak dieksekusi rezim Saddam. Kedua, persahabatan dengan Sayyid Abbas Mousavi, senior delapan tahun yang kemudian menjadi Sekretaris Jenderal Hizbullah. Atas kepercayaan Ayatullah Sadr, Hassan muda ditempatkan di bawah arahan Abbas Mousavi. Pertemuan itu menyatukan dua takdir, yang kelak berpadu dalam kisah perlawanan Lebanon dan Quds.
Najaf menjadi masa paling membahagiakan bagi Hassan. Ia belajar agama dengan semangat menyala, merasa terhormat duduk di hadapan para ulama besar, dan meneguhkan keyakinannya bahwa jalan jihad adalah pilihan hidup yang tak mungkin ditinggalkan.
Sebuah Mimpi yang Nyata dan Takdir yang Telah Ditentukan
Setahun telah berlalu sejak kedatangannya di Najaf. Tahun itu adalah 1977 M.
Di usia belia, Hassan telah meraih mimpinya: menuntut ilmu di Najaf al-Ashraf, kota suci yang sejak kecil selalu membayang dalam doanya. Di sana ia menekuni studi agama, meyakini bahwa jalan inilah yang akan membebaskannya dari api neraka yang pernah menghantuinya di malam-malam masa kecil, ketika ia terbangun dengan ketakutan lalu berlari ke pelukan orang tuanya.
Kini, di Najaf, ia tak hanya menemukan ilmu. Ia memperoleh persahabatan yang kelak menjadi ikatan takdir bersama Sayyid Abbas Mousavi, serta kehormatan berguru langsung pada seorang ulama besar yang kelak syahid, Ayatullah Mohammad Baqir Sadr. Namun hatinya juga selalu bersama Imam Musa Sadr, pemimpin Syiah Lebanon yang ia cintai dan sekaligus ia takutkan keselamatannya. Ia merasa bayang-bayang kematian terus mengintai sosok tersebut.
Suatu malam, menjelang fajar, di asrama Najaf yang sunyi, Hassan bermimpi aneh. Dalam mimpinya, Imam Musa Sadr mengundang orang-orang ke sebuah upacara besar. Dari enam puluh pelajar Lebanon di pesantren itu, hanya ia dan seorang ulama Lebanon lain yang menjawab panggilan. Mereka menuju sebuah padang belantara, di mana berdiri sebuah ruangan tua dengan dinding batu hijau dan hitam yang kusam.
Di dalamnya, Imam Musa Sadr duduk sendirian, tanpa jubah dan sorban, dengan wajah letih, janggut memutih, dan napas terengah. Tak seorang pun datang menemaninya, kecuali mereka berdua dan seorang pria kekar yang duduk di samping. Ketika azan dikumandangkan, mereka berdiri untuk salat berjamaah. Namun tiba-tiba, pria kekar itu menghunus pedang, bersiap menyerang Imam Musa. Hassan menerjang, melindungi sang Imam.
Mereka kembali berdiri untuk salat, tetapi di tengah ibadah terdengar pekik: Imam Musa Sadr terbunuh. Mereka pun membatalkan salat, dan Hassan mengambil pedang itu untuk menebas leher si pembunuh.
Ketika matahari terbit, ia menemui seorang syekh mistikus dan menceritakan mimpinya. Sang syekh menafsirkan: “Imam Musa Sadr kelak akan mati syahid secara tidak adil, sendirian, dan dimakamkan di suatu tempat tersembunyi di jantung gurun. Namun suatu hari engkau akan menjadi penerus jalannya, melanjutkan misinya, dan mencapai tujuan yang ia cita-citakan.”
Setahun kemudian, pada 25 Agustus 1978, firasat itu terwujud tragis. Imam Musa Sadr berangkat ke Libya, dan tidak pernah kembali.
Paruh pertama mimpi Sayyid Hassan telah terwujud, seakan menyingkap tabir takdir yang lebih besar.
Kembali ke Lebanon dan Awal Jihad
Menjelang akhir 1979, situasi Irak di bawah rezim Ba’ath kian mencekam. Para ulama dan santri diburu, ditangkap, dan dijebloskan ke penjara. Hassan pun terpaksa meninggalkan Najaf dan kembali ke Lebanon.
Atas saran gurunya, Abbas Mousavi, ia mendirikan sebuah pesantren kecil di Baalbek dengan hanya 15 santri. Dari embrio sederhana itu, lembaga tersebut berkembang pesat, menjadi pusat pendidikan agama sekaligus basis dakwah. Hassan aktif berkeliling desa-desa di Lembah Bekaa, menyeru pada kesadaran Islam dan perlawanan.
Tak lama kemudian, ia bergabung dengan Gerakan Amal dan dipercaya masuk dalam Biro Politik wilayah Bekaa. Namun arah sejarah segera berubah. Pada awal 1980-an, Hizbullah lahir dari rahim perlawanan terhadap pendudukan Israel. Hassan termasuk di dalamnya sejak awal, menapaki jenjang kepemimpinan dengan cepat. Hingga akhirnya, setelah Abbas Mousavi gugur syahid dalam serangan Israel pada 1992, Hassan Nasrallah dipilih untuk menggantikannya sebagai Sekretaris Jenderal Hizbullah, tanggung jawab yang akan menandai seluruh jalan hidupnya.
