Ikuti Kami Di Medsos

Video

Pidato Ustadz Husain al-Kaff di Hari Santri Nasional: Santri, Penjaga Tradisi dan Penggerak Zaman

Jakarta, 22 Oktober 2025 — Dalam momentum peringatan Hari Santri Nasional 22 Oktober, Ustadz Husain al-Kaff, anggota Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI), menyampaikan pidato yang sarat makna tentang hakikat santri dan peran pesantren di tengah perubahan zaman. Beliau menegaskan bahwa santri bukan hanya pelajar agama, tetapi pribadi yang menyatukan antara ilmu, amal, dan akhlak, dengan menjadikan kiai sebagai teladan hidup.

“Santri itu bukan hanya pelajar agama,” ujar Ustadz Husain membuka tausiyahnya. “Di pesantren, seorang santri tidak hanya belajar teori, tapi hidup dalam lingkungan yang menghadirkan figur nyata dari ilmu itu sendiri, yakni kiai.”

Tiga Pilar Keilmuan Pesantren

Dalam pemaparannya, Ustadz Husain menjelaskan lebh jauh lagi bahwa sistem pendidikan pesantren di Nusantara bertumpu pada tiga bidang ilmu utama yang menjadi fondasi pembentukan karakter santri.

Pertama, ilmu alat, mencakup disiplin seperti Nahwu, Sharaf, Balaghah, Ma‘ani, dan Bayan, perangkat untuk memahami teks-teks Arab klasik.

Kedua, ilmu Fikih dan Kalam, yang membahas hukum-hukum syariat dan prinsip akidah atau tauhid.

Ketiga, ilmu Akhlak atau Tasawuf, yang berorientasi pada pembinaan moral dan penyucian jiwa.

“Tiga bidang ilmu ini menjadi inti pembelajaran di pesantren salafiyah di Nusantara,” ujar Ustadz Husain. “Namun santri tidak hanya belajar di tataran kognitif. Mereka hidup bersama seorang guru yang merepresentasikan ilmu-ilmu itu dalam keseharian.”

Menurutnya, kiai adalah figur sentral yang menjadi perwujudan nyata dari ketiga bidang keilmuan tersebut.

“Seorang kiai adalah ulama yang menguasai ilmu alat karena setiap hari membaca kitab kuning, memahami Nahwu dan Balaghah. Kiai juga pelaku Fikih yang menjalankan hukum syariat, sekaligus pejalan spiritual yang menempuh sairus suluk, jalan pembersihan hati,” jelasnya.

Dengan demikian, santri yang belajar di pesantren selama bertahun-tahun tidak hanya memahami teks, tetapi menyaksikan langsung praktik nyata ilmu itu melalui perilaku kiai.
“Tujuan pendidikan pesantren adalah melahirkan insan berilmu dan beramal. Ilmu di pesantren bukan hanya teori, melainkan wasilah, alat untuk diamalkan dalam kehidupan,” tegasnya.

Baca juga : DPD ABI PPU Gelar Rakerda dan RKAT 2025: Menguatkan Struktur, Meneguhkan Khidmat

Pesantren dan Modernisasi: Tradisi yang Terus Bergerak

Lebih jauh, Ustadz Husain mengingatkan bahwa pesantren tidak boleh berhenti pada romantisme masa lalu. Menurutnya, tradisi yang baik memang harus dijaga, tetapi bukan untuk dipertahankan secara statis. “Tradisi pesantren yang kita kenal sekarang pun sejatinya hasil inovasi dari masa lalu,” ujarnya.

Beliau mencontohkan, pada masa awal, para ulama belajar dengan sistem sama’an, yakni mendengar langsung dari guru tanpa kitab tertulis. Setelah teknologi cetak hadir, kitab-kitab pun disebarluaskan dan menjadi bahan ajar standar di pesantren.

“Artinya, pesantren yang kita lihat hari ini adalah hasil dari keberanian ulama masa lalu untuk berinovasi,” tambahnya.

Kini, di era digital, perubahan serupa tengah berlangsung.
“Buku tidak lagi hanya dicetak, tetapi tersedia dalam bentuk PDF. Pembelajaran bisa dilakukan melalui media sosial atau platform daring. Hal-hal seperti ini tidak boleh dianggap tabu bagi kiai maupun santri,” kata al-Kaff.

Ustadz Husain kemudian mengutip pesan klasik para ulama:

“Al-muhafadhatu ‘ala al-qadim as-shalih wal akhdu bil jadid al-ashlah,”
yang berarti menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih bermanfaat.

Dengan prinsip itu, pesantren diyakini akan tetap eksis dan relevan, tidak tergilas oleh arus modernisasi. “Pesantren harus dinamis: mempertahankan nilai-nilai lama yang baik sambil membuka diri terhadap inovasi yang memperkaya cara belajar dan memperdalam pemahaman santri,” ujarnya.

Sinergi, Bukan Dikotomi

Ustadz Husain menolak pandangan yang menempatkan tradisi dan modernisasi sebagai dua kutub yang saling bertentangan. Baginya, keduanya justru harus berjalan beriringan.

“Saya berpendapat bahwa pesantren dan santri tradisional tidak bertentangan dengan modernisasi. Justru keduanya perlu disinergikan demi keberlangsungan pesantren di masa depan,” tegasnya.

Anggota Dewa Syura ABI itu juga menekankan bahwa semangat santri bukan hanya milik mereka yang hidup di lingkungan pesantren, tetapi juga semua pencari ilmu agama, termasuk pelajar dan para ustadz di luar pesantren. “Siapa pun yang menuntut ilmu agama, hendaknya menjaga tradisi yang benar sekaligus terbuka terhadap kemajuan,” pesan al-Kaff.

Menjaga Spirit Santri di Tengah Perubahan

Menutup pidatonya, Ustadz Husain al-Kaff menyampaikan ucapan selamat Hari Santri Nasional kepada seluruh kiai, santri, dan pengasuh pesantren di Indonesia. Dan berharap momentum ini menjadi pemicu pembaruan dan penguatan spiritualitas dalam dunia pendidikan Islam.

“Selamat kepada para santri. Semoga momentum ini menguatkan semangat kita untuk mempertahankan tradisi baik dan mengembangkan ilmu-ilmu serta perangkat pembelajaran yang lebih maju,” ujarnya.

Ustadz Husain menutup dengan doa agar seluruh umat Islam senantiasa dalam lindungan Allah. “Semoga Allah Taala menjaga kita dari segala rencana buruk musuh-musuh Allah dan musuh-musuh Islam,” tutupnya. []

Catatan Redaksi:
Pidato Ustadz Husain al-Kaff ini menegaskan peran strategis pesantren sebagai lembaga yang tidak hanya menjaga warisan intelektual Islam klasik, tetapi juga sebagai motor inovasi di tengah transformasi digital. Spirit santri adalah spirit pembelajar yang adaptif, menjaga akar sambil menumbuhkan cabang ke arah cahaya zaman.

Baca juga : Ketua DPW ABI Jabar Lakukan Safari ke 11 DPD untuk Penguatan Organisasi