Ikuti Kami Di Medsos

Kisah

Ada Banyak Jalan Menuju Tuhan, Namun Lewat ABI Paling Indah

Ada Banyak Jalan Menuju Tuhan, Namun Lewat ABI Paling Indah

Oleh: Alamsyah Manu

Ahlulbait Indonesia — Judul ini pertama kali saya tulis secara spontan di status WhatsApp, tak lama setelah menerima pesan dari salah satu anggota Departemen Pendidikan Kader DPP ABI yang berbunyi, “Selamat, Anda resmi menjadi kader menengah ABI.” Sebuah ucapan selamat yang singkat, tapi mengandung makna panjang bagi perjalanan spiritual dan ideologis saya.

Tak berselang lama, Sekjen DPP ABI, Sayyid Ali Ridho, meminta saya untuk mengelaborasi makna dari kalimat itu. Maka inilah hasil sulaman naratif saya, sebuah penjelasan batin tentang mengapa judul itu lahir dan apa yang tersembunyi di baliknya.

Kebetulan, saat kabar itu datang, saya tengah menerjemahkan sebuah video pembacaan puisi oleh Haj Qasim Soleimani. Puisinya menggambarkan cinta yang tak mengenal sekat negara, tidak tunduk pada garis batas di peta. Cinta, dalam puisi itu, digambarkan sebagai sesuatu yang berasal dari langit, murni, universal, dan melampaui ruang-waktu.

Salah satu baitnya berbunyi:

“Tapal batas itu milik tanah, sedang kau penghuni langit.”

Seketika, saya merasa bait itu seolah menjawab makna kabar yang baru saja saya terima. Bahwa menjadi kader ABI bukanlah sekadar status organisatoris atau tanda administratif semata, melainkan bagian dari sebuah perjalanan spiritual, perjalanan yang menghubungkan bumi dan langit. Kita mungkin hidup dalam batas-batas geografis dan sosial yang fana, namun orientasi kita adalah transenden, yaitu menuju ketinggian nilai-nilai Ilahiah yang kekal.

Bait puisi itu mengandung inti sari dari ajaran agama, bahwa kita semua berasal dari Allah dan sedang menjalankan tugas-tugas Ilahi di muka bumi. Dalam menjalani misi itu, saya sebagaimana banyak dari kita memilih Mazhab Ahlul Bait sebagai fondasi keberislaman. Padahal, jalan menuju Tuhan itu banyak dan beragam. Maka timbul pertanyaan, mengapa Ahlul Bait? Jawabannya, sebagaimana dijelaskan oleh Ustadz Muhsin Labib, karena kita tidak sedang mewarisi sekadar identitas sosial atau budaya. Kita memilih menjadi Muslim Syiah bukan karena keterpaksaan sejarah atau garis keturunan, melainkan karena kita ingin menyambungkan diri dengan otoritas langit, sebuah otoritas mutlak yang hanya milik Allah. Pilihan ini bukan hasil dari pengulangan kebiasaan, tetapi buah dari kesadaran yang jernih dan pencarian yang panjang.

Baca juga : Dari Taqiyah ke Izzah: Seruan Jiwa Pecinta Ahlul Bait

Dari sinilah saya menyimpulkan, menjadi bagian dari ABI (Ahlulbait Indonesia), adalah jalan paling indah untuk menuju langit, meskipun tidak selalu mudah. Organisasi ini, dalam pandangan saya, hadir sebagai wadah kolektif umat untuk menyambungkan diri kepada garis vertikal ketuhanan, yaitu dari Allah, kepada Rasulullah Saw, para Imam as, hingga kepada Wali Faqih di masa kini.

ABI adalah pengejawantahan dari kesadaran keberagamaan kita yang tidak berhenti pada aspek individu semata, melainkan meluas ke ranah komunal dan sosial. Dalam menjalankan tanggung jawab kolektif tersebut, kita dituntut untuk memahami dua hal secara bersamaan, yaitu ke-kini-an dan ke-sini-an.

“Ahlulbait Indonesia” bukan sekadar frasa. Nama itu menandakan bahwa ajaran luhur dari langit (Ahlul Bait) harus diturunkan dan diterjemahkan ke dalam realitas kebangsaan kita yang konkret, yakni Indonesia, tanah tempat kita berpijak. Keberagamaan tidak mungkin benar-benar dilaksanakan jika tidak berakar pada realitas bumi tempatnya tumbuh. Dalam ABI-lah, langit dan bumi bersua, menuju langit berarti berupaya membumikan nilai-nilai Ilahiah ke dalam kehidupan sosial yang lebih adil, sejahtera, dan bermartabat.

Betapa indah pemahaman ini, ketika jalan spiritual ke langit justru ditapaki melalui tanah tempat kita bersujud.

Sebagai penutup, izinkan saya mengutip pernyataan Ketua Umum ABI, Ustadz Zahir Yahya dalam Musyawarah Wilayah DPW ABI Kalimantan Timur beberapa waktu lalu. Dalam sambutannya, beliau menekankan bahwa pergerakan kita mesti lahir dari kesadaran yang bersumber dari dalam diri. Ini bukan sekadar strategi temporer yang bisa berganti sesuai keadaan, melainkan sebuah pesan ideologis yang kukuh dan tak tergantikan, bahwa kita bergerak bukan semata demi kelompok, tetapi demi bangsa.

Menjadi kader ABI berarti siap mengemban taklif Ilahi, menghadapi rintangan dengan penuh kesadaran, bahwa tanah air ini bukan sekadar tempat tinggal, melainkan amanah yang mesti kita jaga, rawat, dan perjuangkan demi kemuliaan bersama. []

Dengan hormat,
Alamsyah
Kader Menengah ABI

Baca juga : Air Mata Perlawanan: Mengapa Berpura-pura Menangis untuk Imam Husain Mendatangkan Pahala?

Continue Reading