Kemenangan-Kemenangan Besar
Di bawah kepemimpinan Sayyid Hassan Nasrallah, Hizbullah menorehkan serangkaian kemenangan strategis yang mengubah peta perlawanan di Timur Tengah.
1. 1996 Operasi Grapes of Wrath (Perang 16 Hari): Untuk pertama kalinya, Israel dipaksa mengakui daya tahan Hizbullah. Serangan udara dan darat yang masif tak mampu menghancurkan struktur perlawanan.
2. 2000 Pembebasan Lebanon Selatan: Setelah 15 tahun pendudukan, Israel terpaksa menarik pasukannya tanpa syarat. Momen ini dicatat sebagai kemenangan pertama dunia Arab atas Israel melalui perang gerilya modern.
3. 2006 Perang 33 Hari: Israel kembali melancarkan invasi besar, namun gagal mencapai tujuan politik maupun militer. Hizbullah justru keluar dengan kemenangan moral dan strategis, memperkuat posisinya sebagai kekuatan regional yang tak bisa diabaikan.
Israel kemudian melancarkan serangan balasan masif ke Beirut Selatan, menghancurkan ratusan kompleks perumahan, sekolah, dan infrastruktur sipil. Namun, meski harga yang dibayar rakyat Lebanon begitu berat, tujuan utama Israel tetap gagal: melemahkan Hizbullah dan mematahkan karisma pemimpinnya.
Dukungan untuk Palestina
Selain membebaskan tanah airnya dari pendudukan, Sayyid Hassan Nasrallah konsisten menjadikan Palestina sebagai pusat perjuangan. Pada masa Intifada Kedua (2000), ia mempererat hubungan dengan Hamas dan Jihad Islam, membuka jalur koordinasi politik dan militer lintas batas.
Di bawah kepemimpinannya, Hizbullah bukan lagi menjadi aktor lokal Lebanon, melainkan bagian tak terpisahkan dari poros perlawanan regional yang mencakup Iran, Suriah, dan faksi-faksi perjuangan Palestina. Dengan demikian, Nasrallah menempatkan Hizbullah dalam arsitektur perlawanan global melawan hegemoni Israel, sebuah posisi yang membuatnya disegani sekaligus ditakuti di seluruh kawasan.
Teman dan Musuh yang Memuji
Dengan setiap kemenangan di medan perang, Sayyid Hassan Nasrallah tak hanya meneguhkan posisi Hizbullah, tetapi juga memenangkan hati banyak orang. Karismanya sedemikian kuat hingga bahkan musuh Zionis pun tak bisa menampik pesona kepemimpinan dan keteguhan pribadinya, sosok yang berbeda dari kebanyakan pemimpin Arab.
Pengaruhnya pun diakui di dunia Islam. Pemimpin Tertinggi Revolusi menggambarkan Hizbullah sebagai cahaya yang bersinar laksana matahari di Lebanon, sebuah sumber kebanggaan bagi umat Islam.
Invasi brutal Israel ke Gaza pasca Badai Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023 kembali menyeret Hizbullah ke garis depan perjuangan. Di bawah komando Sayyid Hassan, front utara dibuka. Konfrontasi itu memaksa ribuan pemukim Zionis mengevakuasi wilayah Palestina utara yang diduduki, sebuah pukulan moral yang menandai babak baru dalam perlawanan.
Malam Syahadah
Namun Israel tak berhenti. Pada malam 26 Oktober 2024, mereka melancarkan serangan paling brutal ke pinggiran Beirut: puluhan bom dijatuhkan, termasuk penghancur bunker seberat 5.000 pon. Ledakan mengguncang langit kota, meninggalkan luka mendalam bagi Lebanon dan kawasan.
Di tengah gempuran itu, Sayyid Hassan Nasrallah gugur syahid.
Dalam wasiat terakhirnya, ia menegaskan dengan suara yang tetap bergema di hati para pengikutnya:
“Kami adalah Syiah Ali bin Abi Thalib di dunia. Kami tidak akan meninggalkan Palestina sendirian, tidak Palestina, tidak rakyat Palestina, tidak pula kesucian umat Islam di Palestina.”
Bagi banyak orang, syahadahnya bukan semata akhir riwayat seorang pemimpin. Ia menjelma legenda, sebuah cahaya yang terus menyala dalam denyut perjuangan Lebanon, Palestina, dan seluruh Poros Perlawanan.
Warisan Perlawanan
Syahadah Sayyid Hassan Nasrallah menutup satu babak penting dalam sejarah Lebanon, sekaligus membuka lembaran baru bagi poros perlawanan. Di bawah kepemimpinannya, Hizbullah tumbuh dari kelompok kecil yang nyaris tak diperhitungkan menjadi kekuatan militer-politik besar, sebuah simbol kehormatan, keteguhan, dan kemenangan di dunia Arab.
Kini, namanya terpatri sejajar dengan para syuhada besar dunia Islam. Darahnya menjadi sumpah setia, sebuah janji yang bergaung di setiap medan perlawanan: bahwa jalan Quds tidak akan pernah ditinggalkan. [MT]
Referensi: Seyyed Hasan Nasrallah; az eshq-e ajib be mo’amam shodan tâ shehâdat dar râh-e Qods
