14 Manusia Suci
Cahaya Ilmu dan Akhlak Imam al-Jawad di Tengah Tekanan

Ahlulbait Indonesia – Pada tahun 215 H (830 M), di kota Baghdad yang ramai, Imam Muhammad al-Jawad, seorang pemuda berusia 20 tahun, menghadapi tantangan besar. Beliau dipaksa tinggal di ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah oleh Khalifah Ma’mun, yang ingin mengawasi setiap langkahnya. Sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW, Imam al-Jawad memiliki pengaruh besar di kalangan umat Islam, terutama karena keilmuannya yang luar biasa. Namun, justru karena keilmuannya itu, ia dianggap sebagai ancaman oleh para penguasa.
Suatu hari, Ma’mun mengadakan majelis besar di istana, mengundang ulama-ulama terkemuka dari berbagai penjuru kekhalifahan. Tujuan utamanya adalah menguji kemampuan Imam al-Jawad, yang saat itu masih sangat muda. Banyak ulama meragukan kemampuan beliau karena usianya. Salah seorang ulama senior, Yahya bin Aktham; seorang ahli fikih ternama, diminta oleh Ma’mun untuk mengajukan pertanyaan sulit kepada Imam al-Jawad.
Dengan penuh percaya diri, Yahya bertanya, “Apa hukumnya seorang muhrim (orang yang sedang ihram) yang membunuh seekor binatang buruan secara tidak sengaja?” Pertanyaan ini sangat kompleks, karena menyangkut rincian hukum Islam yang sering menjadi perdebatan. Para hadirin menatap Imam al-Jawad dengan penuh rasa ingin tahu; sebagian berharap beliau akan kesulitan menjawab.
Namun, dengan tenang Imam al-Jawad tersenyum dan menjawab, “Sebelum saya menjawab hukumnya, izinkan saya bertanya: Apakah muhrim tersebut membunuh binatang itu di dalam atau di luar tanah haram? Apakah binatang itu liar atau ternak? Apakah ia melakukannya dalam keadaan terpaksa atau tidak? Dan apakah itu terjadi pada siang atau malam hari?”
Baca juga : Zuhud dan Kesederhanaan Hidup Imam Ali Ridha a.s.
Yahya terdiam. Ia tak menyangka Imam akan menanggapi dengan pertanyaan-pertanyaan yang sangat rinci, menunjukkan pemahaman mendalam terhadap berbagai kemungkinan hukum dalam kasus tersebut. Imam al-Jawad kemudian menjelaskan hukum secara lengkap, menyesuaikan jawabannya dengan tiap kondisi yang mungkin terjadi. Para ulama yang hadir pun terpukau, termasuk Yahya sendiri. Ma’mun, yang semula berniat mempermalukan Imam, justru dibuat kagum. Ia berkata, “Sungguh, ilmu yang dimiliki pemuda ini adalah anugerah dari Allah.”
Riwayat ini dicatat dalam Uyun Akhbar ar-Ridha karya Syaikh Shaduq, yang menggambarkan betapa luasnya keilmuan Imam al-Jawad meskipun usianya masih sangat muda (Uyun Akhbar ar-Ridha, jilid 2, hal. 242).
Setelah majelis berakhir, Imam al-Jawad berjalan keluar istana menuju tempat tinggalnya yang sederhana. Dalam perjalanannya, ia bertemu seorang pedagang miskin yang tampak sedih. Pedagang itu berkata, “Wahai putra Rasulullah, saya telah ditipu dan kehilangan semua barang dagangan saya. Saya tidak tahu bagaimana memberi makan keluarga malam ini.”
Dengan penuh kasih sayang, Imam al-Jawad menghiburnya dan memberikan beberapa keping dirham dari sakunya, uang yang sebenarnya disimpan untuk kebutuhan pribadinya. Beliau berkata, “Ilmu adalah cahaya yang menerangi hati, dan akhlak mulia adalah perhiasan bagi ilmu itu. Ambillah ini, dan semoga Allah membukakan pintu rezeki untukmu.”
Pedagang itu menangis haru, bukan hanya karena bantuan yang diberikan, tetapi juga karena kelembutan hati dan akhlak mulia Imam al-Jawad. Meskipun hidup dalam tekanan dan pengawasan ketat, beliau tidak pernah kehilangan kepekaan terhadap penderitaan orang lain. []
Referensi:
1. Nasihat tentang ilmu dan akhlak diambil dari Uyun Akhbar ar-Ridha karya Syaikh Shaduq, jilid 2, hal. 241.
2. Riwayat tentang debat dengan Yahya bin Aktham juga bersumber dari Uyun Akhbar ar-Ridha, jilid 2, hal. 242.
3. Konteks kehidupan Imam al-Jawad di bawah tekanan politik dirujuk dari Kitab al-Irshad karya Syaikh Mufid, hal. 317.
Baca juga : Imam Ali Menerima Panji Rasulullah